PISAH? SIAPA TAKUT 7
PoV Nesya
Aku kaget melihat kedatangan Mas Baron. Segera aku masuk dan mengunci pintu dari dalam agar lelaki yang sudah menorehkan luka yang begitu dalam itu tidak dapat masuk dan mengganggu ketenanganku.
"Buka pintunya, Nes. Izinkan aku bicara." Mas Baron mengetuk pintu dari luar dan aku berada di dalam.
"Siapa, Nes? Kenapa kamu biarkan seseorang berada di luar seperti itu?" tanya ibu yang sudah muncul lagi.
Kutatap ibu, dengan kedatangan Mas Baron kali ini, aku tidak bisa menyembunyikan statusku lagi meski sebenarnya aku masih sah menjadi istrinya karena lelaki yang saat ini terus mengetuk pintu itu belum mengucapkan kata talak sebagai pertanda putusnya hubungan suami istri.
"Siapa, Nes? Kenapa diam saja?" tanya ibu lagi.
Aku menggigit bibir bawah dan menjawab lirih. "Mas Baron datang, Bu."
"Ya udah, buka pintunya. Suami datang, kok, malah dibiarkan di luar seperti itu."
"Tapi masalahnya__"
Aku tidak melanjutkan kata-kataku karena ibu meraih kunci pintu dan memutarnya agar terbuka.
"Ibu?" Sekonyong-konyong Mas Baron meraih tangan ibu dan menciumnya dengan takzim setelah pintu terbuka.
"Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku dengan tangan bersedekap.
Tak kuhiraukan uluran tanganya. Ia pasti berharap aku meraih tangan itu dan segera mengecupnya. Aku bergidik ngeri saat membayangkan tangan itu sudah digunakan untuk menyentuh wanita lain yang dengan terang-terangan dikatakan sebagai pacar.
"Nes, kenapa kamu bertanya seperti itu? Dia ini suamimu, tentu datang ke sini ingin menjemputmu agar segera pulang," kata ibu lembut.
"Aku sudah tidak ingin bertemu dengannya lagi, Bu. Muak." Aku berbalik.
Awalnya aku ingin menyembunyikan masalah ini dari ibu, tetapi setelah kupikir-pikir menyembunyikan masalah dari orang tua tidaklah dibenarkan. Tidak ada salahnya kalau aku jujur saat ini karena suatu saat nanti ibu juga pasti akan tahu.
"Sik, sik, sik. Ini ada apa? Kenapa tiba-tina kamu tidak ingin bertemu dengan suamimu. Bukankah kamu sangat mencintainya, Nes? Kalau ada masalah, bicarakan baik-baik dan dengan kepala dingin, bukan malah tidak mau bertemu seperti ini," kata ibu.
"Dalam rumah tangga itu pasti ada masalah yang bisa memicu timbulnya pertengkaran karena ini adalah bumbu dalam berumah tangga. Semakin sering pasangan suami istri bertengkar, itu malah semakin bagus karena akan membuat hubungan semakin kuat. Betul, kan, Bu?" kata Mas Baron.
Aku memutar bola mata malas, Kesal apalagi saat ia bilang bertengkar akan membuat hubungan suami istri menjadi kuat. Teori dari mana itu? Menyesatkan.
"Bu, aku ingin pisah dari Mas Baron," ucapku mantap.
"Enggak, Bu. Aku tidak ingin pisah dari Nesya. Ibu juga pasti todak akan setuju, kan, kalau kami berpisah?" kata Mas Baron.
"Aku tetap ingin pisah darimu, Mas."
"Duduk! duduk dulu! Jangan sambil berdiri seperti ini agar bicaranya enak. Ayo, duduk. Sebentar aku panggil bapak dulu." Ibu meraih tanganku dan mendudukkanku di kursi.
"Ayo, duduk dulu, Baron. Sekarang kalian bicara baik-baik. Ibu tinggal dulu, ya." Ibu pergi ke halaman belakang untuk memanggil bapak.
Tidak lama kemudian, bapak muncul dengan masih mengenakan celana kolor selutut dan kaus oblong.
"Oh, ada Nak Baron. Sebentar, ya, bapak mau mandi dan ganti baju dulu." Bapak berbalik, tetapi aku menahan tangannya. "Nggak perlu, Pak. Langsung duduk di sini dan karena aku akan membicarakan sesuatu yang penting."
Bapak tersenyum lalu mencium bajunya sendiri. "Bau, Nes, karena bapak baru saja dari kandang kelinci. Bapak nggak mau kalian tidak nyaman."
Bapak tetap ke dalam meski sudah kutahan. Tidak lama kemudian ia sudah keluar dengan memakai kemeja meski kancingnya belum terpasang sempurna dan dengan bawahan kain sarung.
Aku tersenyum, bapak sangat menghormati setiap tamu yang datang sehingga harus memakai pakaian yang sopan saat menyambutnya.
"Nah, kalau begini baru enak. Sekarang katakan kamu mau bilang apa?" Bapak memasukkan kancing bajunya lalu duduk tegap.
"Pak, aku ingin pisah dari Mas Baron." Aku berkata dengan bibir bergetar.
"Apa? Maksudmu apa bilang ingin melakukan perbuatan yang sangat di benci Allah itu, Nes? Hati-hati kalau berbicara karena pernikahan itu bukan permainan," kata bapak tenang.
Inilah yang membuatku kagum pada lelaki cinta pertamaku ini. Ia selalu tenang dalam menghadapi masalah.
"Kamu dengar sendiri, kan, Nes? Kalau Bapak dan Ibu tidak ingin kita pisah." Mas Baron tersenyum kemenangan.
"Tunggu dulu! Kenapa tiba-tiba Nesya mau minta pisah. Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Tidak mungkin Nesya mau mengambil keputusan sebesar ini yang mengangkut dengan masa depannya jika tidak ada permasalahan yang mendahuluinya," kata bapak masih berusaha tenang.
"Tidak ada masalah, Pak. Hanya terjadi kesalahpahaman saja di antara kami. Itu wajar, kan, Pak, dalam suatu hubungan? Sehingga tidak perlu ada perpisahan di antara kami," kata Mas Baron.
Lagi, ia tersenyum penuh kemenangan.
"Betul itu, Nes, tidak semua masalah dalam rumah tangga harus berakhir dengan perceraian. Pikirkan dulu baik-baik," kata bapak sambil mengusap tanganku dengan lembut.
"Iya, aku mungkin bisa memaafkan kesalahan, tetapi tidak untuk pengkhianatan yang sudah Mas Baron lakukan?" ucapku santai dan kali ini aku berharap bapak akan mendukung keputusanku.
"Apa? Maksudnya Baron berselingkuh?" tanya bapak dengan nada tinggi.
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, Bapak dukung keputusanmu untuk pisah dengannya, Nes," ucap bapak penuh penegasan.
"Apa?" Muka Mas Baron pucat mendengar ucapan bapak.