Part 3
Setan yang menguasai Farhan membuat pria itu tak tahu malu. Beberapa orang memperhatikannya, bahkan berusaha melerai tubuhnya, tetapi tepisan kasar berhasil membuat dua orang di belakang Farhan menyerah.

Namun, tubuh kekar Farhan berhasil ditarik, cekikan pun terlepas. Tonjokan dan dorongan di badannya membuat ia sedikit terhuyung karena sulit mengendalikan keseimbangan. Sementara Inggit terbatuk-batuk dengan badan sedikit membungkuk. 

Anna mengatur napasnya karena kesal, ditemani perawat lelaki yang baru saja keluar dari kamar dan langsung beraksi saat melihat keadaan Inggit dicekik. Mereka masih saling diam, begitu juga dengan Farhan yang masih duduk di lantai sembari memegangi ujung bibir. 

"Maaf, Pak, saya paling gak suka lihat lelaki yang berlaku kasar sama perempuan," ucap perawat pria itu lalu memegang bahu Anna untuk berpamitan. Sampai Anna mengangguk, pria itu pun pergi. 

Suster Anna medengkus kesal. "Kalian malah sibuk saling bunuh, sementara anak kalian di dalam butuh orang yang melindungi. Kalian gila, ya?" ucap Anna penuh penekanan dengan suara yang masih berusaha dipelankan karena takut mengganggu pasien dan keluarganya yang sedang beristirahat—mengingat waktu menjelang tengah malam.

"Kalo begini, gak usah nyalahin orang jahat, karena kalian sendiri penjahat yang sebenarnya buat Amira. Kalian gak malu apa dilihatin banyak orang kayak gini?"  ketus Anna, sambil terus mengatur napas karena terlalu sesak menyaksikan kebodohan dari dua orang di hadapannya. 

Seolah tak perduli dengan kata sang suster, Inggit bangkit dan berjalan cepat untuk masuk ke ruangan di mana putri cantiknya dirawat. Begitu juga dengan Farhan, ia mulai menurunkan ego, memutuskan membuntuti Inggit untuk melihat keadaan Amira. 

Gadis kecil itu sudah diberi obat penurun panas, tetapi ia masih terjaga. Tadinya, ia merengek untuk tidak ditinggalkan sendirian. Namun, Anna meyakinkan kalau dia akan kembali untuk menemani Amira. 

"Amira ...." Panggilan itu mengusik rasa tenang Amira. Gadis kecil itu menoleh, memperhatikan senyum yang terukir di bibir ibu dan ayahnya. Inggit berharap putrinya menyambut dengan bahagia, tetapi malah membuahkan rasa kecewa.

Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, antara; marah dan kecewa, membuat Amira menyerah untuk menatap kedua orang terkasih dalam hidupnya. Gadis bermata bulat itu mengubah posisi tidurnya menjadi miring ke kiri—membelakangi orang yang sedari tadi menunggunya.

Sontak penolakan Amira membuat mata sembab Inggit mengeluarkan buliranya kembali. Tangannya mencoba untuk menyentuh pundak gadis itu, tetapi dengan cepat Amira menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya sampai kepala. Inggit hanya bisa bersimpuh di depan ranjang sembari merintih menahan sakit dalam dada. 

Dada Farhan ikut sesak. Ia mencoba menyentuh kaki Amira, tetapi diurungkan. Untuk pertama kalinya Farhan menangis, berusaha kuat dan tegar pun tak bisa ia lakukan. "Amira, ini ayah. Kita pulang," ucapnya dengan suara bergetar. 

Namun, Amira hanya diam. Gadis kecil itu merasa marah karena kemarin ia menunggu jemputan terlalu lama, sampai akhirnya mengalami kejadian yang membuatnya merasakan sakit di sekujur badan. 

"Inggit, maaf. Aku terlalu bingung dan takut tadi." Suara serak Farhan membuat Inggit menoleh sejenak lalu bangkit. 

"Bukan waktunya untuk menyalahkan diri sendiri, Mas. Kita tunggu surat dari dokter untuk laporan ke polisi. Saat seperti ini, amarah gak bisa jadi solusi," tegas Inggit mencoba meredam egonya sendiri. Ia hanya ingin pelaku kekerasan terhadap Amira ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. 

Sementara itu, Anna berjalan menuju ruangan Willy untuk memastikan surat pengantarnya sudah selesai. Namun, saat masuk, ia melihat dokter berlesung pipi itu tengah menatap ponselnya dengan raut wajah yang ditekuk. 

"Kenapa?" tanya Anna sembari menarik kursi dan duduk. Keduanya memang tidak canggung karena bersahabat baik di luar urusan pekerjaan. 

Willy menyerahkan ponselnya, meminta gadis yang duduk di hadapannya membaca pesan itu sendiri. Dengan cekatan Anna meraihnya, membaca pesan itu dengan raut wajah serius. "Ini dari ...." 

"Iya, Anita. Dia kasih ancaman terus dari kemarin, gara-gara aku gak mau nikahin dia. Gadis gila. Padahal, nomor lama udah aku buang," cerocos Willy sambil mengambil ponselnya kembali.

Pria itu kembali menulis surat pengantar. Sementara Anna terdiam, memikirkan nasib gadis kecil yang baru dikenalinya. "Will, kalo kasus ini bergulir ke ranah hukum, hak asuh Amira boleh aku pegang dulu? Kayaknya, dia kurang nyaman sama orang tuanya." 

"Tergantung. Kalo Komnas Perlindungan Anak mengizinkan, bisa aja. Tapi kemungkinan besar, mereka yang akan ambil Amira," ucap Willy melipat kertas itu dan memasukkannya ke amplop. 

Gadis berpakaian serba putih itu menarik napas dalam. Saat Inggit dan Farhan masuk, ia sempat mengintip kejadian di dalam sana. Anna bisa merasakan bagaimana sakit hatinya Amira ketika orang tuanya beradu ego. Ditambah sakit di badan yang pasti akan membekas sampai besar nanti. 

"Aku bakalan dampingi anak itu sampai kasus hukumnya selesai," ujar Anna mengambil kertas yang diberikan Willy. 

"Tapi ini akan sulit. Apalagi, untuk proses penyelidikan nantinya. Anak sekecil itu, akan disuruh mengingat kejadian pahit yang menimpanya. Kasian. Belum lagi nanti ada media yang meliput. Kalo sampe si wartawan nakal, wajah dan nama Amira terpampang seumur hidup." 

Anna membernarkan ucapan Willy. Ia jadi teringat kejadian di masa kecil, di mana dirinya berusaha lolos dari perlakuan******ayah tiri. Itu yang membuat Anna memiliki perasaan begitu dalam saat melihat apa yang dialami pasiennya saat ini. 

Tak ingin larut dalam kesedihan, suster yang memiliki bibir mungil itu segera keluar dari ruang dokter dan pergi kembali ke kamar Amira, sekaligus memberikan surat yang akan diserahkan pada kedua orang tua pasiennya. Ia hanya berharap, sikap bodoh Inggit dan Farhan bisa sedikit dikesampingankan dan mulai menjalani babak kehidupan yang baru. 

***

Hening. Suasana di mobil terasa canggung usai melakukan laporan ke kantor polisi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Inggit lebih memilih menatap jendela mobil—memandang lampu jalanan di setiap sudut. Sementara Farhan memikirkan cara agar pelakunya cepat tertangkap. 

Mobil sedan hitam itu berhenti di jalanan cukup sepi, membuat Inggit menoleh ke arah Farhan. "Ada apa?" 

Tak ada jawaban, Farhan sibuk merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Ia mencari nomor seseorang, lantas segera melakukan sambungan telepon. "Ray, aku butuh bantuan ...." 

Panjang dan lebar ia menjelaskan apa yang dialami Amira, sampai akhirnya diputuskan untuk melakukan pertemuan rahasia di besok malam. Inggit berusaha menyimak maksud dari mantan suaminya, ternyata ia meminta bantuan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang detektif swasta. 

Setelah sambungan telepon itu berakhir, Inggit mulai berpendapat. "Kita udah jalanin proses hukum yang berlaku, Mas. Kenapa harus minta bantuan mereka? Tadi, kan, Pak Robi bilang untuk tidak bertindak apa-apa sebelum ada pemberitahuan." 

"Udahlah, kasih aku waktu untuk melakukan yang terbaik buat Amira. Kita butuh orang yang bergerak cepat, Git."

Inggit sudah tidak sanggup berdebat. Mobil kembali meluncur, membelah jalanan yang mulai ramai karena waktu menjelang subuh. Farhan meminta mantan istrinya untuk beristirahat, sementara ia sendiri akan kembali ke rumah sakit. 

Sesampainya di rumah, Inggit berjalan gontai karena fisik hatinya begitu lelah. Namun, saat di ruang tamu, ia melihat seorang pria yang tak dikenalinya tengah berdiri sembari mengusap foto Amira yang terpajang di dinding. "Maaf, Anda siapa?" tanya Inggit bingung. 

Pria itu hanya menoleh dan menatap Inggit dingin.




Komentar

Login untuk melihat komentar!