Pamer Roti Sobek

Sinar matahari menyusup dari balik teralis jendela saat Naya menyibak tirainya. Cuaca Bogor yang dingin tak berikan jejak hangat sama sekali hingga ke kamar yang kuduga berukuran 4x5  meter persegi ini. Sesaat aku berusaha membuka mata, walau tak begitu sempurna.

Ini akhir pekan, semestinya seorang lelaki tak perlu buru-buru bangkit dari ranjang yang empuk bila miliki istri yang cantik. Sialnya aku bahkan belum menyentuh Naya sama sekali.

Mantan suami perempuan ini cukup cerdas dengan sengaja mencarikan seseorang pria yang bekerja di luar kota bagi perempuan yang ingin dinikahinya, kembali.

Dan aku akan berada di rumah ini selama akhir pekan, saat libur kantor. Selebihnya kami akan berjauhan, karena tinggal di kota yang berbeda. Butuh dua jam perjalanan menggunakan sepeda motor.

Pasti mantan suaminya sudah mempertimbangkan dengan matang, memilih pria yang yang tak akan selamanya bisa menghabiskan waktu dengan Naya. Bukan pria baik-baik, bukan pria serius memaknai pernikahan, setidaknya syarat itu yang kudengar dari Firman.

"Kenapa tak membangunkan subuh?"

Aku sejenak melirik jam yang sudah menunjuk angka delapan, ternyata cukup lama tertidur pulas.

"Untuk?"

Sesaat ia menoleh, lalu kembali menatap keluar jendela sambil merapikan jilbabnya.

"Mana tahu, ngajak shalat lagi," jawabku sambil menekuk leher, merenggangkan otot. 

Walau hanya satu atau dua waktu, setidaknya aku shalat setiap hari. Sekedar mengirimkan doa untuk ibu. Walau tanpa doa dari siapapun kurasa keadaan ibu tetap baik di alam sana. Sepanjang hidup hanya kesabaran  yang kulihat darinya.

"Maaf ... saya tak berani. Karena udah pernah gagal sekali."

Ia mengambil gelas yang telah kukosongkan tadi malam.

“Dengan mantan suamimu juga udah pernah gagal sekali, kenapa mau coba lagi?”

Kalimat tadi sepertinya amat membuatnya tersudut. Ia seakan membeku, jangankan untuk menjawab, bergerak saja tidak berani.

"Kamu masak apa?"  

Walau baru sepersekian menit mengumpulkan kesadaran, aku bisa mencium aroma masakan berasal dari dapur. Sangat menggoda.

"Nasi minyak dan ayam masak rendang. Mau dibawakan ke kamar atau mau keluar ke dapur?"  Naya mulai sedikit mengangkat kepalanya.

"Ke dapur saja. Tapi mandi dulu. Mau ikut?"
Aku menarik satu sudut bibir lalu tanpa risih melepaskan kaus yang melekat di badan.

"Eh. Enggak. Udah."

Naya menunduk lalu buru-buru keluar, membuat aku tak bisa melihat lagi wajah panikannya yang pasti lucu itu.

Belasan menit berada di kamar mandi, aku segera keluar dan menyadari ransel yang kubawa semalam tak kudapati di dalam kamar ini. Semua pakaian untuk dipakai beberapa hari disini berada di dalam tas itu. Sepertinya tak mungkin menggunakan baju kaus tadi lagi. Bahkan sebelum kesini pun aku sudah menggunakannya seharian di dalam koko yang dipinjamkan Firman. Ya, kaus abu-abu itu sebenarnya cuma baju rumahan, yang multifungsi kadang menjadi kaus dalaman.

"Naya?"

Karena tak terdengar jawaban aku memutuskan keluar kamar dengan handuk menutupi bagian bawah tubuh. Toh dirumah ini cuma kami berdua, anak Naya sedang bersama ayah kandungnya. Lelaki itu bahkan tak mau menghadiri pernikahan kami, sepertinya ia tak kuat mental menyaksikan pria yang akan******mantan istrinya.

Melihat ke ruang tengah dan dapur, tidak ada penampakan Naya. Lalu saat melihat salah satu pintu kamar sedikit terbuka, aku mencoba melihat kedalamnya. 

Ia tengah duduk dengan posisi membelakangi pintu kamar. Tampak tangannya mencoba memasukkan beberapa butir obat ke dalam rongga mulut, lalu meneguk air dari gelas di tangan kanannya.

"Kamu sakit apa?"  tanyaku sedikit mengagetkannya dari samping.

'prang'

Ia menjatuhkan gelas dari tangan ke lantai, hingga pecah berkeping-keping. Perempuan itu tampak panik melihat kemunculanku dengan memakai handuk saja.

"Eh Mas. Kok disini?" tanyanya sedikit gugup.

Belum sempat aku menjawab, ia segera bangun lalu tampak mencari seseuatu, hingga menemukan sebuah sapu kecil di balik pintu. Lalu berusaha menyatukan pecahan gelas yang berserakan.

"Aku mencari ransel. Bajuku di sana semua."

"Ransel apa?" ia terus menunduk sambil menyapu lantai.

"Ransel hitam, sedikit les merah. Semalam sepertinya saya letakkan di ruang tengah. Kamu gak pindahin ke kamar?" aku mengedarkan pandangan, mungkin nyasar ke kamar ini.

"Usai acara, adik saya yang beresin semua. Nanti saya telepon dia siap bersihkan pecahan  ini," jawabnya masih tak memandang lawan bicara.

"Oke. Saya tunggu di sini sampai kamu siap."

Aku merebahkan diri diatas kasur kamar ini sambil melihatnya membereskan kekacauan  tadi.

"Gak gerah dirumah pakai jilbab terus?"

Ia sangat betah menutupi aurat padahal  suaminya ini sudah halal melihat, bahkan melakukan apapun. Toh ia bukan perawan juga. Heran.

"Eh enggak. Mungkin karena udah hampir dua tahun saya tak punya suami. Jadi kayak aneh aja lihat lelaki tiba-tiba dirumah ini ..." Ia sedikit menarik kedua ujung bibirnya, canggung.

"Buka!"

"Hah?"

"Jilbabnya buka, saya aja lihatnya gerah."

Naya akhirnya menoleh sedikit lebih lama, mencari keseriusan dibalik kalimatku. Hingga ia menyadari mata ini isyaratkan bahwa aku tak main-main dengan perintah tadi. Naya terpaksa melepas jilbabnya.

Tampak rambut hitam yang tersanggul rapi dibaliknya, tak lagi tergerai seperti semalam. Aku sedikit menahan tawa, hari gini mendapati perempuan bersanggul amatlah langka.

Jika tempo dulu aku menyaksikan sanggul dibalik wajah perempuan tua pedesaaan yang biasa berkulit hitam manis. Kali ini justru pada perempuan muda khas perkotaan dengan kulit putih merona.

Beberapa jumput rambut terlerai begitu saja di depan daun telinga. Sepersekian menit mampu membuat terpana.

Naya melanjutkan membersihkan pecahan kaca dan sadar bahwa mataku terus mengawasinya.

"Aw!"

Perempuan itu tampak memegang telapak kakinya. Sepertinya ia menginjak pecahan gelas. 

"Kenapa tidak hati-hati!"

Aku turun dari ranjang, mendekatinya. Melihat garis merah di telapak kaki itu,  segera kutarik kakinya sedikit keras ke atas paha.  Ada pecahan kaca seukuran mata pena menempel di sana. Saat seperti inilah kadang kuku yang panjang terasa sedikit berguna, beling itu bisa ditarik dengan mudah.

"Terima kasih."

Ucapnya sambil menoleh ke samping, tak berani menatapku, mungkin karena setengah badan yang terbuka ini. Aku tahu–bagi sebagian perempuan--bulu di dada lelaki itu sedikit bikin geli walau hanya sekedar melihatnya. Aku jadi makin berniat menyiksa Naya dengan penampilan suaminya ini.

"Terimakasih apaan itu, ucapinnya sambil buang muka? Tatap mataku, lalu ulangi!" perintahku dengan penuh penekanan. Naya tampak menekan kedua bibirnya, tak nyaman dengan kalimat tadi.

"Terimakasih, Mas." ulangnya kembali dengan panah mata yang tak lagi menghindar. Ia menatap lurus, dan aku menikmatinya saat  mata itu sedikit lebih berani.

Aku menantang nyalinya sanggup bertahan berapa lama. Ia berhasil bertahan dengan sorot mata yang sama.

Bernyali juga perempuan ini.

Tak ingin kalah dengan keberaniannya, aku mencoba dekatkan kepala tak sampai sejengkal dari wajahnya, lalu bertahan disana. Membiarkan helaan nafasku terasa hingga menyentuh pipi perempuan itu.

Naya mulai menggigit bibir bawahnya, tak berani lagi membuka matanya lebar. Aku tahu akan menang saat ia mulai menutup matanya karena takut. 

"Kok tutup mata? Gak berani lihat saya lama-lama ya, takut jatuh cinta?"

Segera kutarik wajah menjauh darinya, lalu tertawa menyaksikan raut muka Naya yang seperti kepiting rebus. Perempuan itu, walau pernah menikah tapi tingkahnya seperti anak perawan saja.

"Telepon adikmu sana! Tanya mana ransel, atau kamu akan menyaksikan aku bertelanjang dada seperti ini terus."

Aku berdiri di depan pintu dengan  mengangkat kedua tangan, demi memamerkan otot bahu.
Bak pose seorang binaragawan.

"Mau?" 

Kedipkan sebelah mata akhiri serangan kali ini, sebelum akhirnya aku menutup pintu kamar itu sambil tertawa. 


( Bersambung )

Komentar

Login untuk melihat komentar!