enam
PISAH? SIAPA TAKUT 6

"Baron? Kenapa masih diam saja? Ayo buruan susul Nesya! Tunggu apa lagi! Haish, anak ini, kenapa lelet banget. Bikin gemes aku!" Ibu menepuk pundakku dan berbicara dengan gigi gemeletuk. 

"Sebentar, Bu. Aku harus tanya dulu. Dia ada di mana biar langsung cus ke sana." Aku masih mencoba menelepon Nesya dengan menggunakan ponsel ibu dan berharap kali ini ia mengangkat teleponku. 

Namun, sampai tanganku pegel, ia tetap tidak mau mengangkat juga, bahkan nomor ibu mungkin juga ikutan di blokir. Ada apa ini?

"Sudahlah, Mas. Biarkan saja dia pergi. Kan masih ada aku yang akan selalu mencintaimu sepenuh hati. Buat apa mengejar orang yang memang sudah pergi. Buang tenaga saja. Capek," sahut Jihan. 

Kupandang wajahnya yang ayu. Ia tidak tahu betapa khawatirnya diri ini jika Nesya tidak berubah pikiran untuk kembali. 

Demi apa pun, hanya aku dan ibu yang tahu kenapa wanita yang sudah melahirkanku itu tetep ngotot ingin aku menjemput Nesya meski Jihan terus menahanku. 

Dulu, aku adalah seorang manager di sebuah perusahaan dengan gaji yang tinggi sehingga dapat memenuhi syarat untuk membeli rumah dengan sistem cicilan yang lumayan tinggi setiap bulannya yaitu enam juta. 

Untung tak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Perusahaan tempat aku bekerja gulung tikar karena pandemi dan setelah itu aku kesulitan mendapatkan pekerjaan lagi. 

Beruntung, aku punya istri yang bisa menghasilkan uang meski bukan pekerja kantoran melainkan hanya seorang baby sitter yang sudah lama bekerja sebelum menikah denganku. Siapa sangka gajinya sebagai pengasuh anak itu lumayan besar. Awalnya ia memang kaget saat tahu rumah ini baru mulai nyicil dan ia tidak keberatan jika uang yang ia dapatkan digunakan untuk membayar cicilan rumah setiap bulannya. Toh, rumah ini akan menjadi miliknya juga, begitu katanya. 

Sekarang kalau ia pergi, siapa yang akan membayar cicilannya? Duh, pusing aku. 

Kupandangi Jihan dan ibu secara bergantian. Siapa yang harus aku turuti permintaanya? 

Setelah menimbang dan memikirkan matang-matang. Akhirnya aku putuskan untuk menyusul Nesya sekarang juga. Aku akan langsung menjemputnya dan ia pasti ada di rumah majikannya itu. 

Untunglah, aku sering antar jemput ia setiap bulan sehingga tahu alamatnya yang dapat ditempuh dalam waktu setengah jam saja jika menggunakan sepeda motor. 

Rumah majikan Nesya sudah mulai kelihatan. Jantungku berdegup tidak karuan saat ingin bertemu dengannya. 

Kulirik wajahku di balik kaca spion lalu tersenyum. Kulihat sekali lagi wajahku yang ganteng ini. 

Aku harus menelan kekecewaan saat tiba di rumah itu dan ternyata Nesya tidak ada dan saat aku tanya sama ibunya Pak Gilang, ia juga tidak tahu. Kamu di mana, Nes? 

Pikiran buruk mulai menghantuiku. Bagaimana kalau ia tidak terima dengan kenyataan bahwa aku telah mendua lalu melakukan suatu perbuatan nekat, bun*h diri misalnya. Iya, aku tahu Nesya memang sangat mencintaiku, tidak menutup kemungkinan ia depresi lalu melakukan hal terlarang itu. 

Aku menggeleng, jika Nesya benar-benar bun*h diri, maka aku akan merasa sangat bersalah. Duh, pusing aku. 

Aku kembali ke rumah dengan perasaan tidak karuan. Kulihat ibu dan Jihan masih mondar-mandir di depan rumah. Mereka pasti sedang menunggu kepulanganku. 

"Bagaimana, Baron? Nesya nggak mau kamu ajak pulang?" Ibu menanyaiku saat aku baru saja sampai dan belum turun dari motor. 

"Nesya nggak ada di sana, Bu. Bagaimana kalau ia bu*uh diri karena tidak bisa menerima kenyataan harus diduakan oleh ke kaki tampan sepertiku? Aduh, aku berasa sangat bersalah kalau seperti ini, Bu." Aku mengacak rambut frustasi. 

"Nesya bun*h diri? Enggak mungkin, Baron," kata ibu. "Tetapi kalau memang ia melakukan itu, ya, itu bukan salah kamu, tetapi salah sendiri kenapa tidak mau dimadu."

"Pikiranku nggak enak, Bu." Aku menjatuhkan bobot di kursi lalu menjambak rambutku sendiri . 

"Tenang, Mas. Masih ada aku. Mau kuberikan sesuatu yang akan membuatmu lupa dengan segala permasalahan yang ada?" Jihan membelai pipiku dan aku merasa tubuhku seperti dialiri strum berdaya tinggi, apalagi saat melihat wanita cantik itu mengedipkan mata menggoda. 

Jihan mengajakku memasuki kamar yang biasa kami memadu kasih layaknya pasangan suami istri sehingga aku dapat melupakan Nesya untuk sejenak. 

Aku terlelap setelah menggapai surga dunia bersama Jihan. 

***

Aku bangun di pagi hari dan Jihan sudah tidak ada di sampingku lagi. Kembali aku teringat dengan Nesya. 

Ibu memberiku saran untuk mencari ke rumah orang tuanya karena kata ibu, orang tua adalah tempat yang tepat untuk mengadu. 

Setelah memakai baju terbaik yang kumiliki, aku siap untuk menjemput sang istri. Iya, Nesya masih istriku karena aku belum mengucap kata talak itu. 

Aku terbelalak saat sebuah mobil putih meninggalkan halaman rumah orang tua Nesya dan aku tahu kalau itu adalah mobilnya Pak Gilang. Huh, ternyata ia bersama Pak Gilang di sini. 

Aku tersenyum saat melihat Nesya, itu artinya ia tidak bun*h diri seperti dugaanku, tetapi wanita itu malah berbalik dan masuk ke dalam rumahnya kemudian menutup pintunya rapat-rapat. 

"Nes, buka pintunya. Izinkan aku bicara." Aku berbicara di luar pintu sedang Nesya ada di dalam. 

"Siapa, Nes? Kenapa kamu kunci pintunya?" Aku mendengar suara wanita di dalam sana dan aku yakin itu adalah ibunya Nesya. 

Yes, aku harus menjelaskan pada wanita tua itu kalau di antara kami telah terjadi kesalahpahaman. Semoga ia mau membujuk Nesya agar kembali padaku.