"Suruh si Rima istrimu itu minta maaf sama Ibu, menantu gak ada akhlak , atau perlu kuadukan perbuatannya pada mertuamu?" gertakku pada anakku yang bungsu. Beraninya si Rima itu memarahiku saat aku minta duit untuk ongkos pulang dari rumahnya. Aku ralat, rumah kontrakan anakku. Toh menantuku yang jahat itu kerjanya hanya malas-malasan di rumah dengan alasan menjaga bayinya. Yang kerja anakku, sedangkan menantu tak tahu diri itu, yang tak punya penghasilan sepeserpun berani memarahiku. Awas saja, dia akan bersujud di kakiku.
"Udahlah Bu, Ibu juga salah memancing emosi Rima. Kan, ekonomi kami dalam keadaan sulit, Ibu mau kemari tapi buru-buru mau pulang. Uang dari mana Bu untuk ongkos sama belanja Ibu di kampung? Baru dua hari udah minta pulang," bela Davi.
Bela terus istrimu yang baru kau nikahi setahun ini, sampe kau abaikan ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu hingga menikahkanmu walau dengan uangmu sendiri. Dasar menantu jahat itu telah mencuci otak anakku agar melawan ibunya sendiri.
"Pokoknya kutunggu seminggu ini, ia harus minta maaf, titik," tandasku.
"Dek, minta maaflah sama ibu!" suruh Davi ke istrinya. Hening, tak ada jawaban. Rima malah melengos masuk ke kamar. Gak sopan. Jangankan minta maaf, bicara pun tak mau, eh malah mengurung diri di kamar. Padahal ia tahu, aku sedang menunggu bus yang akan membawaku ke surgaku, rumahku. Rima pasti sengaja tak mau menyalamiku saat tahu aku akan segera berangkat.
Kutarik koperku dengan kesal yang langsung dikejar Davi dan menggantikanku membawa koper dan sekotak oleh-oleh. Sengaja kumenangis dari depan rumah sampai ke pinggir jalan, agar orang-orang tahu betapa kejamnya menantuku itu. Mereka pasti mengira aku pulang karena diusir Rima yang tak mau mengurus mertuanya yang sudah tua.
Davi langsung mengangkat koper dan kotak oleh-olehku begitu melihat bus yang akan ku tumpangi sudah tiba. Davi mencium tanganku takzim dan menyelipkan lima lembar uang bergambar presiden pertama.
Dasar pelit. Kan aku masih perlu makan di jalan.Tapi ya sudahlah, nanti bisa minta lagi.
"Didik istrimu yang suka melawan itu," bisikku ditelinga Davi.
"Hati-hati ya Bu, jangan ada barang yang tinggal nanti!" jawab Davi tanpa menghiraukan perkataanku. Ini tak boleh dibiarkan, Davi harus patuh kepadaku, ibunya.
---
"Assalamualaikum Bu, kapan nyampe? Gak ada barang yang tinggal kan?" tanya Davi setelah aku sampai di rumah melalui ponsel.
"Baik, gak ada yang tinggal kok. Mana istrimu? Suruh dia minta maaf samaku," sungutku.
"Rima lagi tidur Bu," elaknya.
"Ya sudah, Ibu mau istirahat," balasku ketus.
Tuutt.
Tanpa salam kumatikan HP, biar ia mau mendidik istrinya agar tak berkata kasar pada mertuanya sendiri. Aku yakin, Davi hanya beralasan kalau Rima sudah tidur. Pasti wanita angkuh itu enggan meminta maaf, padahal jelas-jelas ia salah karena berkata kasar padaku. Awas saja, akan kubuat dia menyesal.
Seorang Rumina yang memiliki tiga putra dan empat putri yang sudah menikah, tak bisa diabaikan seperti ini. Keempat anak perempuanku sungguh sangat perhatian padaku, tanpa pernah terdengar kata-kata kasar dari suami mereka. Keempat menantuku itu selalu memberiku uang dua ratus ribu setiap lebaran yang mereka kumpulkan untuk jajanku.
Namun, entah mengapa ketiga anak lelakiku bernasib apes, beristrikan wanita-wanita tak ada akhlak. Tak ada satupun yang baik hati, mereka hanya memberiku jatah lima ratus ribu per bulan secara bergantian. Cuma sedikit, kan? Lalu apa salahnya bila aku berkunjung ke rumah anakku lalu minta pulang dalam dua hari? Toh yang nyari uang anak-anakku juga.