First Gift

Aku meninggalkan Naya di sana, tak tertarik menikmati perubahan raut wajahnya. Aroma masakan lebih menggoda dari ruang makan yang berada tepat di bagian depan kamar itu. Sebuah bagian rumah yang ia tata dengan dominasi warna ungu. Baik meja makan, penutup dispenser, pertisi; yang bahkan terlihat tembus hingga keramik dapur yang juga masih warna yang sama. Naya seakan punya ketertarikan lebih dengan warna janda ini. Cocok.

Aroma rempah menyeruak memasuki Indra penciuman saat tudung saji terbuka. Segera kupenuhi piring dengan nasi minyak dan rendang ayam. Baru satu suapan masuk ke rongga mulut sudah terasa bahwa masakan begitu nikmat.

Hingga tanpa sadar bahwa hanya satu sendok lagi untuk dihabiskan. Aku merasa Naya berhasil mengingatkan akan makna rumah sebenarnya. Rumah belasan tahun lalu, saat ibu masih memasaki kami menu andalannya ini. Seakan terdampar pada masa itu, sehari sebelum ibu pergi untuk selamanya.

"Kalau ibu meninggal, jangan lupa kirimkan doa. Ibu juga, akan berdoa ... kelak kamu punya istri yang sayang banget sama kamu, seperti ibu. Yang bisa bikin kamu rajin shalat, yang tangguh, yang bisa masakin kamu rendang ayam ...."

Senyum ibu seakan hadir di dimensi berbeda. Aku berhenti mengunyah demi menarik sedikit lengkung di bibir, entahpun layak disebut senyum karena rasanya malah perih.

"Maaf Mas ... ranselnya ketukar. Danu salah bawa pulang tas. Ransel yang ada di sini isinya bahan kuliah semua ... punya Danu. Tasnya kebetulan mirip banget. " 

Naya menggenggam gawai di tangan usai akhiri panggilan dengan adiknya. Wajahnya menunduk , seperti seorang pelajar yang takut saat terjaring razia polantas.

"Hajap! Baru sehari jadi suamimu, begini nasib!"

Sarapan enak tadi seakan menjadi bayaran atas kekacauan yang baru saja ia sampaikan. Dompet dan semua baju semua ada disana. Bagaimana ceritanya aku di sini tanpa itu semua. Aku menatap Naya dengan dengan sorot mata kesal, seolah semua ini salahnya. 

Perempuan itu malah mencoba menatapku dengan binar berbeda, seolah berharap bocoran solusi.

"Apa lihat-lihat! Gak pernah lihat dada sick pack gini?" tanyaku sedikit kesal. Ia buru-buru mengarahkan matanya lagi ke lantai.

"Katanya baru besok siang bisa di antar ke sini. Sim nya belum diperpanjang." Naya masih berusaha menjelaskan nasib tas itu.

"Jadi menurutmu saya harus pakai apa sampai besok pagi. Hah? Sekarang, belikan beberapa baju. Besok saya sudah harus berangkat ngantor dari sini!" perintahku dengan suara keras lalu mengelap tangan.

"Tapi, saya ..."

"Tapi apanya! Mau saya gak pakek apa-apa? Jangan-jangan ... kamu sengaja, biar bisa lihat saya gini. Senang mungkin? Karena udah lama gak dibelai pria?" cecarku.

Naya tampak kaget mendengar ucapan tersebut, raut wajahnya seketika sangat tidak nyaman dipandang. Pasti dia sakit hati dengan ucapan tadi yang memang sedikit keterlaluan. 

"Maaf ya! Saya bukan perempuan gatal seperti yang anda bayangkan. Sini! Kasih tau saya ukuran baju anda, sepuluh pun bisa saya ganti! Baru hilang baju aja udah lebay minta ampun!" 

Naya menopang sebelah tangannya pada pinggang dengan panah mata yang cukup berbahaya.

Berani juga dia rupanya. Semalam aku sempat  mengira Naya adalah tipe perempuan penurut, tapi jawabannya kali ini membuatku tambah penasaran sejauh mana nyali kucing itu melawan harimau.

"Eh eh! Gak cuma baju ya. Celana, dalaman juga harus dibeli. Bukan ukuran baju aja yang mesti kamu tahu. Ukuran dalaman saya ... tahu gak kamu? Coba tebak?"

Berani-beraninya dia menantang seorang Zayyan. Seketika mukanya memerah lalu menoleh ke luar jendela, mungkin untuk menyembunyikan rasa malu atau kesal. Tapi rasanya memang tak mungkin memintanya berbelanja pakaian pria, aku tak tahu selera perempuan ini.

"Yaudah, aku aja. Tapi kamu tahu kan dompetku disana?" lanjutku lagi, isyaratkan minta uang darinya.

Naya segera menuju kamar untuk mencari dompet. Aku menyusul dibelakang, mau berpakaian.Tak ada opsi lain, untuk pergi berbelanja aku harus menggunakan baju itu kembali. Setidaknya dari jarak jauh baunya tak akan tercium. Kalau dari dekat, mungkin sedikit bikin mual. Seketika niat jahil melintas dipikirkan untuk membalas keberanian Naya tadi.

"Aku tak tau jalan daerah ini. Kamu harus ikut. Gak usah ganti baju, biar kita sama-sama baju rumah. Jadi gak ada yang menang banyak."

Ia mematung disana mencerna ucapan tadi yang kulontarkan. Lalu melihat penampilannya sendiri yang hanya menggunakan blouse polos selutut berwarna biru, dan celana batik rumahan bewarna coklat gelap. Dan jilbab kaus bewarna sama.

"Buruan. Tanggung jawab istri adalah nurut sama suami, tadi malam kamu kan bilang begitu!"

Ia terdiam, lalu terpaksa menyeret kaki menuju garasi menyusul suaminya ini. Aku segera memanaskan mesin motor milikku, sementara ia mulai mendorong roling door.

"Cepat naik!" perintahku lagi sambil mengarahkan dagu kebelakang motor.

Naya mengambil posisi sesuai perintah. Saat sedikit menjauh dari rumah aku bisa melihat wajah cantik itu berubah menjadi sedikit kecut, dari pantulan kaca spion.

"Pegangan, aku mau naikkan kecepatan!"
Ia malah memegang handle bagian belakang. Padahal bukan seperti itu maksudnya.

"Di pinggang!" tambahku lagi dengan setengah berteriak, melawan deru angin jalanan.

Akhirnya ia sedikit mendekat, lalu memegang bagian pingang walau hanya menyentuh permukaan kaus. Saat ia mulai menutup hidungnya dengan sebelah tangan, aku merasa menang. Ia harus tahu rasanya gak punya baju untuk dipakai, dan mesti menggunakan baju yang sudah dua hari melekat dibadan. Bau.

Setelah menganiaya perempuan itu dengan aroma tubuh ini -- selama beberapa kilometer jauhnya-- akhirnya kami sampai ke sebuah gedung berlantai dua dengan banyak toko pakaian di dalamanya.

Naya menyodorkan beberapa lembar uang bewarna merah sebelum aku mulai berbelanja.

"Cukup tak cukup, harus cukup!" ucapnya penuh penekanan.

"Bukannya mantan suamimu kaya raya, masak cuma segini?" tanyaku sambil menimbang uang pemberiannya yang kutaksir tak lebih dari satu jutaan. Walaupun sebenarnya cukup, aku hanya sekedar membuatnya kesal. Seperti sebuah kenikmatan tersendiri.

"Yang kaya dia. Dan aku tak pernah minta uangnya untuk kepentingan pribadi, kecuali untuk Langit." jawabnya sambil mengedarkan pandangan, ada isyarat rindu saat menyebutkan nama putra semata wayangnya.

Naya memilih duduk di bangku tunggu  membiarkanku berbelanja sendirian. Hingga sudah satu jam berlalu, aku sengaja mengulur waktu untuk mengerjainya.

Saat  kembali ia malah tampak tak mengeluh apapun, ia duduk sambil memperhatikan seorang anak lelaki umur tujuh tahunan, lalu menyeka sesuatu di kelopak matanya. Pilu, ia seakan kembali pada sifatnya yang tadi malam, bukan perempuan yang menopang pinggang sambil berteriak seperti beberapa jam lalu.

"Cukup uangnya?" tanya Naya saat menyadari aku sudah berdiri di hadapannya.

"Cukup. Bahkan sisanya aku membelikan sesuatu untukmu" 

"Beli apaan?" Ia memicingkan matanya.

"Tar aja dirumah" jawabku lalu menuju parkiran.

***

Naya tampak tak bersemangat membersihkan dapur usai kami makan malam. Ia terus terlihat murung usai kudapati melihat foto putranya tadi sore. 

Azan isya menggema, aku bahkan nyaris lupa belum shalat sekalipun hari ini. Segera kutinggalkan wajah pilu itu demi bergerak cepat, jangan sampai ia nanti tahu aku wudhu apalagi shalat.

Syukurlah tak perlu bertanya dimana sajadah, perempuan itu menempatkannya rapi diatas lemari Billy. Dan aku segera memulai ibadah yang kupangkas menjadi satu atau dua kali sehari ini.

Hingga saat baru bangun rakaat kedua, terasa sedikit tepukan di pundak. Sejenak mencoba memahami apa maksud Naya melakukannya.
Hingga saat melihat pantulan cermin yang menempel di lemari, Naya sudah berdiri dibelakangku, ikut shalat.

Lalu ingat, bahwa tepukan tadi adalah isyarat aku harus mengganti niat menjadi imam. Bisa-bisanya perempuan itu menjebak saat targetnya tak bisa melakukan perlawanan seperti ini.

Mau tak mau aku terpaksa mengeraskan bacaan Alfatihah dan Surat At-Tin lalu  menyelesaikan sisa rukun shalat.

Membayangkan seorang perempuan yang  kini berdiri dibelakang memintaku untuk mengimaminya, ada perasaan yang entah harus kugambarkan seperti apa. Walau pernikahan ini mungkin hanya sesaat, tapi bukankah setiap suami akan dimintai pertanggungjawaban tentang istrinya?

Seorang lelaki yang hanya shalat satu atau dua kali sehari kini tanpa malu mengimami seorang perempuan yang bahkan sudah berencana diceraikan. Aku merasa amat hina kali ini.

"Assalamualaikum warahmatullah"

Usai mengirimin doa untuk ibu, aku termenung seakan masih tak percaya baru menyelesaikan shalat sebagai seorang imam. Saat Naya sedang melanjutkan satu rakaatnya sendirian, aku bahkan masih butuh  beberapa saat mencoba mencerna ini semua.

Naya mengulurkan tangannya dari samping seakan ragu. Akupun merespon tak jauh berbeda, apa layak sebuah salam takzim dilamatkan kepada pria bejat ini.

Ibu, ia kerap melakukan salam bersahaja ini usai shalat berjamaah bersama ayah. Setidaknya hingga laki-laki itu pergi meninggalkan kami, demi perempuan lain.
Untuk sekian lama aku tak percaya bahwa orang shalat adalah jaminan kemuliaan akhlak, ayah telah memberikan contoh buruk. Jika bukan karena wasiat ibu, bisa jadi aku sudah meninggalkan shalat sedari dulu.

"Tadi katanya beliin saya sesuatu?" tanya Naya usai melipat mukena, akhiri perjalanan singkatku ke masa lalu.

Hampir saja terlupa akan benda itu kalau ia tak mengingatkannya. 

"Itu dibawah bantal. Ambil aja sendiri, lalu pakai aku mau lihat cocok atau tidak."

Naya melangkah menuju ranjang dengan raut kebingungan. Ia menemukan sebuah kotak persegi dengan logo berbentuk huruf V-underwear, di sudut bawahnya.

Sebuah baju tidur berbahan tipis dan lembut, berwarna ungu  pekat dengan renda putih transparan di bagian pinggir dada, kini menggantung di jemari Naya. Ukurannya paling hanya sejengkal dibawah pinggang perempuan itu. Dengan dua tali pundak yang hanya tampak segaris.
Baju itu .... wajah Naya yang memerah ada dibaliknya, menjadi latar yang begitu menarik untuk kutertawai dengan pertanyaan;

"Pakai sendiri, atau aku pakaikan?"


Komentar

Login untuk melihat komentar!