Part 1

"Selamat pagi anak-anak!" salam Bu Hesti saat memasuki kelas.

"Pagi, Bu!" jawab murid serempak.

"Di tahun ajaran ketiga ini, kalian kedatangan seorang teman baru. Dia murid pindahan dari Cianjur," terang Bu Hesti.

"Masuklah," perintah Bu Hesti memandang ke arah pintu.

Semua murid ikut memandang ke arah pintu. Bisik-bisik terdengar dari kelas saat murid baru itu melangkah masuk.

"Perkenalkan diri kamu dulu, ya," perintah Bu Hesti.

Murid baru itu mengangguk dan tersenyum.

"Halo! Nama saya Athiya Suhaila. Biasa dipanggil Tia. Sa–" ucapannya terpotong murid lain.

"Tia kebagusan. Panggil Suha aja," ledek salah satu murid laki-laki sambil cekikikan.

"Jangan! Panggil Ati aja! Ati-ati di jalan," sahut Samy diiringi gelak tawa murid lainnya.

Athiya mendelikkan mata pada Samy yang meledeknya.

"Widiihh ... galak juga coy! Gue dipelototin! Haha!" Samy tertawa mengejek.

Brak!

"Diam!" Bu Hesti menggebrak meja.

"Tia, kamu duduk di kursi yang kosong, ya," ucap Bu Hesti.

"Iya, Bu," jawab Athiya sembari mengangguk.

"Nggak bisa, Bu. Saya keberatan!" Samy berdiri. Dia menolak duduk sebangku dengan Athiya.

"Jangan ngebantah, Samy! Kursi kosong tinggal satu yang di sebelah kamu," tukas Bu Hesti.

"Woy, Ridwan! Pindah loe sini!" perintahnya pada anak murid lain.

Ridwan terlihat enggan untuk beranjak dari tempat duduknya.

"Cepetan loe! Atau ...." Samy melotot ke arah Ridwan.

Dengan ragu akhirnya Ridwan pindah duduk sebangku dengan Samy.

"Itu, Bu. Duduk bareng Si Amal aja. Cocok. Sama-sama culun," ledeknya.

"Diam! Duduk kamu!" bentak Bu Hesti pada Samy.

Samy duduk dengan raut wajah kesal.

"Kamu duduk sama Amal, ya, Tia," ujar Bu Hesti.

"Iya, Bu." Athiya langsung berjalan dan duduk di samping Amal yang sedari tadi diam merunduk.

"Buka buku pelajaran matematika kalian!" perintah Bu Hesti.

"Iya, Bu," jawab semua murid kompak.

Athiya melirik teman sebangkunya yang dari tadi diam tak bersuara.

"Boleh barengan bukunya?" tanya Athiya pada Amal.

"I-i-iya, boleh," jawab Amal terbata.

Pelajaran pun dimulai dengan tenang. Sesekali Amal melirik Athiya yang tengah serius menyalin pelajaran dari buku. Merapikan kacamatanya karena gugup saat Athiya memergoki pandangannya.

"Kenapa? Ada yang aneh?" tanya Athiya heran.

"N-nggak. Nggak ada." Amal kembali melanjutkan menulis.

Senyuman tipis terukir di sudut bibirnya. Ia senang karena Athiya tidak seperti anak-anak lain yang menjauhi serta meledeknya.

"Ada yang bisa jawab soal nomer 5?" tanya Bu Hesti.

Hening. Tak ada yang menjawab kecuali,

"Saya, Bu." Athiya mengacungkan tangannya.

"Maju, Tia," ucap Bu Hesti.

Athiya mengerjakan soal itu di papan tulis dengan cepat. Semua mata tertuju menatapnya. Bu Hesti tersenyum puas saat Athiya berhasil mengerjakan soal darinya.

Athiya Suhaila. Murid pindahan dari sebuah desa di Cianjur yang berhasil mendapatkan beasiswa di sekolah ternama di Jakarta. Ia pindah ke Jakarta mengikuti ibunya yang bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan besar. Ayahnya meninggal karena kecelakaan saat ia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Kini Athiya sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Beruntung karena kepintarannya, Athiya selalu mendapatkan beasiswa sehingga bisa meringankan beban ibunya.

"Duduklah," ucap Bu Hesti lembut.

Bu Hesti kembali menjelaskan langkah-langkah untuk mengerjakan soal yang ia berikan. Sejam kemudian, bel istirahat berbunyi. Semua murid menghambur ke luar ruangan menuju kantin kecuali Athiya.

"Kamu nggak ke kantin?" tanya Amal.

"Nggak," jawab Athiya ramah.

Amal hanya manggut-manggut lalu berdiri dan berjalan hendak ke kantin.

"Mal!" Panggilan Athiya menghentikan langkahnya.

"Boleh aku pinjam sebentar buku catatan kamu? Aku mau nyalin."

"Boleh." Amal kembali ke bangku lalu mengambil buku catatan dari dalam tas dan memberikannya pada Athiya.

"Makasih, ya," ucap Athiya.

"Sama-sama," jawab Amal lalu kembali melangkah keluar.

Athiya menyalin catatan pelajaran dari buku Amal dengan semangat. Namun, perut yang sedari tadi keroncongan mengganggu konsentrasinya. Ia memang belum sarapan sejak pagi tadi. Ia teringat roti yang diberikan ibunya sebelum berangkat sekolah. Mengambil roti itu dari tas lalu memakannya sambil menulis. Terdengar gelak tawa beberapa anak laki-laki mendekat. Samy dan teman-temannya masuk ke dalam kelas sembari berbisik-bisik.

"Kasian amat, ya. Makan siang cuma pake roti seupil" ledek Iyan teman Samy.

"Namanya juga bocah kampung! Miskin lagi!" timpal Edo.

Athiya tak menggubris ocehan mereka. Ia masih santai menulis sembari memakan roti.

"Dikacangin, Coy! Hahaha!" Iwan terbahak.

"Diem loe!" tukas Iyan dan Edo berbarengan yang membuat tawa Iwan langsung terhenti.

Samy dan kawan-kawannya berjalan ke bangku mereka yang ada di belakang. Saat Samy melewati Athiya yang duduk di barisan tengah, tangannya usil menarik kerudung hingga membuat kepala Athiya tertarik ke belakang.

"Oops, nggak sengaja," ledek Samy diikuti gelak tawa teman-temannya.

Cih! Dasar preman kampung! batin Athiya.

Athiya tak merespon tindakan Samy. Ia hanya menggeleng dan langsung merapikan kembali kerudungnya.

Sialan! Gue dikacangin! gerutu Samy dalam hati.

🌸🌸🌸

Beberapa jam kemudian, bel berbunyi menandakan jam pulang sekolah. Semua murid menghambur keluar kelas.

"Nih, bukunya. Makasih, ya." Athiya mengembalikan buku Amal yang tadi ia pinjam.

"Kalau masih belum selesai, pake aja dulu. Bawa pulang juga nggak apa-apa," ujar Amal seraya membenarkan posisi kacamatanya.

"Nggak usah. Nanti aja di sekolah aku pinjem lagi." Athiya tersenyum lalu berdiri hendak pulang.

"Tu-tunggu!" Amal  mengejar langkah Athiya.

"Ehm ... kamu rumahnya di mana?" tanya Amal malu-malu.

"Deket, kok," jawab Athiya.

Athiya dan Amal berjalan bersama di lorong sekolah menuju parkiran. Mengobrol tentang diri masing-masing supaya lebih mengenal.

"Cieee ... Culun vs Culun!" Cocok banget dah!" Samy menoyor kepala Amal sambil berlalu diiringi gelak tawa teman-temannya.

Rese banget tu orang! geram Athiya dalam hati.

"Kamu sering, digituin sama mereka?" tanya Athiya penasaran.

Amal mengangguk.

"Cuma kamu doang, yang nggak keberatan aku ajak ngobrol," ucap Amal tertunduk sembari membenarkan posisi kacamatanya lagi.

"Makasih, ya, Tia. Sekarang aku jadi punya temen ngobrol." Amal tersenyum.

"Sama-sama." Athiya membalas tersenyum.

"Kamu naik apa ke sekolah? Ehm ... mau aku anterin pulang nggak?" tawar Amal saat sudah sampai di parkiran sekolah.

"Nggak usah, makasih. Tuh! Aku bawa sepeda, kok." Athiya menunjuk sepeda bututnya di pojok parkiran.

"Ya udah. Aku pulang duluan, ya. Kamu hati-hati," ucap Amal sembari menstarter motor maticnya.

"Iya." Athiya tersenyum.

Athiya mulai menggowes sepedanya sesaat setelah Amal pergi meninggalkannya lebih dulu. Banyak dari para murid di sekolah itu yang memandang sinis ke arah Athiya. Hanya dia satu-satunya murid di sekolah ini yang memakai sepeda.

"Hari gini, masih naik sepeda?! Kasiaaan deh, lho!" ledek mira saat ia melewati Athiya dengan dibonceng motor Samy.

Athiya tak peduli. Ia tetap menggowes sepedanya meninggalkan motor Samy yang berhenti.

"Yank, Yank. Kita kerjain dia, yuk! Tuh, ada genangan air di depan! Cepetan ngebut!" usul Mira.

"Boleh juga ide loe." Samy tersenyum sinis lalu melajukan motornya dengan kencang.

Splash!

Athiya spontan mengerem sepedanya. Melongo menatap Samy dan Mira yang tertawa meledek sambil berlalu.

"Astaghfirullah," gumam Athiya sembari mengepalkan tangannya menahan emosi.

Kini seragam sekolahnya basah dan kotor. Buru-buru ia kembali menggowes sepedanya menuju ke kontrakan tempat ia tinggal bersama ibunya. Butuh sekitar lima belas menit waktu yang diperlukan dari sekolah menuju kontrakannya. Athiya mengambil kunci yang biasa ibunya letakkan di bawah pot bunga.

"Assalamu'alaikum," salamnya saat membuka pintu.

Athiya mengunci pintu lalu bergegas mencuci seragam yang tadi terciprat kubangan air. Setelah selesai, ia merebahkan tubuhnya di kasur busa yang cukup tipis.

Sementara itu di tempat lain, Bu Yanti, ibunya Athiya tengah sibuk mengepel lantai di kantor tempat ia bekerja. Tiba-tiba terdengar suara terjatuh dari arah belakang.

Bruk!

"Aww!" Seorang gadis berpakaian seragam sekolah SMA jatuh terduduk di lantai.

"Sakit, Yank!" rengek Mira.

"Hati-hati dong kalau jalan," ucap Samy sembari membantunya berdiri.

"Lantainya licin tau!" sahut Mira kesal.

"Dek, maaf Dek. Adeknya nggak apa-apa?" tanya Bu Yanti.

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Yang bener, dong, kalau kerja!" sentak Mira.

"Iya, Dek. Maaf, ya," jawab Bu Yanti.

"Maaf, maaf. Awas, ya! Sekali lagi begini, pacar gue bakal mecat loe dari sini!" ancamnya sembari bergelayut manja pada Samy.

"Udah, udah! Ayo cabut." Samy menarik lengan Mira menuju lift.

"Ish, pelan-pelan kenapa, sih! Sakit tau!" Mira mengibaskan pegangan tangan Samy.

"Lagian, ngapain juga loe pake ngebentak ibu-ibu tadi, hah? Yang salah kan loe! Jalan nggak hati-hati. Udah tau ada tulisan lantai basah," gerundel Samy.

"Kok kamu jadi belain dia, sih?" hardik Mira.

"Gitu-gitu juga dia lebih tua dari kamu! Sopan dikit, ngapa!" sentaknya.

Mira mengerlingkan malas matanya mendengar ocehan pacarnya itu.

"Udah cepetan, masuk!" perintah Samy saat melihat Mira masih berdiri di luar lift.

"Masuk atau gue tinggal!" ancamnya.

Mira menghentak-hentakan kakinya karena kesal lalu ikut masuk ke dalam lift. Samy menggeleng melihat tingkah Mira.

Dasar cewek! Semuanya sama aja! Nyusahin! gerutu Samy dalam hati.

β˜…β˜…β˜…


Komentar

Login untuk melihat komentar!