(Part ini menggunakan alur mundur-maju)
"Diminum obatnya, ya, Bu," ucap Willy dengan ramah pada pasiennya yang sudah masuk usia lanjut. Setelah selesai, pria yang memiliki jambul di bagian depan itu melangkah menuju toilet pria. Kebetulan, toilet di RS Citra Hospital itu memiliki desain seperti toilet umum—terdapat beberapa pintu yang berjajar.
Usai buang air kecil, ia melangkah ke wastafle untuk mencuci tangan. Namun, seseorang membekap dan menaruh pisau di lehernya—menarik tubuh Willy untuk masuk kembali ke bagian dalam toilet. Dalam pantulan kaca tadi, Willy tidak bisa melihat wajah orang yang di belakang karena tertutup masker hitam dan topi yang sengaja dibuat hampir menutup mata.
Keringat mulai mengucur di dahi. Ia takut jika pisau yang berjarak beberapa senti itu menggores leher dan hidupnya pun berakhir sampai di sini. Penjahat itu melepaskan bekapannya, tetapi beralih mengapit leher Willy, lantas berbisik untuk tidak berbicara karena di luar terdengar dua orang sedang mengobrol.
"Dengarkan perintah ini. Gue minta laporan visum pasien atas nama Amira dipalsukan. Buat seolah dia mengalami kecelakaan," ucapnya dengan suara yang terdengar berat.
"Ta-tapi, yang melakukan visum nanti bukan saya, ada petugas lain," sahut Willy sembari terus mengatur napas.
"Gue gak mau tahu. Kalo enggak, lu bakalan mati. Usahakan yang melakukan visum lu sendiri. Paham?"
Ancaman itu membuat Willy memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk pelan. Kini apitan pada leher sang dokter pun terlepas. Pria itu keluar dari toilet, sementara Willy masih mematung—merasakan otot kakinya yang terasa lemas, juga tenggorokan yang mendadak kering.
***
"Begitu ceritanya, Ann," ucap Willy saat selesai menceritakan kejadian di toilet tadi. Ia langsung meneguk air putih yang memang sudah tersedia di mejanya. Entah habis berapa gelas karena sedari tadi, pria itu belum berhenti minum.
Sementara Suster Anna masih merasa bingung dengan kejadian yang menimpa rekannya. "Sepertinya ini kasus berat," cetusnya sembari menyimpan tangan di atas meja dan bersidekap.
"Iyalah, kalo udah melibatkan pengancaman, berarti bukan orang biasa. Mana mungkin aku ngajuin diri buat ngelakuin visum. Aku dokter umum, Ann. Kayaknya, polisi yang akan nunjuk sendiri petugas pemeriksaan untuk nanti. Sementara nama-nama dokter udah diserahin kemarin."
Anna merasa bingung harus berkomentar apa. Dia hanya memandang wajah kusut Willy yang terlihat begitu menegang dan penuh kecemasan. "Kalo aku yang ngajuin, bisa? Dengan alasan, Amira hanya percaya sama aku. Jadi kita bisa lakuin berdua."
Willy berpikir sejenak, ia mengetuk-ngetuk meja menggunakan pulpennya. "Nanti masuknya bukan laporan visum, tapi laporan saksi yang pertama kali ditemui korban. Ujungnya akan ditolak."
Hening. Mereka kini fokus dengan pikiran masing-masing. Jika memenuhi permintaan penjahat, itu sama saja mereka melanggar sumpah kode etik yang diucapkan saat pertama kali bertugas. Sementara kalau sampai menukar hasil visum, mereka akan kena pasal pidana kasus kejahatan tentang pemalsuan dokumen.
"Siapa pun yang melakukan visum nanti, laporan asli tetap harus diserahkan ke polisi. Gak mungkin, kan, kita melanggar sumpah?" Ucapan Anna terdengar lemas, ia hanya takut pikiran Willy untuk mendampingi Amira sampai kasusnya selesai goyah oleh ancaman ini.
Namun, orang yang ditanya hanya terdiam dengan posisi kepala bersandar pada kursi. Ia memainkan kursi yang memiliki roda itu ke kanan dan kiri. Willy merasa gamang, harus memberi jawaban apa. Ia masih ingin hidup, bahkan ada seorang ibu yang harus dibahagiakan. Pria itu yakin, teror bukan hanya untuk kali ini saja, pasti akan ada teror lainnya di depan sana.
Sementara di luar rumah sakit, seorang pria sibuk menatap bangunan dengan belasan lantai itu. Pikirannya menerawang jauh, sampai sebuah panggilan membuatnya menoleh. "Kamu malah diem terus dari tadi. Gak akan turun?" tanya gadis yang memakai seragam putih abu. Di pahanya terdapat sekeranjang buah untuk diberikan pada sang adik.
Adit hanya tersenyum, ia mengacak rambut Ica dengan potongan bob berwarna cokelat itu dengan gemas. "Kayaknya besok aja, sekarang aku mau ke kantor Papa."
"Semoga aja papa kamu bisa bantu Amira, ya."
Harapan sang kakak itu pun dibalas anggukan oleh Adit. "Aku akan lakukan yang terbaik, Ca. Kamu tenang saja," tegasnya, kembali mengusap rambut dan kini beralih ke pipi chubby kekasihnya.
Merasa tersanjung diperlakukan seperti itu, membuat pipi sang gadis merah merona. Hanya dengan Adit ia merasa jadi orang yang paling dimengerti. Bahkan, Ica merasa menemukan rumah baru di kala hidupnya kesepian.
Gadis yang sengaja bolos sekolah itu pun turun dari mobil, ia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Melangkah dengan hati bahagia, persis seperti buah yang tengah ia jinjing—pernuh warna. Sementara Adit langsung tancap gas, berniat untuk menemui seseorang.
Di depan sana, seorang pria yang memakai pakaian serba hitam dengan masker dan kaca mata berwarna senada tengah sibuk mengetik pesan. Ia merasa puas, sebab pekerjaannya sudah selesai. Namun, karena kurang hati-hati, ia bertabrakan dengan seorang gadis—tak lain adalah Ica.
"Maaf, Mas," ucap Ica sambil mengambil ponsel orang tersebut. Saat benda pipih itu diangkat, ia tak sengaja membaca isi pesannya. 'Semua sudah beres, Bos. Tinggal menunggu kerja dokternya.'
Ponsel itu direbut dengan gerakan cepat. "Gak apa-apa, Mbak. Maaf, saya buru-buru," katanya sembari beranjak pergi.
Ica hanya mematung di tempat. Entah mengapa Profile WA yang ia lihat seperti mengingatkannya pada seseorang. Buru-buru pikiran buruk itu ditepis. Ia yakin, pengguna gambar kartun seperti itu bisa saja diambil dari internet. Dengan cepat Ica melangkah untuk menuju kamar sang adik—ia sudah tahu letaknya karena Farhan memberikan informasi.
Ruangan yang dituju sudah berada di depan mata, bergegas Ica masuk dan menyapa adiknya dengan nada ceria, "Hai, Cengeng ... udah makan belum?" tanyanya sambil menoleh ke arah Farhan dan Inggit yang duduk termenung di sofa—jauh dari ranjang pasien.
"Kok, kalian di situ? Kayak musuhan aja sama Adek," ucap Ica dengan nada santai, lantas berjalan mendekati Amira.
Kini, kedua kakak beradik itu saling tatap. Ica langsung meraih pipi adiknya, menatap mata dengan kantung panda yang menghitam. Belum lagi bibir pucat serta tatapan sayu. Ia memeluk Amira begitu erat. "Maaf, Kakak terlambat."
Terdengar isakan kecil dari bibir mungil adiknya. Ica tahu, tidak mudah jadi Amira yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang asing. "Kakak janji, akan selalu ada buat Adek. Tapi Adek gak boleh cengeng, ya. Kalo udah sembuh, kita belanja lagi ke mall."
Ada rasa iri yang menggelayuti hati Inggit dan Farhan. Amira tetap tidak mau disentuh oleh kedua orang tuanya karena masih menganggap mereka orang yang jahat. Inggit bangkit, tetapi dengan cepat tangan Farhan mencegahnya, lantas pria itu memberi kode dengan sebuah gelengan.
"Kakak, Om itu jahat," bisik Amira tepat di telinga Ica dengan suara sangat pelan.
Sontak Ica melepas pelukannya dan kembali memegang pipi adiknya. "Om yang mana?"
***
Gimana ceritanya? Seru, gak?