"Inikah balasan yang harus ibu terima Nak? Ibu tak pernah menyusahkan kalian, bahkan setiap datang kemari, ibu selalu memberikan beras dan uang saku kalian, huhuhu," ucapku terisak. Dimana hati nurani anak-anak yang aku banggakan? Inikah yang namanya air susu dibalas air tuba?
"Oh, pantas saja ya, ibu sering beralasan uang kurang. Rupanya untuk ipar-ipar kesayangan ini?" ledek Rima sembari tersenyum jahat.
"Cukup ya Rima, kau marahi aku saat di rumah anakku. Ini rumahku, jangan kau tinggikan suaramu disini," ucapku pongah.
"Istighfar Bu mertua budiman, ingat umur, ingat penyakit," balasnya lagi. Ia mendekap bayinya yang sedikit terganggu dengan perdebatan ini.
"Daviii, sumpal mulut istrimu itu," emosiku. Akan kutunjukkan wibawa ucapanku didepan menantu tak tahu diri itu.
"Diamlah Dek, tak baik melawan sama orangtua" ucap Davi yang mirip permohonan daripada perintah.
"Asal ibu tau aja ya, kami harus mengikat perut kami kuat-kuat, tahan selera demi menyisihkan uang agar ibu tak kekurangan disini. Kami sudah berkali-kali mengajak ibu tinggal bersama kami, selalu menolak. Lalu dengan keadaan ibu yang sekarang, apa pintu hati ibu belum juga terketuk? Apa menantumu ini tiada arti? Sadar Bu, stroke itu tegoran!" 0
"Udahlah Dek, ibu tinggal sama kita aja ya!" ucap Davi lagi memelas kepada istrinya.
"Nggak, ibu gak akan tahan mendengar tangisan bayi kita. Itukan satu alasan ibu mau cepat pulang hari itu? Kita harus berhemat setiap hari Bang agar bisa bertahan hidup di kota yang serba beli. Kita yang patungan sama Bang Tondi membiayai ibu setelah Bang sangkot tak pernah lagi mau tahu urusan ibu. Mungkin ibu tak sadar kalau ia sudah membuat cekcok rumah tangga anak tertuanya itu. Lalu sekarang, apa kita dan keluarga BangTondi harus bubar biar ibu senang? " lanjutnya mengagetkanku.
Puas berkoar, Rima beranjak lalu menutup pintu kamar dengan keras.
Aku tak menyangka kalau ternyata Tondi dan Davi yang menanggung biaya bulananku, belum lagi permintaanku yang lain-lain dengan alasan sakit. Sejujurnya aku tak ingin anak-anaku bercerai, aku hanya ingin mereka nurut samaku.
Aku yang merasa pusing, meminta Aini menidurkanku. Lelah rasanya duduk,walau sudah bersandar. Belum lagi aku tak tahu harus gimana. Meminta maaf bukanlah hal yang mudah bagiku, namun hidup sendiri saat keadaan begini juguga bukan pilihan yang tepat.
Aku merenungi kisah hidup ku dan yang terjadi pada anak menantuku. Aku yang biasa dituruti kemauanku, merasa tak terima ketika anakku sedikit mengabaikanku setelah menikah. Ayah, Mak, Minah rindu.
"Ayah, cucu ayah mau sekolah, jual sawah yang dibelakang rumah ya!" rengekku kala itu saat anak pertamaku mau masuk SD.
"Itu kan sawah yang
digarap abangmu, mereka juga butuh Nak. Kalian jangan malas-malasan lah! Kerja keras biar bisa menghidupi dan menyekolahkan anak-anak kalian," ujar Ayah menasehati aku dan suami.
"Pokoknya harus, titik." Ini adalah ucapan paling ampuh untuk meluluhkan Ayah. Aku akan ngambek dan tak mengunjungi mereka sampai permintaanku dikabulkan.
Seperti biasa ketiga kakak lelakiku pun akan manut pada perintah ayah bila sudah menyangkut keinginan adik perempuan mereka ini. Tak berapa lama kemudian akan terdengar adu mulut dengan kakak ipar. Ah, mereka kan orang lain, bisa diganti.
Anakku Sangkot dan Tondi bisa lulus SMA mengandalkan jual sawah dan kebun orangtuaku. Namun setelah ayah dan emak tiada, ipar-iparku melarang suami mereka menuruti mauku. Jurus ngambek seharian pun tak mempan lagi. Jadilah kelima anakku lainnya hanya tamat SD, sekedar bisa membaca dan berhitung. Mereka akan mulai bekerja membantu orang jualan atau menggarap sawah orang. Setelah cukup mandiri, anak-anakku kusuruh merantau agar hidup kami tercukupi.
Aku masih bisa angkuh ketika ketujuh anakku selalu patuh pada ucapanku.
'Hampir seluruh harta habis untuk membesarkan kalian Nak, agar tak kekurangan makan, sekarang waktunya kalian berbakti sama ibu yang sudah renta ini' ucapku selalu pada anak-anakku. Padahal sikapku yang manja dan malas tak berubah sejak gadis hingga kini sudah punya banyak cucu. Otakku seolah terprogram untuk meminta dan meminta.
Kini apakah aku akan membusuk disini? Andai aku kuat jalan, tentu aku memilih hidup sendiri. Apakah sikapku masih pantas dimaafkan?
Siapa nih yang mau rawat nek Mina? Cung!