PISAH? SIAPA TAKUT 5
PoV Baron
"Baron, kenapa kamu diam saja. Ayo susul Nesya. Jangan sampai ia pergi meninggalkanmu dan minta cerai," ucap Ibu. Ia panik saat Nesya menerima tantanganku untuk pisah jika tidak mau aku poligami.
Perempuan memang aneh, apa susahnya, sih, bilang iya aku setuju saat suami izin untuk poligami. Bukankah berbagi itu indah dan poligami itu diperbolehkan?
"Udah, lah Mas. Nggak usah dikejar. Justru bagus kalau dia pergi. Nanti aku akan memberimu sesuatu yang pasti akan membuatku senang dan bahagia sebagai seorang lelaki." Jihan menarik tanganku yang hendak menyusul Nesya.
"Tapi, Han__" Aku tidak melanjutkan kata-kataku karena wanita seksi itu mendaratkan ciumannya di pipiku dengan lembut.
Aku lelaki normal, tentu sama klepek-klepek saat mendapatkan perlakuan yang kata orang adalah surga dunia ini.
"Baron, kamu harus menyusul Nesya sekarang juga sebelum jauh." Ibu panik.
"Enggak usah, Mas. Biarkan saja istrimu itu pergi. Bukankah ia juga ingin minta pisah dari mu. Bagus lah, setelah ini kita akan menikah dan aku yang akan menjadi istrimu satu-satunya. "Jihan menyentuh pipiku dengan lembut.
Jarak antara aku dan dia begitu dekat, bahkan aku dapat merasakan napasnya yang memburu dan wangi. Ah, aku tidak berdaya. Apalagi saat melihat gaun seksinya dengan belahan dada rendah yang membuatku menelan ludah dan berulang kali harus menekan degup jantung yang iramanya kian bertalu-talu.
" Enggak bisa, Baron. Kamu harus susul Nesya sekarang juga." Ibu menarik tanganku.
"Enggak usah, Mas. Biarkan dia pergi." Jihan menarik tanganku.
Alhasil, tanganku menjadi rebutan ibu dan Jihan. Beginilah risiko menjadi orang ganteng. Selalu menjadi rebutan para wanita cantik meski satu pacar dan satunya lagi ibuku sendiri.
Seandainya yang berebut diriku Nesya dan Jihan, aku harus memilih siapa, ya?
Hm, itu adalah pilihan yang sangat sulit. Dalam pepatah mungkin bisa disebut dengan makan buah simalakama. Dimakan ibunya meninggal, kalau nggak dimakan bapaknya yang meninggal. Beraaaat. Eh, tapi, bapakku, kan, sudah tidak ada.
Jihan adalah cinta pertamaku yang tidak mungkin akan kulepas begitu saja setelah sekian lama tidak bertemu. Meskipun cinta itu masih tergolong cinta monyet karena terjadi saat masih berseragam putih abu-abu. Tahu sendiri, kan? Yang namanya cinta pertama itu susah dilupakan.
Dulu, kami saling mencintai, tetapi ia harus pergi keluar kota untuk melanjutkan pendidikannya. Lama LDR akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang begitu menyiksa karena tidak bisa saling sapa secara nyata.
Setelah beberapa tahun, ia datang kembali dalam keadaan aku sudah punya istri, tetapi rupanya cinta Jihan begitu besar hingga sekarang, bahkan ia tidak mempermasalahkan statusku yang sudah menjadi pria beristri.
Awalnya aku tidak mengaku kalau aku sudah menikah, tetapi akhirnya ketahuan juga saat ia datang ke rumah.
"Jadi, kamu sudah menikah, Mas?" tanya Jihan waktu itu. Ia mengamati dengan seksama poto pernikahanku dengan Nesya yang menggantung di dinding.
Tepuk jidat. Seandainya aku tahu, ia akan datang ke rumah, sudah pasti aku akan mengamankan bukti pernikahanku dengan Nesya itu.
Aku hanya mengangguk lemah. Pasrah, jika Jihan memutuskan hubungan kami waktu itu juga.
Aku menunduk dan merasa bersalah kenapa tidak mengaku saja dari awal. Kumainkan jari tanganku sendiri seolah tersangka yang sedang menunggu keputusan atas apa yang telah kuakukan.
"Bagiku status itu tidak penting, Mas." Jihan meraih tangan dan mendongakkan wajahku.
"Maksudmu?" tanyaku dengan dahi berkerut.
"Tidak masalah jika aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada dalam hidupmu." Jihan menggelayut manja di lenganku.
Aku melongo mendengar ucapannya, aku pikir ia akan marah setelah tahu semuanya dan minta putus hubungan saat itu juga. Namun, nasib lelaki punya wajah rupawan memang selalu mujur, sudah tahu beristri saja masih didekati.
Akhirnya, aku dan Jihan sepakat membangun kembali hubungan yang sempat kandas waktu itu dengan tanpa sepengetahuan Nesya tentunya.
"Kapan kamu nikahi aku, Mas? Enggak apa-apa kalau aku harus berbagi suami dengan istri pertamamu itu." Jihan merebahkan kepalanya di pundakku. Oh, indahnya dunia ini.
"Ayo, Baron. Susul Nesya," seru ibu lagi membuyarkan lamunanku yang sedang bermesraan bersama Jihan.
Iya, aku harus menyusul Nesya karena dia adalah seorang istri yang menopang kehidupan kami.
Aku berlari keluar dan Nesya sudah tidak ada. Ke mana ia pergi.
Kuambil ponsel untuk menghubunginya, tetapi tidak diangkat, bahkan setelah itu aku tidak bisa menghubunginya lagi. Apa mungkin ia blokir nomorku? Tidak, dia tidak mungkin akan se ceroboh itu, memblokir nomor suami tampan sepertiku.
Aku mencoba meneleponnya lagi, tetapi tidak bisa. Si*l, aku pikir Nesya tidak akan menerima tantanganku untuk pisah.
Kalau sudah begini aku harus mencarinya dan minta maaf, kalau perlu bersujud di kakinya. Aku benar-benar tidak mau mengalami hal buruk jika sampai kami benar-benar pisah.
Segala cara akan aku tempuh untuk membawa Nesya kembali ke rumah ini. Berkat ketampanan wajah yang kupunya, aku pasti bisa, yes.
Kejadian buruk terbayang di pelupuk mata jika aku sampai gagal membawa Nesya kembali dalam pelukan.