bab 1
PISAH? SIAPA TAKUT

"Ini, Mbak." Pak Gilang mengulurkan sebuah amplop cokelat padaku.

"Apa ini, Pak? Bukankah hari ini belum saatnya saya menerima gaji? Apa mungkin bapak memecat saya?" tanyaku dengan dahi berkerut. 

Lelaki berkumis tipis itu tertawa pelan. "Tidak ada alasan bagi saya untuk memecat orang sebaik kamu, Mbak."

"Lalu ini apa?" 

"Itu bonus dari saya. Terima lah, ini adalah rezeki untuk Mbak sekeluarga." Ia tersenyum manis. 

Karena penasaran merasa amplop itu begitu tebal, aku membukanya. "Maaf, Pak, apakah ini tidak keliru? Ini banyak sekali, lho, hampir dua kali lipat dari biasanya."

Lelaki bertubuh tegap itu tersenyum. "Ini sesuai dengan pekerjaan Mbak yang sudah mengurus dua anak saya dengan baik."

"Terima kasih, Pak. Saya akan gunakan untuk membayar cicilan rumah." Aku mendekap amplop itu dengan rasa syukur. 

"Kamu boleh pulang, Mbak. Hari ini saya libur," katanya lagi. 

Aku mengangguk, lalu ke kamar untuk ganti baju dan mengambil tas. 

Aku pulang setelah melalui banyak drama karena dua anak Pak Gilang-anak yang selama ini kuasuh tidak mau kutinggal. Iya, aku sudah lama membersamai keduanya sehingga hubungan kami sudah sangat dekat. 

Sebenarnya saat ini bukan jadwalku pulang karena biasanya aku pulang sebulan sekali, tetapi ini baru setengah bulan, aku sudah pulang. Tidak apa, aku akan memberikan kejutan untuk Mas Baron. Ia pasti senang dengan kejutanku ini. Iya, hal paling membahagiakan bagiku adalah bertemu suami setelah beberapa waktu berpisah karena terpaksa aku harus bekerja. 

Aku bekerja menjadi pengasuh anak di rumah Pak Gilang yang berprofesi sebagai dokter. Sebenarnya aku ingin berhenti dari pekerjaan ini, tetapi mengingat Mas Baron yang pekerjaanya hanya serabutan setelah kehilangan pekerjaan sebagai manager di sebuah perusahaan beberapa waktu yang lalu membuatku harus tetap bertahan di sini meski harus menahan rindu yang menyiksa karena jauh dari orang yang aku cintai-suamiku. Lagi pula Mas Baron juga keberatan jika aku berhenti dari pekerjaan ini. 

Dengan hati riang, aku berjalan menuju pangkalan ojek dan sengaja tidak meminta Mas Baron untuk jemput karena ingin memberinya kejutan.

Aku tersenyum saat membayangkan betapa bahagianya Mas Baron saat aku pulang lebih cepat dari biasanya apalagi uang yang kubawa juga cukup banyak. 

Aku tersenyum saat melihat rumahku yang besar itu. 

Dahiku mengernyit saat melihat sebuah sandal di depan pintu. Aku berjalan perlahan saat samar-samar terdengar suara orang sedang bercakap-cakap di dalam. 

"Mas, aku minta dibeliin kalung, dong. Besok aku ada acara keluarga, malu kalau sampai tidak membawa perhiasan." 

Siapa itu? Kenapa ia meminta kalung pada lelaki yang ia panggil Mas itu. Lalu Mas itu siapa? 

Kututup mulut dengan kedua tangan saat melihat Mas Baron sedang duduk bermesraan dengan seorang wanita dan ternyata ia yang bilang ingin minta kalung pada suamiku. 

"Iya, sebentar, Sayang. Tunggu aku gajian dulu, setelah itu baru kira pergi berbelanja dan kamu bisa beli apa pun yang kamu mau." Mas Baron membelai rambut wanita yang memakai gaun dengan belahan dada rendah itu. 

Tanganku mengepal dan dadaku bergemuruh hebat, apalagi saat melihat wanita menggelayut manja di lengan lelaki yang bergelar suamiku itu. 

Kutatap amplop berisi uang dari Pak Gilang yang rencananya akan kuberikan pada Mas Baron untuk bayar cicilan rumah ini. Aku berubah pikiran, uang ini tidak akan kuberikan padanya karen aku yakin, bukannya menggunakan sebagai mana mestinya, tetapi pasti akan diberikan pada wanita itu. Apalagi ia baru saja berjanji padanya, dari mana ia memiliki uang kalau selama ini aku lah yang dia andalkan. 

"Nesya? Kamu sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" Tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang dari belakang yang ternyata adalah ibu mertua. 

"Nesya? Sejak kapan kamu ada di sini? Kok sudah pulang? Kan baru setengah bulan?" Mas Baron menyusul keluar setelah mendengar suara ibu, tetapi tidak dengan wanita itu. 

Aku melongok ke dalam untuk mencari wanita itu, tetapi tidak ada. 

"Di mana wanita itu, Mas?" tanyaku dengan dada bergemuruh. 

"Wanita yang mana, Dek? Tidak ada siapa-siapa selain aku di sini. Aku kangen banget sama kamu." Mas Baron berusaha menarik ranganku, tetapi aku menepisnya. 

Aku tersenyum saat melihat ada yang bergerak di balik pintu, itu pasti wanita itu. Aku mendekat meski Mas Baron berusaha menahannya. 

Darahku mendidih melihat wanita berbaju merah itu bersembunyi di balik pintu. Lalu aku menarik rambutnya. "Dia siapa, Mas?" 

"Aduh sakit, Mbak. Sakit!" Wanita itu menjerit karena aku menarik rambutnya cukup keras. 

"Lepaskan, Nes. Iya, aku ngaku kalau dia ini pacarku, tetapi tolong lepaskan dia," kata Mas Baron dengan muka mucat. 

"Oh, pacar, ya? Lalu aku apa, Mas? Punya istri masih saja punya pacar. Lelaki macam apa kamu?" tanyaku dengan nada tinggi. 

"Dengarkan dulu, Nes. Dia ini adalah cinta pertamaku dan aku ingin kembali padanya. Izinkan aku untuk poligami," ucap Mas Baron. 

Aku mengendurkan tanganku yang ada di rambut wanita itu. 

"Aku tidak mau!" ucapku tegas. 

"Kalau begitu kamu harus rela berpisah dengan anakku dan pergi dari rumah ini," sahut ibu. 

Mataku terbelalak saat mendengar ibu yang ternyata tahu kalau anaknya punya pacar. 

Aku tertawa, dia bilang aku harus berpisah dengan Mas Baron jika menolak poligami dan pergi dari rumah ini? Siapa takut? Rumah ini memang atas nama Mas Baron karena dibeli sebelum menikah denganku, tetapi setelah kami menikah, aku baru tahu kalau rumah besar ini masih nyicil dan akulah yang membayar cicilan yang lumayan banyak itu setiap bulannya.