PISAH? SIAPA TAKUT 3
Kulanjutkan langkahku untuk pergi meninggalkan rumah itu meski Mas Baron dan ibu terus berteriak agar aku jangan pergi. Aku yakin mereka tidak menahan diriku, tetapi menahan uangku.
Aku memesan taksi online karena ingin pulang rumah orang tuaku di kampung untuk menenangkan pikiran.
Iya, saat ini aku tidak ingin pulang ke rumah Pak Gilang dulu karena aku tahu saat ini lelaki yang sudah memberiku gaji itu sedang ingin menikmati quality time bersama anak-anak karena libur dan biasanya tidak mau ada orang lain di antara mereka.
Saat libur seperti ini, Pak Gilang akan mengajak anak-anak jalan-jalan serta berziarah ke makam istrinya bersama sang nenek.
Tidak berapa lama taksi yang kupesan datang dan segera kuminta sang sopir untuk segera melajukan kendaraan roda empat ini.
Kenangan indah bersama Mas Baron terbayang di pelupuk mata hingga air mata ini menetes tanpa bisa kucegah lagi.
Kata orang, menangislah jika itu bisa membuatmu lega dan ini yang kulakukan saat ini yaitu menangis tetapi bukan berarti menangis untuk kembali pada seseorang yang sudah membuat sakit hati ini. Menangis bukan berarti lemah.
Aku bersumpah, meski ia bersujud di kakiku atas pengkhianatan yang telah ia lakukan, aku tidak akan pernah melupakan di saat hatiku terkoyak dan remuk ini.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Kuambil ponsel dan kubuka galerinya. Tanpa ragu lagi, segera kuhapus foto semua foto Mas Baron di sana. Mulai detik aku harus membuang semua kenangan tentangnya.
Kuhapus air mata yang sudah membasahi pipi dan menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Tetapi, belum juga aku menutupnya, benda pipih itu bergetar dan saat aku lihat wajah Mas Baron terpampang di layar.
Lelaki itu tersenyum manis, tetapi aku sudah tidak tertarik lagi. Dia telepon pasti ingin aku kembali dan sekarang ia pasti sedang pusing memikirkan cicilan rumah yang hanya tinggal setengah bulan lagi. Bagaimana enggak pusing kalau belum pegang uang sementara yang biasanya diandalkan nggak ada.
Kuhela napas berat dan memejamkan mata, lalu tangan ini menekan tombol blokir. Iya, aku harus blokir dia demi kewarasanku.
Mobil yang kutumpangi sudah mulai memasuki kawasan pedesaan yang asri. Kubuka kaca jendela agar dapat melihat pemandangan luar yang cukup membuatku tenang dan dapat melupakan sejenak permasalahan yang ada.
"Berhenti di depan rumah bercat biru itu, ya, Pak," ucapku pada sang sopir.
Lelaki bertopi itu mengangguk dan aku sudah siap untuk membawa tasku turun.
Dengan hati riang aku mengetuk pintu kayu dan tidak lama kemudian pintu terbuka dan sudah berdiri sosok yang sangat kurindukan--ibu.
"Nesya? Ya Allah, Nak. Sudah lama kamu nggak pulang? Baron mana?" Ibu memelukku erat.
"Siapa, Bu?" Terdengar suara bapak dari dalam.
"Nesya yang datang, Pak!" seru ibu.
Ibu menggandeng tanganku dan mengajaknya masuk. Kuraih tangan bapak dan menciumnya dengan takzim.
"Baron mana, Nak. Kenapa tidak ikut serta? Kalian baik-baik saja, kan?" tanya ibu, lalu ia duduk di sampingku.
"Tanyanya nanti saja, Bu. Ambilkan minum dulu. Anak kita ini pasti haus. Iya, kan, Nak." Bapak tersenyum.
"Aku bisa ambil sendiri, Bu. Aku bukan tamu di sini." Aku menahan tangan ibu yang hendak berdiri untuk mengambil minum.
Setelah minum bersama, aku meminta izin untuk ke kamar, tetapi ibu mengikutiku.
"Baron mana, Nes? Kenapa kamu datang sendirian ke sini?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir.
Aku menatap wajah ibu. Jika aku bicara terus terang mengenai masalahku dengan Mas Baron, ibu pasti akan sedih.
"Mas Baron sedang ada pekerjaan, Bu, sehingga ia tidak bisa ikut ke sini." Aku berbohong.
"Kalau ia tidak bisa ikut ke sini, kenapa kamu datang sendiri? Tetapi, kamu pamit, kan, sama suamimu?" Ibu menginterogasiku.
Aku mengangguk, lalu mengusap pundak wanita yang sudah melahirkanku itu, "Ibu tidak usah khawatir, aku dan Mas Baron baik-baik saja, Bu. Sekarang aku mau istirahat dulu, ya, capek."
Aku akan menceritakan semuanya pada ibu, tetapi sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Kurebahkan tubuhku di atas kasur, meski mata ini terpejam tetapi nggak bisa tidur.
Hingga akhirnya aku tidak tahu tidur jam berapa dan ibu membangunkanku karena katanya ada seseorang yang mencariku.
Aku menghela napas kasar. Itu pasti Mas Baron.
Kuambil kerudung instan untuk menemuinya. Kalau seperti ini, ibu pasti akan tahu semuanya. Tetapi alangkah terkejutnya aku saat melihat yang datang bukanlah Mas Baron melainkan Pak Gilang bersama dua anaknya.
"Pak Gilang? Dari mana Anda tahu rumah saya di kampung ini?" Sebuah pertanyaan konyol terlontar dari mulutku.
Lelaki tampan itu tertawa. "Mbak lupa kalau saya punya data lengkap tentang Mbak?"
Tepuk jidat. Tentu saja ia punya karena sebagai majikan pasti butuh data lengkap tentang orang yang mengasuh anaknya itu.
"Maafkan saya, Mbak. Anak-anak mencari terus sehingga terpaksa saya menyusul ke sini."
Aku memeluk dua anak yang selama ini kuasuh. Sejenak kulupakan masalah dengan Mas Baron.