"Salat dulu, Mas!"
Kutepis tangan suamiku. Lalu berbalik menghadapnya. Mas Raka mengusap wajah kasar. Mungkin frustrasi karena selalu kutolak.
"Cepetan, Mas!" seruku.
"Ck!"
Kulihat Mas Raka beringsut menuruni ranjang. Lalu pergi menuju kamar mandi. Baguslah kalau masih ingat salat. Setidaknya ia tak lupa dengan satu kewajiban itu.
Sementara Mas Raka pergi, aku mencoba untuk tidur. Terserah apakah ia akan marah. Yang jelas aku malas meladeninya.
***
"Hari ini Mas ada lembur. Paling malem baru bisa pulang."
Mas Raka berbicara sambil memasang kancing bajunya. Kulirik dengan ekor mataku. Kini ia tengah menyisir rambut di depan cermin. Sejak pagi ia mendiamkanku. Haiissh! Mana aku peduli.
"Nggak usah nyiapin makan. Mas mau nyari di luar," ujarnya lagi ketus padahal tak sedang kutawari.
"Aku juga nggak masak. Lagi males," ucapku tak kalah ketus. Nada kunaikan satu oktaf.
"Jaga nada suaramu, Din!"
Aku menoleh. Mas Raka pun menoleh. Kedua pandangan kami bertemu. Ia menatap sengit, begitu pun denganku.
Lama tak kulihat ia merasa bersalah. Justru nyeri dalam hatiku kian bertubi-tubi. Cepat kubuang pandangan. Hati ini kembali sakit mengingat semua pengkhianatan yang ia berikan.
Tanpa berkata lagi. Mas Raka bergegas pergi. Aku terus saja diam. Hingga punggungnya menghilang di balik pintu. Lalu terdengar suara motornya berlalu dari halaman rumah.
Ck! Lihatlah, dia bahkan tak mengucapkan maaf padaku. Ia pergi tanpa mengingat keberadaanku.
"Kere aja banyak gaya!" ucapku kesal.
***
[Mas, nggak lupa sama acara kita hari ini, kan?]
[Enggak. Jangan lupa pake baju yang Mas beliin kemarin.]
[Terlalu nutup, Mas. Nggak suka ih.]
[Kalau kamu pake bajunya buka-bukaan terus, Mas mana tahan, Sayang. Kamu nggak kasihan apa.]
[Ish. Sabar dulu. Tunggu masa nifasku habis.]
Tak lagi kulanjutkan membaca pesan berbalas Mas Raka dengan Indah. Mataku panas, dadaku nyeri.
Dasar lelaki otak mesum! Pikirannya hanya isi selangkangan doang!
Kuusap wajah kasar. Bagaimana bisa Mas Raka berbalas pesan begitu, sementara ia sedang mengendarai sepeda motor. Apakah ia berhenti sebentar-sebentar?
Drrrttt!
Drrrttttr!
Gawaiku bergetar. Kulihat Karin sedang memanggil.
"Hallo, iya, Rin?"
"Aku udah di depan nih, ayo!"
"Sekarang?"
"Enggak, tahun depan! Ya sekarang lah Dini. Ya ampun ini anak. Hadeeeh."
"Oh, oke. Aku ke sana. Tungguin."
"Oke. Nggak pake lama."
Kututup pintu rumah. Lantas berjalan menuju pagar. Ada sebuah mobil berwarna putih di depan. Aku mengernyit. Apakah itu mobil Karin? Ragu-ragu aku berjalan mendekat.
Beeep!
Aku berjingkat. Bunyi klakson mobil mengejutkanku. Pintu di sebelah kiri mobil itu terbuka. Kulihat Karin melongok dari dalam.
"Ayo cepetan," ucapnya.
"Sekarang? Tapi, Mas Raka baru aja berangkat."
Karin memutar bola matanya.
"Udah ayo masuk. Jangan banyak protes."
***
Karin mengambil alih gawai milikku. Lantas menyuruhku melapisi baju dengan sebuah sweeter, tak lupa rok pemberian karin kukenakan. Katanya aku harus menyamar agar tak ketahuan.
"Nggak pake topi? Jaket?" tanyaku.
Karin terbahak.
"Nyamar terlalu mencolok juga bakal ketahuan. Iket aja rambut ke belakang. Trus pake masker. Cukup."
Aku menurut.
"Aku udah baca pesan suamimu itu sama gundiknya. Hahaha. Dasar buaya kelas teri."
"Maksudnya?"
"Suamimu itu nggak ada apa-apanya Din."
Karin berujar lagi sambil masih menyetir. Pandangannya fokus ke depan. Ya, ya, ya. Aku lupa sedang berbicara dengan siapa. Dia sama sepertiku. Korban buaya darat.
Kulihat Karin memperhatikan google maps. Laju mobilnya bergerak mengikuti tanda akun Mas Raka. Ingin sekali bertanya, tapi melihat wajah serius Karin. Aku tak berani.
"Suamimu punya mobil?" tanya Karin tiba-tiba.
"Enggak, Rin. Setahuku motor aja. Kerjanya juga cuman buruh pabrik."
"Oh, kamu percaya?"
"Percaya apanya?"
"Soal ia cuman buruh pabrik."
Aku terdiam. Yang kutahu memang Mas Raka bekerja sebagai buruh pabrik kayu. Ibu mertua juga tak pernah membahas hal itu.
"Kenapa gitu?" tanyaku penasaran sekaligus gelisah. Jangan-jangan aku dibohongi juga soal pekerjaan. Melihat slip gaji milik Mas Raka yang nilainya lebih dari lima juta.
"Yaelah, pelakor juga lihat-lihat mangsa. Biasanya yang tajir melintir tuh jadi sasaran mereka."
Aku tertawa. Kemudian menggeleng.
"Enggak, Rin. Mas Raka orang biasa. Dia sederhana aja sih hidupnya."
"Oh, gitu."
Karin menjawab singkat. Mobil terus melaju, hingga kemudian berhenti tak jauh dari sebuah rumah sederhana bercat hijau. Aku berpikir sejenak, jalanan tak asing ini dekat dengan rumah Ibu mertua.
"Itu Mas Raka!" tunjukku dengan tangan kanan.
Aku tercengang, suamiku itu keluar dari mobil berwarna hitam dan berhenti tepat di ambang pintu rumah. Ada seorang perempuan, memakai baju panjang berwarna mustard yang kuyakini bahwa dia adalah Indah. Ada pula seorang bayi dalam gendongan.
Aaarrggh! Menyebalkan!
"Itu rumah Indah. Suamimu menjemputnya."
Aku diam. Hanya bisa menyaksikan. Benar apa yang Karin ucapkan. Hatiku semakin mengkerut saat melihat Mas Raka mencium kening Indah, lalu anak bayi yang tak kuketahui jenis kelaminnya.
Mas Raka dan Indah berjalan menuju mobil. Mereka tampak bahagia layaknya sebuah keluarga utuh. Ya Allah.
"Gosah nangis. Lelaki macem gitu buang ke laut aja!"
Karin menyentakku. Aku memejam barang sebentar, kemudian mengangguk.
"Kita ikuti mereka," ucapku datar.
***
Isi kepalaku dijejali dengan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa Mas Raka menaiki mobil. Apakah ia memang memilikinya tanpa sepengetahuanku?
"Kok kita ke sini, Rin?" tanyaku saat melihat mobil Karin memasuki sebuah kawasan perumahan.
"Noh, liat itu mobil suamimu."
Mobil masih melaju. Kemudian berhenti di dekat sebuah lapangan. Tak jauh dari letak pemberhentian Mas Raka.
"Ayo turun. Kita jalan aja. Mobil suamimu udah berhenti."
"I-iya."
Aku mengikuti Karin. Berjalan bersisian dengannya. Karin dengan dandanannya yang biasa. Tak menyamar sepertiku.
"Kode gawai suamimu mengarah ke rumah itu. Kita berhenti di sini aja. Pura-pura ngadhem di pos. Betewe, kamu ada pernah ke rumah itu nggak?"
Karin menunjuk ke sebuah rumah. Ada pagar hitam berlubang. Kuperhatikan dengan seksama. Aku tak mengenalnya.
"Kita telat. Harusnya berangkat sejak suamimu itu pergi dari rumah."
"Kirain dia berangkat kerja, Rin. Maaf. Aku juga lelet."
"Nah, tahu gitu. Gapapalah. Tunggu aja di sini. Nggak mungkin juga kita masuk."
"Iya."
Aku menatap Karin. Ia tersenyum.
"Tenang, kamu nggak sendiri. Aku bantu sampai tuntas. Mau ngikutin caraku 'kan?"
Aku mengangguk.
"Soal pelakor itu, kita selidiki dulu latar belakang keluarga Indah. Biar tepat menempuh langkah selanjutnya. Nah, soal suamimu. Buat ia menderita."
"Caranya?"
"Itu si Indah lagi nifas. Kamu panasin aja suamimu tapi jangan kasih jatah. Harus lebih menggoda. Nggak usah malu. Entar aku permak abis deh tampilan kamu."
Mendengar solusi Karin. Kok jadi horor sendiri?
"Kalau Mas Raka kebelet, gimana?"
"Hadeeh, bilang aja lagi mens kek. Apa kek."
Aku mengangguk. Toh Mas Raka ingat padaku hanya saat soal 'jatah' saja.
"Trus kita ngapain di sini."
"Nyari jejak, Sayang. Oh ayolah. Jangan terburu-buru. Nikmati saja prosesnya. Buat suami dan gundiknya itu menderita. Berpikir cerdas, oke?"
Aku mengangguk saja meski masih tak paham.
Karin mengambil sebuah box obat gosok dari dalam mobil. Cukup banyak. Membuatku tak paham saja.
"Kamu bawa ini. Diam aja di sebelahku. Jangan panik atau grogi. Kita nyamar jadi sales obat gosok."
Ya Tuhan!
"Kamu gila, Rin? Kita ke rumah itu?"
"Iya. Itu rumah ortu Indah. Aku udah baca pesan suamimu itu."
"Aku nggak bisa, Rin. Perasaanku lagi nggak tentu sekarang."
Karin menghela napas. Ia menatapku prihatin.
"Yaudah, kamu tungguin di sini. Aku ke sana sendirian. Nggak masalah."
"Tapi ..."
"Udahlah. Santai. Diem di sini."
Karin bangkit dari duduk. Ia berjalan sambil membawa satu box besar obat gosok. Melangkah dengan pasti meninggalkanku menuju rumah orang tua Indah.
***
Menunggu penuh gelisah. Hatiku resah. Dalam pikiranku terbayang wajah Bapak. Ya Allah. Andai aku menurut beliau waktu itu. Ternyata benar, restu orang tua adalah segalanya. Aku bahkan tak tahu sejak kapan Mas Raka selingkuh sampai punya anak dari Indah.
Tak terasa mataku berair. Bukan menangisi pengkhianatan Mas Raka. Akan tetapi teringat dengan Bapak. Apa yang akan kukatakan padanya nanti? Rumah tanggaku sudah diambang kehancuran seperti ini.
Kuusap sisa air mata saat melihat Karin berjalan mendekat ke arahku. Ia tersenyum puas. Aku jadi tak sabar, apa yang ia dapatkan di sana.
"Dengarkan ini," ucap Karin sambil menunjukkan sebuah alat kecil. Berbentuk kotak hitam tipis. Ada lubang kecil layaknya sound.
"Ini apa?"
"Alat ini tersambung dengan alat yang kutempel di bawah meja tamu. Mampu merekam semua pembicaraan di sana."
Aku melongo.
"Mereka nggak curiga?"
"Enggak. Percayalah, selalu ada celah untuk tindak kejahatan. Mereka lengah. Orang tua Indah juga sudah berumur."
Aku tersenyum pahit. Bagaimana mungkin orang tua Indah merestui hubungan Mas Raka? Atau jangan-jangan suamiku itu telah mendustai mereka?
"Tekan tombolnya, cepetan ih," ujar Karin sambil menyentuh belakang alat berwarna hitam itu. Aku baru tahu jika ada tombolnya. Kudengarkan dengan seksama.
"Gimana lagi, Pak. Kerjaan banyak. Sering tugas di luar kota juga, jadi sering ninggalin Indah di rumah."
Ah, itu suara Mas Raka.
"Nggak papa, Mas. Demi anak dan istri aku bakal paham kok."
Kali ini suara perempuan. Jelas saja Indah yang menyahut.
"Malem ini nginep di sini, ya. Bapak masih kangen sama cucu."
"Iya. Raka tiga hari libur. Nemenin Indah di sini."
"Baguslah, berarti besok bisa antar Bapak ke notaris, ya? Mau ngurusin kepemilikan rumah. Juga bikin akta tanah baru. Ganti nama jadi milik Indah. Sekaligus mobil yang kamu bawa. Urus ke samsat, balik nama sekalian."
"Siap, Pak!" suara Mas Raka terdengar semangat.
Aku menatap Karin. Ya Allah, suamiku sudah sejauh ini rupanya.
"Indah anak orang kaya berarti," celetuk Karin.
"Kayaknya sih, iya."
"Trus, kenapa suamimu itu masih pertahanin kamu? Toh, dia udah dapat segala dari keluarga Indah."
"Nggak tahu juga."
Karin manggut-manggut.
"Peluang gede nih. Manfaatin aja suamimu itu. Kuras habis hartanya."
"Tapi, Rin. Entar aku jadi orang jahat."
Karin terbahak-bahak. Ia menatapku dengan ekspresi lucu.
"Udah ah, dengerin itu, apa aja yang mereka ucapkan."
Aku mengangguk.
"Bapak sudah ngasih banyak sama kamu. Kapan Indah berubah statusnya menjadi istri sah?"
Deg!
Aku nyaris menjatuhkan alat yang tadi kupegang. Apa aku tak salah dengar? Artinya, Bapak Indah tahu kalau Mas Raka mempunyai istri sah?
"Mereka jauh lebih jahat, Dini. Hahaha. Porotin aja. Sebegitu mudah mempermainkan pernikahan. Muak! Sumpah!"
Bersambung ....
Maafin, baru update. Mak Othor mabok rendang 🤣🤣🤣
Uwuww, makasih banyak yang udah mampir baca. Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen. 🤗🌷