Part 6

Sinta benar-benar ramah. Ia mengajari semua tugas-tugasnya pada Athiya dengan sabar. Begitupun dengan Athiya, ia sangat cepat memahami apa yang dijelaskan oleh Sinta.

"Kamu pinter, ya. Cepat tanggap sama apa yang saya ajarin," puji Mbak Sinta.

"Alhamdulillah. Makasih, Mbak." Athiya tersenyum senang.

"Kenapa nggak kuliah aja? Sayang banget, lho, kepintaran kamu kalau nggak dilanjutin kuliah."

"Iya, Mbak. Tapi saya nggak mau bebanin ibu lagi. Kasihan," jawab Athiya.

Sinta manggut-manggut mendengar penjelasan Athiya.

Sejam telah berlalu, Athiya mengerjakan semua tugas yang diberikan Sinta padanya dengan cepat tanpa masalah. Tiba-tiba telfon di meja Sinta berdering.

"Halo."

[...]

"Baik, Pak." Sinta menutup kembali telfonnya.

"Tia, kamu lanjutin dulu, ya. Saya dipanggil Pak Rama ke ruangannya," ujar Sinta.

"Iya, Mbak."

Sinta tersenyum lalu berjalan ke ruangan Rama yang tak jauh dari meja kerjanya.

"Masuk!" seru Rama saat mendengar ketukan di pintu.

Sinta masuk lalu mendekat ke meja kerja Rama. "Ada apa, Pak?"

"Gimana Tia? Apa semuanya baik? Tanggapan kamu soal dia bagaimana?" tanya Rama.

"Bagus, Pak. Tia anak yang pintar. Saya nggak perlu menjelaskannya berkali-kali, dia langsung paham. Pasti ke depannya Tia bisa lebih baik dari saya, Pak. Anaknya juga kalem dan sopan," tutur Sinta.

Rama tersenyum puas mendengar penjelasan Sinta.

'Ternyata apa yang Samy bilang itu bener. Tia emang pinter. Hanya nasibnya aja yang kurang beruntung,' batin Rama

"Ya sudah, kamu boleh kembali."

"Baik, Pak. Permisi," pamit Sinta.

Sebulan telah berlalu, Sinta telah benar-benar resign dari perusahaan. Kini Athiya menggantikan posisi Sinta seutuhnya. Rama dibuat kagum dengan hasil kerja Athiya.

Ia sangat cekatan dan terampil dalam mengerjakan semua tugasnya. Di usia yang masih sangat muda, tapi sudah mandiri dan bisa bertanggung jawab dengan pekerjaannya.

"Tia," rengek Samy di depan meja kerja Athiya.

"Hm?" Athiya hanya bergumam dan masih fokus pada layar laptop di depannya.

"Makan siang bareng, yuk! Aku udah laper ini," rengeknya.

"Kamu duluan aja, Sam. Aku kelarin ini dulu, dikit lagi."

"Ck. Kamu sekarang gitu. Semenjak kerja di sini jadi cuek sama aku," ocehnya sambil berlalu pergi. Jelas sekali terlihat ada kekecewaan di wajah Samy.

Athiya menoleh pada Samy yang mulai berjalan meninggalkannya. Ia merasa bersalah melihat Samy kecewa. Benar kata Samy. Semenjak Ahiya kerja, ia jadi sibuk dan jarang menerima tawaran Samy untuk pergi dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Rama memberinya banyak tugas.

Namun, kali ini Athiya tak ingin membuat Samy sedih lagi. Ia berlari mengejar Samy.

"Tunggu, Sam!" Athiya menahan lengan kemeja Samy hingga langkahnya terhenti.

"Apa?" tanya Samy datar.

"Maafin aku sering buat kamu kecewa. Tapi kemarin-kemarin itu aku beneran banyak kerjaan," sesal Athiya.

Samy menghela nafas pelan.

"Ok! Aku maafin. Tapi hari ini pulang bareng aku, ya. Jangan lembur lagi," pintanya.

"Iya, InsyaAllah." Athiya tersenyum manis.

Oh Allah ... indah sekali makhluk ciptaanmu ini, puji Samy dalam hati.

Jantungnya berdebar-debar melihat senyuman Athiya. Rasa itu semakin lama semakin dalam. Samy tak sanggup lagi menahan gejolak asmara dalam hatinya. Ia bertekad akan melamar Athiya secepatnya.

"Hey! Kok malah bengong?" Athiya menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Samy.

"Nggak. Nggak apa-apa. Aku bahagia setiap kali melihat senyummu, Tia. Jangan berikan senyum itu pada orang lain, ya," ucap Samy sungguh-sungguh sambil menatap dalam Athiya.

Netra keduanya saling bertemu pandang. Menghadirkan debaran-debaran di jantung dua insan muda itu. Sampai akhirnya, Athiya tersadar dan langsung menundukkan pandangannya.

"A-ayo ke kantin," ucap Athiya gugup lalu berjalan mendahului Samy.

Samy mengulum senyum lalu menyusul langkah Athiya.

Tanpa keduanya sadari, sedari tadi Rama mengamati mereka. Mengintip dari balik pintu ruang kerjanya yang dibuka sedikit. Senyuman tipis terukir di sudut bibirnya.

Semoga nasib cintamu tak seburuk aku, Sam, batin Rama.

🌸🌸🌸

Seperti yang sudah Athiya janjikan pada Samy, hari ini ia tidak lembur. Biarlah tugasnya ia akan kerjakan esok pagi. Athiya menunggu di parkiran saat Samy yang sedang pergi ke toilet.

"Tia, kamu belum pulang?" Rama muncul dari arah belakangnya.

"Iya, Pak. Ini saya juga mau pulang," jawab Athiya.

"Naiklah ke mobil saya. Saya antar kamu pulang."

"Hah? Nggak usah, Pak. Nanti ngerepotin," tolak Athiya.

"Apanya yang ngerepotin? Sudah ayo! Ikut saya." Rama menarik pelan lengan Athiya ke mobilnya.

"Tapi Pak. Itu ... anu. Saya lagi nung—"

"Tia!" Panggilan Samy memotong ucapan Athiya.

Keduanya menoleh ke arah suara. Samy berlari kecil menghampiri mereka.

"Aku yang mau nganterin Tia pulang," ucap Samy sambil menatap Rama.

"Ayo, Tia!" Samy melepaskan pegangan Rama lalu menarik Athiya pergi dari sana.

"Maaf, Pak," ucap Athiya sebelum pergi meninggalkan Rama.

Samy memasang wajah cemberut saat menyerahkan helm pada Athiya.

"Jangan cemberut gitu, dong! Nanti gantengnya ilang, lho," goda Athiya.

"Bodo!" ketus Samy. "Kamu, sih! Ngapain coba, mau-maunya ditarik Bang Rama," protes Samy. "Jangan-jangan ... kamu suka lagi, ya, sama Bang Rama?" tuding Samy.

"Ish, kamu apaan, sih? Mana mungkin aku suka sama Pak Rama. Dia kan udah punya istri. Lagian, dia juga atasan aku. Mana berani aku menaruh rasa sama dia."

"Yaa ... kamu kan jago bela diri. Lawan dikit kek, kalau dipaksa gitu," omel Samy.

"Ya Allah, Sam ... masa Pak Rama harus aku piting cuma gara-gara ngajak pulang bareng? Yang ada aku langsung dipecat."

"Habisnya aku kesel!" ketus Samy.

"Udah, ah. Jangan marah-marah terus. Nanti cepet tua. Jadi nganter pulang, nggak?"

"Iya, jadi. Ayo, naik!"

Samy akhirnya melajukan sepeda motornya meninggalkan parkiran kantor. Rama memandang keduanya dari dalam mobil sambil tersenyum.

"Aku iri padamu, Sam," gumam Rama.

Samy dan Athiya mampir terlebih dulu ke mushala karena adzan maghrib telah berkumandang. Samy mengajak Athiya untuk makan malam di luar, tapi Athiya menolaknya.

"Nggak, deh. Kasian ibu. Aku makan di rumah aja, ya. Maaf," tolak Athiya.

"Ok. Nggak apa-apa. Aku ikut makan bareng di rumah kamu, ya?"

"Orangtua kamu? Apa mereka nggak marah?" tanya Athiya khawatir.

"Nggak. Tenang aja. Ayo!"

Samy menyempatkan diri membeli makanan untuk dibawa ke rumah Athiya. Gurame bakar dan sate ayam menjadi pilihannya.

"Apa ini nggak kebanyakan, Sam? Ibu juga pasti masak di rumah."

"Nggak apa-apa. Kali-kali makan bareng camer," godanya.

"Mulai deh. Ayo masuk!" Athiya melangkah ke rumah lebih dulu.

Samy turun dari motor lalu mengekori Athiya.

"Assalamu'alaikum," salam keduanya.

"Wa'alaikumsalam. Eh, ada Nak Samy," ujar Bu Yanti.

"Iya, Bu. Jangan bosen, ya, liat Samy." Samy nyengir.

Bu Yanti hanya tersenyum menanggapi. Athiya dan Samy bergantian mencium tangan Bu Yanti.

"Ini, Bu. Samy beliin gurame bakar sama sate." Samy menyodorkan bungkusan pada Bu Yanti.

"Walah ... jadi ngerepotin," ujar ibu.

"Nggak apa-apa, Bu. Samy malah seneng." Samy tersenyum.

Athiya bolak-balik ke dapur membawa beberapa piring kosong, nasi dan gelas minum.

"Maaf, ya. Makan malamnya nggak sama kayak di rumah kamu," ucap Athiya.

"Yang begini malah lebih enak. Berasa lebih deket sama keluarga," jawab Samy.

Athiya tersenyum. Ia menyendokkan nasi ke piring Bu Yanti dan Samy bergantian. Mata Samy tak lepas menatap Athiya sembari mengulum senyum. Hatinya berbung-bunga karena bahagia.

Rasanya kayak udah suami-istri beneran, gumamnya dalam hati.

"Makasih, ya," ucap Samy.

"Eitts!" Athiya memukul pelan lengan Samy saat hendak mulai menyuapkan makanan.

"Kenapa?" Samy bingung.

"Cuci tangan dulu lah. Sana, di kamar mandi."

"Baik, Nyonya," ledek Samy sambil berlalu ke kamar mandi.

Bu Yanti tersenyum melihat tingkah keduanya.

Suasana makan malam yang sederhana tapi mampu membuat Samy merasa begitu bahagia. Hangat. Diselingi obrolan dan tawa. Berbeda dengan keluarganya. Meskipun makan bersama, tapi yang terdengar hanya bunyi denting sendok dan garpu.

Athiya mengantar Samy sampai ke depan rumah setelah selesai makan malam.

"Makasih, ya, Tia. Aku seneng banget bisa makan bareng kamu sama ibu," kata Samy.

"Iya, sama-sama. Kamu hati-hati, ya, pulangnya." Athiya tersenyum.

"Bentar, aku punya sesuatu buat kamu." Samy berjalan ke motornya, mengambil sesuatu dari dalam jok, lalu kembali menghampiri Athiya.

"Nih." Samy memberikan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado.

"Apa ini?"

"Buka aja," ujar Samy antusias.

Athiya duduk di kursi kayu untuk membuka bungkus kado itu. Ia terkesiap melihat isi kado tersebut.

"Hape?"

"He-eum. Biar aku bisa hubungin kamu kalau kangen." Samy mengulum senyum.

Athiya menghela napas pelan.

"Nggak usah, deh, Sam. Aku juga nanti mau beli pake uang dari gaji aku sendiri. Lagian, hape ini terlalu bagus dan mahal." Athiya hendak memberikan kembali samartphone itu pada Samy.

"Nggak! Aku nggak suka ditolak. Aku marah, nih, kalau kamu nggak mau nerima itu!" gertak Samy.

"Tapi—"

"Nggak ada tapi-tapian!" tukas Samy.

Athiya memghembuskan napasnya kasar. "Ya udah, iya. Jangan cemberut gitu, dong! Jelek," ledek Athiya.

Samy tersenyum menang.

"Udah aku isiin kartu sekalian itu. Jadi, kamu tinggal pake aja. Nomerku juga udah aku masukin. Langsung angkat, ya, kalau aku telepon."

Athiya mencoba mengecek nomor kontak yang baru hanya terisi satu. Ia terkekeh melihat nama kontak Samy di ponselnya.

"Iih ... kamu pede banget, sih? Ngasih nama nomer sendiri My Prince." Athiya tertawa geli.

"Iyalah. Kan aku pangeran di hati kamu." Samy mengedipkan sebelah matanya.

Tawa Athiya terhenti seketika dan langsung berdehem karena salah tingkah. Berpura-pura merapikan kerudungnya. Samy mengulum senyum melihat Athiya salah tingkah. Ia melangkah mendekati Athiya hingga tubuh Athiya menegang karena terkejut.

"Ng-ngapain?" Athiya gugup saat Samy menundukan wajah. Menatapnya dengan jarak yang begitu dekat.

"Jangan macem-macem, ya!" ancam Athiya.

Samy malah tersenyum lebar.

"Aku sayang kamu, Tia," ucapnya sungguh-sungguh dengan menatap lekat Athiya.

Jantung Athiya berdegup kencang. Wajahnya terasa menghangat. Kedua mata mereka saling menatap dalam untuk beberapa saat.

"A-a-aku mau masuk duluan." Athiya menundukan wajahnya, kemudian berjalan cepat ke dalam rumah dan menutup pintu.

Samy terkekeh karena berhasil menggoda Athiya hingga membuatnya gugup dan tersipu malu.

Athiya berdiri bersandar pada pintu. Satu tangannya memegang dada.

Aduhh ... jantungku rasanya mau copot, batinnya.

"Kenapa, Tia?" tanya Bu Yanti yang baru keluar dari kamar mandi.

"Hah? Ah ... eng. Nggak ada apa-apa, Bu," jawab Athiya gelagapan.

"Shalat isya dulu sana," ujar Bu Yanti sambil mengenakkan mukena untuk menunaikan shalat isya.

"Iya, Bu."

Athiya kembali mengintip Samy dari jendela. Keningnya berkerut saat tak menemukan Samy di sana.

"Apa dia udah pulang? Tapi kok nggak kedengeran bunyi motornya?" gumam Athiya sambil menatap keluar dari jendela.

Tiba-tiba ....

Wajah Samy muncul tepat di depan jendela tempat Athiya mengintip. Sontak Athiya terlonjak kaget dan langsung refleks menutup gorden itu. Samy terbahak sambil berlalu menaiki sepeda motornya.

"Tia, Tia. Ngegemesin banget, sih." Samy tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa detik kemudian, ia sudah melajukan sepeda motornya meninggalkan rumah Athiya.

🌸🌸🌸

Satu jam kemudian, Samy baru tiba di rumah. Senyum bahagia selalu mengiringi langkahnya.

"Assalamu'alaikum," salamnya saat masuk ke dalam rumah.

"Wa'alaikumsalam," jawab Orangtuanya serempak.

"Darimana aja kamu? Jam segini baru pulang," sergah Pak Alex.

"Dari rumah temen, Pah." Samy mencium kedua tangan Orangtuanya.

"Duduk kamu!" perintah Pak Alex.

"Papa nggak suka, ya, kamu terlalu deket sama temen kamu yang satu itu!"

"Temen yang mana, sih, Pah?" Samy berpura-pura tidak tahu.

"Jangan berlagak bodoh kamu! Kamu pikir papa nggak tau? Athiya!" sentaknya.

"Emangnya kenapa, sih? Tia itu anak baik, Pah. Dia juga pinter. Apa salahnya aku deket sama dia?" Samy tak terima.

"Papa nggak keberatan kalau kamu hanya temenan sama dia! Tapi ... jangan berharap lebih dari itu! Ngerti kamu! Carilah wanita yang sederajat dengan keluarga kita, Samy!" hardik Pak Alex.

"Cukup, Pah! Samy muak sama papa! Papa nggak pernah mentingin perasaan anak Papa sendiri! Yang ada di otak papa itu cuma bisnis, bisnis, bisnis! Samy benci keluarga ini! Cukup Bang Rama aja yang harus dipaksa nikah dengan gadis pilihan papa!"

"Tapi tidak bagi Samy! Samy nggak akan ngulangin kesalahan yang sama dengan Bang Rama! Samy cinta sama Athiya! Samy akan perjuangin dia! Nggak peduli kalau papa usir Samy dari sini sekalipun!"

"Samy! Jaga ucapan kamu!" bentak Bu Merlin-mamanya Samy.

"Aku juga benci mama! Mama sama aja dengan papa!" Samy langsung berjalan cepat ke kamar meninggalkan Orangtuanya.

"Samy! Papa belum selesai bicara!" teriak Pak Alex sembari berdiri.

"Udahlah, Pah. Biarin dulu. Nanti kita omongin lagi." Bu Merlin menarik tangan Pak Alex agar duduk lagi.

"Dasar anak nggak tahu terima kasih!" umpat Pak alex.

Samy berpapasan dengan Rama saat ia menaiki tangga menuju ke kamarnya. Langkah Rama terhenti dan menatap iba pada adiknya itu. Ia ikut merasakan apa yang dialami Samy karena ia pernah ada di posisi itu. Namun, Rama kalah. Ia tak bisa memperjuangkan cintanya dan berakhir dengan dijodohkan.

★★★




Komentar

Login untuk melihat komentar!