PISAH? SIAPA TAKUT 2
"Nesya, duduk dulu, Nak," kata ibu.
Dahiku berkerut melihat ibu yang berubah dalam sekejap. Tadi berkata dengan nada tinggi saat mengatakan aku harus pisah dengan Mas Baron jika tidak mau dipoligami.
"Baron tidak bermaksud untuk menceraikanmu, Nes. Pikirkan dulu, jangan buru-buru ambil keputusan. Kamu akan tetap menjadi istrinya Baron asalkan mengizinkan suamimu untuk menikah lagi. Bukankah lelaki boleh menikahi lebih dari satu wanita? Kamu tahu, itu kan, Sayang?" Ibu mertuaku berkata lembut.
"Ibu benar, Nes. Kita tidak perlu berpisah meski ada Jihan di antara kita," sahut Mas Baron mengulum senyum.
Ia hendak meraih tanganku tetapi aku menepisnya. Jijik rasanya saat ingat tangan itu baru saja membelai wanita lain meskipun itu pacarnya. Hm, jadi wanita itu bernama Jihan. Nama yang sangat bagus karena artinya berkelakuan baik, sayang, namanya tidak sesuai dengan kelakuannya. Mendekati lelaki beristri tidaklah dibenarkan apa pun alasannya.
"Aku nggak mau, Mas. Kalau kamu masih ingin tetap bersama wanita ini, aku yang akan mundur," ucapku tegas sambil menata hati yang terus bergejolak. Tidak kusangka lelaki yang aku cintai tega berbuat curang seperti ini.
Ibu mengulurkan segelas air putih padaku.
"Apa ini, Bu?" tanyaku.
Kubiarkan minuman itu masih ada di tangannya karena heran, kenapa ia mendadak baik seperti ini.
"Minum dulu, Nes, agar otak kamu adem sehingga dapat menerima Jihan sebagai adik madumu nanti. Masih mending lho, anakku tidak menceraikan kamu meski ia sudah bertemu dengan cinta pertamanya. Karena apa? Karena ia sayang sama kamu, Nes?" Ibu berkata lembut.
Meskipun ia berkata lembut, tetapi sukses membuatku sakit hati. Bagaimana mungkin ia memintaku untuk menerima seorang madu dalam rumah tangga kami. Kalau ia memang sayang tidak mungkin akan melakukan ini, bukan?
Aku menggeleng. "Sampai kapan pun aku tidak akan mau menerima madu karena madu itu pahit, sangat pahit dan aku tidak akan sanggup menelannya."
"Nes, ibu bilang minum dulu agar kamu dapat berpikir jernih. Apalagi kamu baru saja datang, bisa saja setan ikut pulang bersamamu." Ibu memaksakan untuk meminum cairan bening itu.
Aku malah jadi curiga, kenapa ia memaksakan untuk minum. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres dalam minuman itu. Kalau ada jampi-jampinya gimana? Aduh, kenapa aku malah berpikir yang aneh-aneh seperti ini?
"Ayo minum! Ibu tidak akan ngasih racun untuk menantu yang baik sepertimu, Nes," kata ibu seolah tahu dengan apa yang kupikirkan karena tidak jua minum air yang ia sodorkan.
Aku meraih minuman itu dan menenggaknya sampai habis. Lumayan, rasa sejuk menjalar di tenggorokan meski kepala tetap panas.
"Bagaimana? Apakah sekarang kamu berubah pikiran setelah otak adem? Lihat Baron baik-baik, Nes. Kamu tidak akan bisa hidup tanpa dia. Kalian memang ditakdirkan untuk selalu bersama dari dulu hingga nanti." Ibu tersenyum.
Aku menggeleng cepat. Ibu berkata demikian karena ia tahu apa peranku dalam kehidupannya ini.
"Pikirkan lagi keputusanmu untuk pisah dengan Baron. Jangan gegabah, pikirkan jangka panjangnya. Jika kamu sampai tidak mau dimadu dan memilih pisah, kamu akan menjadi janda. Kamu pikir menjadi janda itu enak? Jangan sampai kamu menyesal nanti." Ibu duduk di sampingku dan meraih tanganku.
Aku mengangguk. "Iya, mungkin aku akan menyesal jika minta pisah dari Mas Baron, tetapi akan lebih menyesal lagi jika bertahan dalam rumah tangga yang kurasa tidak sehat ini."
"Jadi, kamu tetap tidak mau dimadu dan memilih untuk pisah dariku? Oke, aku akan mengabulkan dan jangan salahkan aku karena aku sudah memberimu kesempatan," ucap Mas Baron lantang.
"Enggak, aku tidak perlu berpikir seribu kali dalam hal ini." Aku mengangguk mantap.
"Kamu sudah tahu, kan, apa risikonya jika sampai pisah denganku?" tanya Mas Baron lagi.
"Iya, aku siapa dengan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan buruk sekali pun."
"Baiklah kalau begitu. Aku perjelas agar kamu tidak menyesal. Jika kita pisah maka kamu harus pergi dari rumah besar ini. Kamu tidak lupa, kan, kalau sertifikat rumah ini atas namaku?"
Aku menelan ludah yang terasa pahit. Iya, aku sudah siap menerima kenyataan paling buruk sekali pun termasuk jika harus kehilangan rumah yang menjadi impianku ini.
"Aku pastikan kamu tidak akan mendapatkan apa pun dariku jika sampai kita benar-benar berpisah nanti. Ingat itu!" Mas Baron merangkul pundakku dan berbisik di telingaku.
Aku tertegun mendengar ucapannya. Ini memang salahku, kenapa aku mau-mau saja bekerja untuk membayar cicilan rumah yang pada akhirnya tidak bisa kumiliki ini. Namun, tidak apa, harta bisa dicari.
Iya, dulu aku begitu percaya bahwa Mas Baron adalah cinta sejatiku dan aku punya cita-cita ingin menikah sekali saja seumur hidup.
Namun, takdir berkata lain.
Bismillah, aku putuskan untuk mundur dari pernikahan ini. Biarkan Tuhan yang memberikan jalan ke mana aku harus melangkah setelah ini.
Aku berdiri dan hendak pergi dari rumah yang menyesakkan ini, tetapi Mas Baron mencekal tanganku. "Jangan pergi, Nes!"
Mas Baron menahanku pasti karena takut kehilangan tambang emas sepertiku.
Jadi janda? Siapa takut