Mobil Farhan melaju dengan kecepatan penuh menuju rumah Inggit. Tadinya, ia menyuruh wanita berdagu lancip itu untuk istirahat, sedangkan urusan di rumah sakit biar dia yang tangani. Namun, Inggit memaksa untuk ikut karena ingin melakukan pendekatan kembali dengan Amira.
Dari kejauhan, terlihat orang bergerombol menunggu di depan pintu pagar. Setelah mulai mendekat, Farhan membunyikan klakson agar mereka memberi jalan. Sudah bisa Farhan duga, jika mereka adalah para pencari berita.
Sementara di dalam sana, Inggit sedikit bernapas lega dengan kehadiran mobil mantan suaminya. Ia langsung mengambil tas berisikan pakaiannya dan beberapa milik Amira. Langkahnya tergesa, tetapi terhenti di sebuah kamar bertuliskan 'Marisa Caca'.
Tangannya mulai terulur hendak mengetuk pintu, tetapi dari dalam sebuah teriakan menggema, "Pergi aja. Biasanya juga gak pernah pamitan, 'kan?" ucap Ica yang menyadari langkah ibunya sedari tadi. Ia kembali memeluk guling, menutup semua tubuhnya dengan selimut.
Inggit menghela napas. Ia merasa ini bukan waktunya berdebat, padahal Ica akan diajak untuk menemui adiknya di rumah sakit. Namun, Inggit sadar, kalau putrinya yang satu ini adalah tipe gadis pemberontak dan keras kepala.
Wanita itu langsung beranjak tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Kaki jenjangnya menyusuri anak tangga, melewati ruang tamu dengan konsep elegan. Ia berhenti di depan jendela, menyibak gorden untuk melihat keadaan di luar sana.
Farhan masih terdiam di dalam mobil sambil tetap menatap ke depan dengan tatapan dingin. Mobilnya sudah dikerumuni orang-orang yang membawa kamera dan alat perekam suara. Para pemburu berita riuh, meminta agar dirinya turun.
"Pak, sebentar saja, Pak," ucap wanita dengan potongan rambut sebahu, berdiri tepat di samping pintu kemudi. Belum lagi beberapa dari mereka mengetuk pintu.
"Minta waktu sebentar saja, Pak. Kami butuh keterangan." Kini giliran pria yang sudah memegang alat perekam yang berbicara.
Dari pagar yang tak terlalu tinggi, Inggit keluar menatap bingung ke arah gerombolan. Sontak mereka kini meninggalkan Farhan dan menyerbu Inggit dengan mengerumuninya.
"Bu, bagaimana keadaan putri Ibu sekarang?"
"Bagaimana perasaan Ibu saat mengetahui kejadian ini?"
"Bisa jelaskan kondisi terkini dari korban?"
Bingung harus menjawab apa, Inggit hanya mematung di tempat dengan keringat dingin. Perutnya terasa mulas, bahkan ia berusaha menahan tangis. Melihat pemandangan yang memuakkan, Farhan langsung turun dan mendorong beberapa orang untuk menyingkir. Lantas, tangan Inggit ditarik paksa.
Para wartawan masih mengikuti langkah mereka. Sampai seseorang bertanya kembali. "Pak, Bu, bisa jelaskan bagian tubuh korban mana saja yang terluka?"
Mendengar pertanyaan itu, langkah Farhan tertahan. Ia menoleh pada pria yang berdiri tepat di sampingnya. Satu tinjuan berhasil membuat pria itu terhuyung. "Wartawan gak berguna. Sampah semua. Di mana hati nurani kalian, hah?"
Semua wartawan itu mundur sambil menatap tak percaya. Beberapa di antaranya membantu temannya untuk berdiri kembali. Semua bergeming. Entah merasa tidak enak, atau membiarkan Farhan untuk bicara terlebih dahulu.
"Kalian gak diajarin attitude? Di mana otak kalian? Bisa-bisanya menanyakan hal begitu pada keluarga korban. Saya tidak mau jawab, karena yang kalian suguhkan nantinya adalah berita sampah!"
Farhan langsung menarik tangan Inggit yang mulai dingin karena syok. Pria itu begitu cekatan membuka pintu mobil, membiarkan sang wanita masuk terlebih dahulu. "Sekali lagi kalian menanyakan hal seperti itu, jangan harap masih bisa hidup!" tegasnya sebelum masuk dan berlalu.
"Huuuhh!" Para wartawan bersorak kesal. Mereka kecewa karena tidak ada hal yang bisa dibawa ke kantor untuk laporan hari ini.
***
"Hallo, Cantik. Sudah waktunya makan," ucap Anna sembari menyimpan beberapa menu makanan yang tersusun rapi di atas nampan dan satu paper bag merah dengan pita pink yang sengaja dibawa khusus untuk pasiennya.
Gadis kecil itu tersenyum saat sang suster menyerahkan paper bag tersebut. Tangan mungilnya cekatan membuka dan menarik isinya. "Buat Adek, Tante?" tanyanya.
Suster Anna mengangguk sembari mengangkat jempol. Lantas ia mengambil bubur dan meminta gadis itu mengubah posisinya untuk sedikit duduk.
"Adek gak bisa duduk, Tante," ucapnya dengan suara bergetar.
Hal itu membuat Anna terdiam beberapa detik. Seolah paham, ia langsung mengangguk dan berkata, "Gak apa-apa, bantalnya dibuat tinggi aja, ya. Biar makannya gampang."
Gadis bermata indah itu langsung mengiyakan. Suster Anna begitu cekatan menaikan bagian kepala bad pasien agar lebih tinggi. Ia langsung menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Amira. Dengan telaten, Anna menyuapkan bubur dibarengi candaan kecil yang membuat gadis kecil itu sedikit terhibur.
Dalam hati Anna, ingin sekali ia bertanya detik-detik saat Amira pulang sekolah. Namun, ia sadar kalau itu akan membuat psikis Amira terganggu. Namun, ia pun khawatir dengan proses visum yang mungkin saja tertunda—maka penyelidikan pun akan ikut tertunda.
"Setelah makan, Suster pergi dulu, ya. Nanti ada mama sama ayahnya adek yang nemenin," ucap Anna sambil menyuapkan satu sendok bubur ke mulut Amira.
"Mama sama Ayah gak sayang Adek, Tante Suster. Mereka nyuruh Om jahat buat jemput Adek di sekolah."
Deg ....
Pernyataan itu berhasil menghantam dada Anna. Dirinya masih berusaha sekeras mungkin untuk bertanya maksud dari perkataan itu. "Mama sama ayah, gak mungkin kirim orang jahat," ucapnya lebih berhati-hati.
"Tapi Om bilang, Mama yang nyuruh."
Lagi. Rasa penasaran Anna malah semakin membuncah. Ini seperti menjadi celah untuk pemecahan kasus yang menimpa Amira. Wanita itu berdehem, lantas menarik kursi supaya lebih dekat lagi. Untung saja ruangan itu disediakan khusus, agar memudahkan tim penyidik untuk masuk nantinya.
"Amira kenal?" Setelah bertanya hal itu, Anna menutup matanya karena merasa bersalah. Sementara gadis itu terdiam begitu lama.
Pikirannya menerawang jauh pada saat kejadian. Bayangan demi bayangan bak sebuah film yang berputar di kepalanya. Cuplikan saat ia melihat seringai jahat dari orang yang ia panggil 'Om'. Telinganya berdengung, mendengar suara ketika orang tersebut berucap, "Jangan bilang, nanti Om marah terus kamu Om bunuh. Gak mau, 'kan?"
Mengingat hal itu, membuat Amira menjerit sambil menutup telinganya. Sontak hal itu pun membuat Anna kaget. Ia langsung memeluk Amira yang sedang mengalami tantrum. Dipeluknya erat, meski tangan bocah itu sibuk memukulinya.
Dari luar, Farhan dan Inggit saling menoleh. Mereka langsung berlari mendengar jeritan dari kamar putrinya. Bergegas keduanya masuk lalu menatap Suster Anna yang sibuk meminta maaf pada Amira. "Maaf, Sayang. Tenang, ya, tenang."
"Kamu apakan anak saya, hah?" teriak Farhan menghampiri mereka.
Inggit langsung melerai tubuh putrinya dan mencoba menenangkan. Sementara Farhan menyeret paksa Suster Anna untuk keluar dari ruangan. Pria itu mengempaskan tangan sang suster dengan kasar saat sudah berada di luar. "Kamu tahu, kan, anak saya tidak mau disentuh oleh siapa pun?"
"Ini salah paham, Pak. Bukan begitu," ucap Anna sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang terasa sakit.
Dari kejauhan Willy melihat keributan, ia langsung berlari dan menghampiri keduanya. Ada beberapa orang juga yang menyaksikan kejadian tersebut; di antaranya keluarga pasien dan beberapa perawat.
"Ada apa, Ann?" tanya Willy.
"Mulai sekarang, saya gak mau suster ini masuk ke ruangan putri saya!"
Willy mengerutkan dahinya, kemudian menoleh ke arah sang suster yang tengah menitikan air mata. "Ini salah paham," bisik Anna meyakinkan.
"Saya yakin kamu bertanya macam-macam. Jadi, jangan pernah lagi temui anak saya!" tegasnya, lantas kembali masuk ke ruangan rawat, di mana Amira masih histeris.
Willy mendesah pelan. Ia mengusap bahu Anna, memberikan kekuatan pada wanita itu. "Kita ke ruanganku, ada yang mau aku bahas."
"Tentang apa?" tanya Anna dengan nada lemah.
Willy menoleh ke kiri dan kanan, kemudian membisikan sesuatu pada Anna. "Ada orang yang minta hasil visum Amira dipalsukan."
"Apa?"
Login untuk melihat komentar!