Part 7
"Om yang mana?" bisik Ica dengan suara tak kalah pelan. Namun, ia melihat tatapan adiknya yang semakin lama turun dan bergerak ke sana-ke mari—pertanda bahwa gadis kecil itu dalam keadaan kurang nyaman. Namun, dengan cekatan Ica mengalihkan pembicaraan. "Dek, kapan kita main game lagi, masa kemarin Kakak kalah lawan Kak Adit." 

Mendengar kalimat itu, genggaman tangan yang erat pada selimut, kini sedikit mengendor. Bibir Amira membentuk sebuah senyuman, meski hanya sedikit. Ternyata, celotehan Ica,  berhasil mengubah suasana menegangkan di kamar tersebut menjadi sedikit hangat. 

Suara getar dari ponsel Inggit membuat semua orang menoleh. Wanita berhidung mancung itu merogoh ponselnya di tas, lantas melihat siap yang mengirimnya pesan. 

[Kamu di mana, Git? Tadi pagi aku ada urusan di kafe.] 

Ternyata pesan itu dari Bram—pria yang dalam waktu dekat ini menjadi kekasihnya. Inggit hanya memberitahukan kalau Amira sakit dan ia meminta Bram untuk menyusul ke rumah sakit. Pria itu langsung menyetujui permintaan kekasihnya. 

Kini, giliran Farhan yang menerima telepon. Ia langsung ke luar dari ruangan karena panggilan itu berasal dari pihak kepolisian yang akan datang ke rumah sakit besok untuk pendampingan proses visum. 

"Apa bisa dilakukan, Pak? Sepertinya, Amira masih belum bisa mengembilakan kepercayaannya terhadap orang lain," ucap Farhan yang kini sudah duduk di kursi tunggu, tepat di depan ruangan Amira. 

"Tenang saja, Pak. Kami bersama tim perlindungan anak. Mereka bisa diandalkan," jawab seseorang yang ada di sana. 

Farhan menghela napas sejenak. "Baik kalo begitu, Pak, saya serahkan semuanya kepada pihak yang berwenang." Setelah disepakati, sambungan telepon pun ditutup. Ia membungkuk, menempelkan kepalanya pada tangan yang dilipat di atas paha. Mencoba merenung, berharap pelaku cepat tertangkap.

Pria itu memekik, mengacak rambutnya frustrasi—mengucap sumpah serapah dan berjanji membalaskan semua dendam putrinya. Farhan bangkit dari tempat duduk, kali ini ia berniat mencari ruangan Dokter Willy—berharap pria itu tidak sibuk dan bisa diajak diskusi tentang visum besok.

Sementara itu, di luar seorang pria turun dari mobil sedan hitam dengan gagahnya. Ia membuka kaca mata hitam yang sedari tadi dipakai, lantas menyematkannya pada kemeja biru dengan tangan yang digulung sampai sikut. Plastik berisikan boneka dan rangkaian bunga menjadi buah tangan untuk orang yang akan dikunjungi. 

Pria bertubuh tunggi besar itu berjalan penuh percaya diri, menaiki lift dan menekan tombol untuk menuju lantai nomor 06. Tak lama, lift berdenting, menandakan sudah sampai di tempat. Pintu terbuka, langkahnya kembali menyusuri koridor—sampai akhirnya ia berhenti di ruangan yang disebutkan oleh Inggit. 

Pintu diketuk dua kali kemudian didorong secara perlahan. Pria yang memiliki brewok itu tersenyum saat melihat orang yang ada di dalam menyambutnya dengan hangat, kecuali Ica. Begitu juga dengan Amira, ia meraih tangan kakaknya dan menggenggam begitu erat. Dadanya seperti menaiki seluncuran roller coaster yang amat tinggi.

"Bram ...." Inggit menyambut kekasihnya dengan mengambil rangkaian bunga mawar putih yang dipadukan dengan beberapa bunga sepatu, serta dedaunan di beberapa bagian. "Makasih, ya." 

Pria itu mengangguk, lantas berjalan ke arah Amira yang tangan kanannya semakin erat menggenggam sang kakak dan tangan kiri meremas seprai. Seolah paham situasi yang dialami adiknya, Ica memberikan tanda lewat tangan kepada pria itu untuk tidak meneruskan langkahnya. "Adik saya masih trauma bertemu orang, Om, jadi tolong segera keluar." 

"Ica ...!" bentak Inggit saat mendengar ucapan kasar dari putrinya. 

"Harusnya Mamah paham, kondisi Amira lagi kayak gini, jangan terima tamu sembarangan," ketus Ica yang dibalas senyum aneh dari kekasih ibunya. 

"Oke, Ca ... Om akan keluar. Ini, kasihkan pada Amira, ya." Bram menyimpan boneka Piggy pink yang ia bawa di ujung ranjang, dekat kaki Amira—lalu berbalik badan dan keluar dari ruangan. 

Inggit yang merasa tidak enak, langsung memberi bentakan pada Ica, "Gak sopan kamu jadi anak." Kemudian, pergi menyusul Bram dalam keadaan panik. 

"Udah tua pada bucin," ketus Ica, ia kembali menenangkan Amira bahwa semua akan baik-baik saja. 

Gadis berponi itu kembali membuka sosial media, melihat berita yang telah heboh hari ini. Ia menghela napas, melihat kabar kurang mengenakan yang ditulis para pelaku media online tak bertanggung jawab. Padahal, proses penyidikan belum berjalan, tetapi di sana tertulis orang tua korban sudah terjerat pasal kelalaian 

Belum lagi, pemukulan yang dilakukan oleh Farhan terhadap salah satu wartawan menjadi viral. Videonya tersebar di mana-manan. Komentar semakin miris, meski ada yang pro kepada sikap ayahnya, ada juga yang kontra. Ica tetap merasa kesal, sebab ayahnya sulit mengendalikan emosi. 

Hingga tak terasa waktu terus berputar, menciptakan pergantian waktu yang semakin berat. Matahari telah usah dengan tugasnya, kini hanya ada awan pekat dengan taburan bintang.

Pertemuan rahasia antara Farhan dan dua detektif swasta dilakukan di sebuah hotel pusat kota. Ia menunggu di sebuah kamar sambil mengaduk minuman yang di dalamnya sudah berisikan beberapa kotak es batu. 

Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Bergegas ia beranjak dan membukannya—mempersilakan dua orang yang berdiri di depan pintu untuk masuk. "Maaf, harus ketemu di sini," ucap Farhan, nada suaranya begitu lemah. 

"Turut prihatin dengan kejadian yang menimpa Amira, ya, Pak Han. Gila emang orang zaman sekarang, pada gak punya otak," ketus Raya—kenalan Farhan yang bekerja di perusahaan detektif swasta. Mereka dipertemukan di kantor, saat Raya diminta mencari informasi tentang dokumen penting yang hilang.

Wanita berkaos hitam dengan rok tutu merah selutut itu membuat Farhan geleng kepala. Penampilannya terlihat seperti anak ABG sedang jalan-jalan malam bersama pacar, jauh dari kesan seorang detektif.  

Mereka kini duduk di sebuah sofa dengan posisi melingkar. Tanpa basa-basi, Farhan memperlihatkan gambar celana dalam Amira yang sudah difoto oleh Inggit sebelum diserahkan pada polisi. Tak lupa video Amira yang tengah histeris, ia ambil secara diam-diam karena Raya yang menyuruhnya. 

"Ini kejadiannya kemarin, ya?" tanya Aldo, pria yang datang bersama Raya, sekaligus membantu Raya memecahkan kasus ini. 

Farhan mengangguk. "Kondisi Amira sekarang trauma berat. Kemungkinan, visum pun akan sulit dilakukan karena dia tidak mau disentuh oleh siapa pun." 

"Kasihan. Ini kejadiannya sepulang sekolah?" Kini giliran Raya yang bertanya. 

"Iya. Kata Inggit, Amira pulang diantar oleh taxi," jelas Farhan. 

"Berarti, penyeledikan kita yang pertama adalah sekolah dan sopir taxi yang mengantar Amira pulang. Apa pelaku memberi sesuatu pada Amira?" 

Pertanyaan Raya dibalas gelengan oleh Farhan. "Entahlah, Inggit sepertinya belum membuka tas sekolah. Kalau pun menemukan sesuatu, akan sulit mengorek keterangan dari Amira. Dia menganggap kami jahat." 

Raya dan Aldo saling melirik. Wanita berumur 28 tahun itu menggeleng pelan. "Pasti si pelaku pake embel-embel jemput korban karena disuruh oleh ibu korban. Sudah biasa seperti itu." 

"Jadi, kalian sanggup bergerak cepat dari polisi? Kalau nunggu visum keluar, ini akan memakan waktu. Belum lagi proses yang lain-lainnya," keluh Farhan sembari mengacak rambutnya. 

"Oke. Tapi usahakan hubungi pengacara untuk membantu proses ke depannya, Pak Han. Takutnya, pelaku orang yang berpengaruh dan malah lolos dari jerat hukum," jelas Aldo yang dibalas anggukan oleh Farhan. 

***

Cuaca yang tadinya cerah, kini berubah menjadi hujan beserta kilapan petir. Keadaan seperti itu, membuat orang akan lebih betah di dalam rumah. Begitu juga dengan Ica, gadis itu bersyukur karena sudah sampai di rumah saat hujan mendadak turun dengan lebat. 

Inggit menyuruh putrinya untuk pulang karena besok harus berangkat sekolah. Meski sempat menolak, tetapi ia selalu kalah jika beradu argumen dengan sang ibu. Kini, gadis itu tengah sibuk menggosok rambutnya yang basah setelah selesai dengan aktivitas mandi. 

Suara bel membuat Ica yang tadinya akan membuka buku untuk belajar pun mendadak berhenti. Ia ke luar dari kamar, menuruni anak tangga untuk segera melihat siapa tamu yang datang. Namun, saat pintu terbuka, gadis itu cukup terkejut melihat Bram tengah tersenyum begitu lebar. 

"Om, ma-mau apa? Ini udah malem, loh," tanya Ica mulai waspada.

"Om mau ambil dokumen penting yang dititip ke mamah kamu kemarin. Boleh masuk, 'kan?" 

"Kenapa gak nanti aja pas ada mamah?" ketus Ica sembari melipat tangan di dada. 

"Santailah, lagian Om gak akan macem-macem. Mamah kamu juga tahu Om ke sini, malah dia yang nyuruh buat ambil sendiri." 

Mendengar jawaban itu membuat Ica berdecak sebal lalu memutar badan dan setengah berlari masuk kamar untuk mengambil ponsel dan menelepon ibunya. Sementara Bram memperhatikan tubuh Ica dari belakang yang hanya memakai kaos polos putih dan celana hotpants.

Pria itu pun masuk, kemudian menutup pintu dan menguncinya dengan senyum misterius.

****

Gimana ceritanya, seru, gak? Semoga gak boring dan kalian merasakan sensasi kayak nonton film. Hihihi ....

Selamat membaca ....

Setuju part 8 malam ini?



Komentar

Login untuk melihat komentar!