Tak mudah untuk berpura-pura memaafkan. Hati ini dilanda kemelut. Kesal tak bertepi, namun harus tetap tersenyum manis di depan suami.
Sepulang dari rumah Ibu. Aku tak lagi mengungkit masalah. Kubiarkan semuanya larut dan menghangat kembali. Mengalah untuk menang, solusi terbaik yang Karin beri.
Hari ke dua. Suami masih tak curiga. Ia seolah lupa dengan semua yang pernah terjadi. Tentang struk belanja dan slip gaji yang kuungkit. Betapa remeh sekali Mas Raka menganggap sebuah masalah. Terlebih menganggap bahwa perasaanku akan baik-baik saja. Ya, semudah itu!
"Dek, Mas kangen," ucapnya suatu sore. Sepulang ia kerja.
"Adek juga sama, Mas."
Aku menatap dalam. Suamiku mendekat. Hendak mencium kening. Aku mundur sejengkal. Enak saja! Aku belum siap. Bagaimana jika ia sudah membagi tubuhnya dengan perempuan lain?
Oh, astaga! Bukankah memang sudah? Mengingat perempuan hamil itu ....
"Kenapa?" tanya Mas Raka heran.
"Masih sore, Mas. Baru aja mandi. Nanti, ya. Mas 'kan baru pulang kerja. Oh, ya. Adek tadi bikin bubur kacang. Mau nggak?" Kualihkan perhatiannya dengan yang lain.
Mas Raka tersenyum. "Mau," ucapnya sambil meremas jari tanganku. Dari gelagatnya, ia begitu ingin padaku.
"Yaudah, Adek ambilin sebentar. Mas diem dulu, ya."
"Iya."
Aku beranjak dari ranjang lantas berlalu meninggalkan kamar menuju dapur. Sejak pulang dari rumah Ibu. Mas Raka begitu telaten menyimpan gawainya. Aku jadi tak punya kesempatan untuk menyentuh barang sebentar.
Karin memberi ide. Sedikit extrim, tapi bagiku tak masalah. Idenya memang gila, menyuruhku memasukkan serbuk obat tidur pada minuman atau makanan Mas Raka. Jadilah kumasukkan ke dalam bubur kacang. Berharap semoga rasa manis mampu menetralkan aroma obat yang ada.
"Ini, Mas," ucapku sambil menyerahkan semangkuk bubur kacang. Sengaja kubuat encer, agar serbuk obat cepat larut. Jika bukan karena terpaksa, aku tak mungkin melakukan ini semua.
Ya Allah, maaf ....
Aku sedang mencari kebenaran tentang rumah tanggaku ini.
"Makasih ya, Dek. Buburnya enak," ucap Mas Raka sambil menyuap bubur dalam mulut.
"Alhamdulillah kalau enak. Nikmati aja, Mas. Biar kenyang."
Aku tersenyum. Kulirik jam di dinding kamar. Hampir pukul lima sore. Sebentar lagi ia pasti tertidur. Dari yang kubaca, obat ini memang begitu manjur.
"Kamu mau?" Mas Raka hendak menyuapkan sendok ke dalam mulutku.
Aku menggeleng. Menolak pemberiannya.
"Lagi ngurangin yang manis-manis, Mas. Ehm, diet. Biar badannya tetep bagus."
Aku mengedip-kedipkan mata.
"Oh, iya."
Mas Raka tersenyum mengerti, ia begitu lahap menikmati bubur kacang hijau miliknya. Hingga semuanya habis. Tandas tak bersisa.
Baiklah, kita tunggu reaksinya setelah ini.
***
"Dek, kepala Mas kok mendadak berat, ya? Jadi ngantuk begini."
Mas Raka menguap. Ia menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Pasti karena kekenyangan. Gapapa. Tidur aja sebentar. Nanti Magrib Adek bangunin."
"Ya udah, iya. Maaf ya. Tiba-tiba aja ngantuk."
Belum juga kujawab, Mas Raka sudah memejam dengan posisi telentang. Lamat-lamat terdengar suara dengkurannya yang halus. Aku tersenyum menang. Kena kamu, Mas!
Gegas aku mendekat. Kuletakkan telapak tangan di depan wajah Mas Raka. Menggerak-gerakkannya ke kiri dan ke kanan.
Yes!
Tak ada pergerakan yang berarti dari kelopak matanya yang terpejam. Ia pasti sudah tertidur pulas. Tak salah aku memilih obat. Langsung bekerja tanpa menunggu lama.
Mengefektifkan waktu, kucari-cari gawai milik suamiku itu. Merogoh di saku celananya.
Ketemu!
Kurogoh kembali saku celana satunya yang berisi dompet. Kuambil benda berbahan kulit asli itu. Membukanya lebih dulu.
Aku mengernyit. Keningku berkerut mengamati sebuah kunci yang tersimpan dalam dompet. Selama aku tinggal di rumah ini aku tak tahu itu kunci apa.
Kualihkan pandang menatap Mas Raka. Apa lagi yang kamu sembunyikan dariku, Mas?
Ck!
Aku berdecak kesal. Cepat kuambil gawai milikku untuk mengambil foto kunci tadi. Kucari lagi benda lain yang mencurigakan di dompet Mas Raka. Nihil, tak ada lagi. Struk belanja maupun slip gaji, semua sirna. Hilang entah ke mana.
Puas membuka isi dompet. Beralih aku mengutak-atik gawai suamiku itu.
Aaarrrgh! Sialan!
Kenapa pakai dikunci segala!
Aku duduk di bawah. Dekat dengan ranjang kasur. Sambil menyilangkan kaki, aku berpikir kode apa yang Mas Raka pasang di gawainya?
Kuhela napas panjang. Lalu memasukkan tanggal lahir suamiku itu. Dengan jantung berdegub kencang. Tanganku bergerak terampil memasukkan enam digit angka.
Zonk!
Kata sandi gagal.
Tak putus asa. Kumasukkan lagi tanggal lahirku. Barangkali masih ada sisi romantis dalam diri Mas Raka.
Ya Tuhan! Zonk juga!
Semakin bertambah kesal aku dibuatnya. Kuotak-atik lagi. Memasukkan tanggal pernikahanku dan suami. Ujung-ujungnya sama saja. Zonk.
Ya Allah. Hatiku kalut. Bagaimana bisa mengungkap kebenaran yang ada jika membuka gawai Mas Raka saja aku tak bisa. Oh, ayolah! Apa sandi gawai suamiku ini?!
Kumasukkan namaku, nama Mas Raka, masih gagal tak mampu membuka kunci gawai. Hingga aku harus menunggu selama semenit, karena sudah lebih dari lima kali gagal membuka kata sandi.
Kuseka peluh di kening. Rasanya sudah putus asa. Sekelebat wajah Ibu mertua tiba-tiba saja hadir. Ah, iya. Nama perempuan hamil itu.
Bismillah.
"I-N-D-A-H."
Aku melongo tak percaya. Kata sandi benar. Kunci layar terbuka. Rasanya hatiku tertusuk aneka duri. Sakit sekali mengetahui bahwa kata sandi dalam gawai suamiku adalah nama perempuan lain.
Sialan kamu, Mas!
Keterlaluan kamu, Mas!
Sudut-sudut hatiku menjerit tragis.
Kuusap wajah kasar. Tak mau kehilangan kesempatan. Kuikuti apa yang Karin ajarkan. Mulai dari menelusuri akun watsapp, telegram, facebook, hingga email Mas Raka.
Kubuka gawaiku sendiri, lalu membuka aplikasi yang sudah kudownload via google plystore. Kuarahkan kamera aplikasi tersebut lantas menscan barcode dalam aplikasi hijau milik Mas Raka.
Done!
Kulirik sekilas ke arah Mas Raka. Ia masih tertidur pulas. Syukurlah. Aku tersenyum sinis. Setelah ini, mau mengelak apalagi kamu, Mas!
Beralih dari aplikasi hijau. Aku membuka google maps miliknya. Kutautkan dengan akunku. Karin mengajarkan, agar mudah saat melacak keberadaan Mas Raka.
Aku bersyukur punya sahabat secerdas dia.
***
Malam semakin larut. Aku menunggu dengan hati berdebar. Seperti maling yang takut ketahuan. Kulirik ke sisi kanan ranjang. Mas Raka masih tertidur. Tadi, ia terbangun hanya untuk salat Magrib. Sepertinya setengah sadar karena setelahnya ia tertidur lagi.
Drrrttt!
Drrrtttt!
Gawaiku bergetar. Kulirik ke sisi kanan. Mas Raka masih tertidur. Perlahan, kuambil gawai milikku yang tersembunyi di bawah bantal. Aku penasaran, apakah pekerjaanku tadi berhasil.
Kuusap layar gawai. Lalu memasukkan kode milikku sendiri. Jangan sampai Mas Raka membuka dan tahu semua yang sudah kurencanakan. Bisa-bisa menjadi senjata makan tuan.
Aku tersenyum saat membuka layar gawai milikku. Pesan yang masuk bukan dari nomerku, melainkan nomer Mas Raka. Sumpah, aku harus banyak berterima kasih pada Karin. Bagaimana bisa otaknya bekerja secerdas itu. Penyadapan yang kulakukan berhasil!
[Mas, aku kangen. Besok ketemu, ya. Tempat biasa]
Deg!
Pesan yang masuk datang dari kontak bernama Bunda Indah. Hatiku mengkerut. Butuh bukti apa lagi? Rasanya semua sudah cukup. Ya, jelas saja itu Indah yang Ibu maksud waktu itu.
Tak berselang lama. Kembali gawaiku bergetar. Kulihat pesan masih dari nomer yang sama.
[Jangan lupa, besok hari spesial kita. Tempat biasa, ya, Mas. Love you]
Aarrrggghh!
Menyebalkan!
Menyebalkaaaannn!
Sudah jelas kalau Mas Raka selingkuh. Ya Allah, kejam sekali. Apa salahku selama ini padamu, Mas? Kurang nurut apa aku sebagai seorang istri?
Mataku panas, nyaris ada air mata yang tumpah, tapi secepat kilat kusapu. Pantang menangis untuk sebuah pengkhianatan!
Segera saja kuscreen shoot pesan dari Indah tadi di nomer Mas Raka. Lalu mengirimkannya pada Karin. Saat seperti ini, aku tak bisa berpikir dengan benar. Aku butuh solusi.
[Please, bantu Rin. Aku buntu.]
[Kerjamu udah bagus, Sayang. Besok kita datangi tempat ketemuan mereka. Gak usah panik. Kalem.]
Begitu balasan dari Karin setelah kukirim pesan.
[Nggak sabar aku Rin. Gregetan! Pengen kutampar perempuan bernama Indah itu. Pengen kuciduk keduanya dan memarahi habis-habisan di depan umum.] Tulisku penuh dengan emosi. Rasanya ubun-ubunku mendidih.
[Gosah gegabah. Turutin aja caraku. Udahlah, diam dan ikutin semuanya. Menjadi janda itu nggak mudah. Seenggaknya kamu harus punya modal.]
[Dih! Aku nggak mikirin harta Rin. Biarlah lepas dari pengkhianatan suami. Aku nggak tahan. Mas Raka keterlaluan.]
[Ini bukan soal harta, Dini. Ini soal kehormatan.]
Napasku tercekat. Bukan soal balasan dari Karin, tapi saat kurasakan sebuah sentuhan di perutku. Mas Raka melingkarkan tangannya. Gegas kusembunyikan gawai milikku. Kembali ke bawah bantal.
"Dek, Mas kangen ..."
Ia mendekap dari belakang. Lalu tangannya bergerak meraih, melepasi kancing baju tidurku. Ya Tuhan! A-aku harus bagaimana?
Bersambung ....
Jangan lupa tinggalkan like dan komen ya. Udah double up hari ini. Gimana, besok momen lebaran niih. Update sekalian atau jangan?
Di luar itu semua, Author mau ngucapin.
اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَِللهِ الحَمْدُ
Jika ada kata atau sikap saya yg tidak berkenan tolong dimaafkan 🙏🏻
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H. 🙂
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ صِيَامَنَا وَصِيَامَكُمْ.
Minal aidin wal faizin.
Mohon maaf lahir & bathin. 😊🙏