Suasana hati Samy begitu buruk. Andai bisa memilih, ingin rasanya ia dilahirkan di keluarga sederhana, tapi harmonis. Bukan di keluarga kaya tapi hampa akan kasih sayang.
Athiya beruntung. Meskipun hanya dibesarkan oleh seorang ibu dan hidup sederhana, tapi kasih sayang ibunya sangat besar. Samy bisa merasakan itu.
Samy mencoba untuk memejamkan mata, tapi ia tetap tak mampu untuk terlelap. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam.
Apa Tia udah tidur? batinnya.
Samy meraih ponsel dari atas nakas. Mencari nomer Tia yang ia beri nama 'My Princess'. Hendak menghubunginya, tapi ragu. Akhirnya ia putuskan mengirimkannya pesan Wa.
[Tia ...]
Tak perlu menunggu lama balasan langsung diterima Samy.
[Apa, Sam?] balas Athiya.
[Belum tidur?]
[Kalau udah tidur, mana bisa aku bales Wa kamu,] balasnya disisipi emot mengerlingkan mata.
[Hahaha,] balas Samy dengan emot tawa.
[Aku kangen kamu, Tia. Jadi nggak bisa tidur.]
[Halaah, gombal! Paling bentar lagi juga tau-tau udah bikin pulau kapuk di bantal. Haha.]
[Kok tau? Kamu pasang cctv di kamar aku, ya?] tanya Samy disisipi emot terkejut.
[Enak aja! Udah sana, tidur. Nanti kesiangan ke kantor.]
[Aku nggak bisa tidur, Tia. Suerr, deh. Aku telepon kamu, ya?]
Belum sempat Athiya membalasnya, Samy sudah lebih dulu menghubunginya melalui video call.
[Tidur, Sam. Udah malem. Aku juga ngantuk,] ucap Athiya di seberang telepon.
"Aku pengen liat kamu," rengek Samy.
[Ini kan udah liat. Udahan, ya?"]
"Nggak mau. Kamu kalau ngantuk tidur aja, tapi jangan dimatiin vicolnya, ya."
Akhirnya Athiya menemani Samy mengobrol sebentar. Ponselnya ia sandarkan pada tas punggung. Matanya sudah terlihat begitu berat menahan kantuk. Bahkan ia beberapa kali menutupi mulutnya yang menguap lebar.
"Tia," panggil Samy.
Tia tak menjawab. Ia sudah terlelap di depan ponselnya yang masih menyala. Samy tersenyum.
"Maaf udah ganggu kamu, Tia. Selamat tidur." Samy tersenyum melihat Athiya yang sedang tertidur pulas dari layar ponsel.
Beberapa bulan berlalu, Samy dan Athiya semakin dekat. Namun akhir-akhir ini, kesibukan keduanya menyebabkan mereka jarang menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Telepon dan saling berbalas pesan pun hanya sesekali. Samy sibuk dengan kuliah dan tugas kantornya.
Athiya tengah mempersiapkan semua berkas-berkas yang akan dibawanya untuk bertemu klien. Ketika itu, ia melihat Samy berjalan keluar dari ruangannya.
Athiya berdiri hendak menyapa. Namun, niat itu ia urungkan kembali karena Samy hanya menoleh dan tersenyum sekilas sambil terus berlalu meninggalkannya. Ada yang terasa ngilu di hati Athiya.
Hanya perasaanku aja atau Samy emang udah berubah? batin Athiya.
Athiya menghela napas panjang.
Untuk apa aku sedih? Toh, aku dan Samy juga nggak ada ikatan hubungan apa-apa, gumamnya dalam hati.
Lamunannya buyar saat seseorang menepuk bahunya. Ia tersentak kaget.
"Pak Rama," gumamnya.
"Kenapa ngelamun, hm?" tanya Rama sembari ikut melihat ke mana Athiya memandang.
"Ng-nggak ada apa-apa, Pak," jawab Athiya.
"Berkas-berkasnya udah selesai kamu siapin?"
"Udah, Pak."
"Ayo! Kita berangkat sekarang," ajak Rama.
Athiya mengangguk. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran.
Sepanjang perjalanan, Athiya hanya diam dan terus memandang ke bahu jalan. Ia melirik ponsel di tangannya. Belum ada satupun pesan masuk dari Samy sejak semalam. Padahal dulu, ponsel Athiya tak pernah berhenti bergetar dari pesan maupun panggilannya. Athiya mencoba untuk mengirim pesan pada Samy.
[Jangan lupa makan siang, Sam.]
Pesan tidak langsung tercentang biru. Lima menit kemudian, Athiya baru mendapatkan balasan.
[Ya.]
Hanya itu balasan dari Samy. Tanpa embel-embel emoticon ataupun kata-kata lainnya seperti yang biasa Samy lakukan dulu.
Athiya menghembuskan kasar napasnya.
Rama menyadari ada sesuatu yang sedang mengganggu perasaan Athiya.
"Kamu kenapa, Tia? Kamu ada masalah?"
"Nggak ada, Pak," jawab Athiya.
"Apa kamu lagi ada masalah dengan Samy? Saya lihat, kalian akhir-akhir ini jarang ketemu."
"Nggak ada, Pak. Samy lagi sibuk kuliah sama fokus kerja," jawab Athiya.
"Tia, boleh saya minta tolong sesuatu sama kamu?" tanya Rama.
"Minta tolong apa, Pak?"
"Jangan panggil saya Pak Rama. Panggil saja Mas Rama kalau kita sedang di luar kantor," pinta Rama.
Athiya termenung mendengar permintaan Rama.
"Tapi, Pak–"
"Nggak ada tapi-tapian," tukas Rama. "Anggap saja aku kakakmu. Kamu anak tunggal, kan?"
"Iya, Pak."
Rama langsung melirik tajam ke arah Athiya.
"Ehm ... maksud saya ... Mas," jawab Athiya ragu. Ia merasa aneh dengan panggilan baru itu.
🌸🌸🌸
Sejam kemudian, mereka sampai di sebuah resto ternama di Jakarta. Klien Rama beserta sekretarisnya terlihat sudah lebih dulu datang.
"Maaf, saya telat," ucap Rama sembari menyalaminya.
"Nggak apa-apa, Pak. Kami juga baru sampai kok," jawab Dion, pria paruh baya yang akan bekerja sama dengan Rama.
"Silahkan duduk," ucap Dion pada Rama dan Athiya.
"Sekretarisnya, Pak?" tanya Dion pada Rama sembari melirik Athiya.
Athiya mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Iya. Ini Athiya. Sekretaris pribadi saya."
"Masih muda sekali, ya. Masih seger." Pak Dion tersenyum genit menatap Athiya.
Athiya menahan kesal dalam hatinya. Ia tahu maksud dari ucapan klien bossnya itu.
Dasar! Tua-tua keladi! Untung ada Pak Rama. Kalau nggak ada ... udah tak pites! geram Athiya dalam hati.
Rama pun menyadari maksud dari ucapan Dion. Ia menatap dingin pada calon kliennya itu.
"Apa tujuan kita ke sini untuk membicarakan sekretaris saya?" tanya Rama dingin sembari menatap tajam Dion.
Dion menyadari perubahan raut wajah Rama. Ia langsung gelagapan.
"Oh ... tentu bukan, Pak Rama. Mari kita mulai saja," jawab Dion.
Diskusi bisnis keduanya berjalan lancar. Athiya maupun sekretarisnya Dion mencatat semua poin-poin penting dalam kerja sama kedua perusahaan tersebut. Selesai meeting, ke empatnya melanjutkan makan siang bersama.
Di tengah kegiatan makan siangnya, Athiya melihat sosok yang ia kenal berjalan memasuki restoran tersebut.
"Samy," gumamnya setengah berbisik.
Rama masih bisa mendengarnya meskipun suara Athiya pelan. Ia ikut menatap ke arah pintu masuk.
Samy berjalan beriringan dengan seorang gadis yang seumuran dengannya. Mereka terlihat sangat akrab. Bahkan, gadis itu bergelayut manja di lengan Samy. Ada yang terasa perih dan ngilu di hati Athiya.
Samy baru menyadari ada Athiya di restoran itu. Pandangan mereka bertemu. Terlihat Samy gugup dan langsung melepaskan tangan gadis itu. Sedangkan Athiya, ekspresinya datar. Ia kembali menundukan pandangan dan fokus pada makanan di depannya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Rama.
Athiya hanya melirik Rama sekilas dan tersenyum.
Samy duduk di meja yang tak jauh dari meja Athiya. Ia tidak bisa fokus dengan makanan di depannya. Tatapannya selalu tertuju pada Athiya yang tak melirik padanya sama sekali.
"Kamu kenapa, sih? Dari tadi ngeliatin cewek itu mulu. Kamu suka?" tanya Angela kesal.
"Diem bisa, nggak? Makan aja! Nggak usah berisik!" omel Samy.
Rama dan Athiya beranjak dari tempat duduk lalu berjalan ke arah pintu keluar.
"Tia!" panggilan Samy menghentikan langkah Athiya.
Athiya menoleh. Samy hendak menyusul Athiya, tapi Angela menahan lengannya.
"Ngapain, sih? Kita kan lagi makan!" Angela tak terima.
"Lepas!" sentak Samy.
"Nggak!" tolak Angela masih memegangi erat tangan Samy.
"Ayo, Tia!" ajak Rama.
Athiya hanya tersenyum sekilas pada Samy yang masih tertegun lalu kembali melanjutkan langkahnya.
"Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Saya mau ke toilet," ucap Rama.
"Baik, Pak."
Rama mengerutkan kening mendengar panggilan itu.
"Maksud saya ... Mas Rama." Athiya canggung.
Rama tersenyum lalu pergi ke toilet di dekat parkiran. Dion melihat Athiya tengah berdiri sendirian. Matanya celingukan melihat ke sekeliling. Ia tersenyum saat mengetahui tak ada Rama di sana. Dion melangkah cepat menghampiri Athiya.
"Halo, Tia! Belum pulang?" Dion langsung merangkul pinggang Athiya hingga ia terperanjat kaget.
"Belum," jawab Athiya dingin. Ia menahan emosi sembari melepaskan tangan Dion dari pinggangnya.
Athiya menggeser posisinya menjauhi Dion. Namun, Dion malah semakin mendekatinya sambil******pinggul Athiya. Sontak Athiya tak bisa menahan emosinya lagi.
Ia menarik kasar tangan Dion lalu memelintirnya ke belakang. Athiya menendang bagian belakang lutut Dion hingga jatuh dalam posisi berlutut. Athiyaa mengunci leher dan tangan Dion dengan kuat.
"Sakit, sakit, sakit!" Dion meringis kesakitan.
"Jangan pernah melecehkan saya atau tangan anda akan saya buat patah!" ancam Athiya di telinganya.
"Tia!"
Athiya menatap ke arah Rama yang berlari menghampirinya. Ia akhirnya melepaskan kuncian dari tangan dan leher Dion. Dion buru-buru bangkit. Ia terbatuk-batuk.
"Gila kamu, ya! Kamu mau bunuh saya?!" bentak Dion.
"Lihat itu, Pak Rama! Kelakuan sekretaris anda sangat kurang ajar pada saya! Saya bermaksud baik menyapa, tapi dia malah menyerang saya!" kilah Dion.
Athiya melotot tak terima dengan kebohongan Dion.
"Bapak yang lebih dulu melecehkan saya!" Athiya menunjuk wajah Dion.
"Enak saja! Mana mungkin saya tertarik sama kamu! Nggak ada seksi-seksinya. Cih!" cela Dion.
Athiya mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya karena menahan amarah.
"Sudah cukup! Tia, kamu naik ke mobil!" perintah Rama.
Athiya menatap tajam Dion. Saat ia baru saja hendak berjalan ke arah mobil, ucapan Dion menghentikan kembali langkahnya.
"Dasar gadis tak tahu diri! Sok suci! Kamu itu pantas dipecat!" umpat Dion.
Rahang Athiya mengeras. Ia memejamkan mata sampai akhirnya Athiya.tak bisa lagi menahan amarah.
Pukulan Athiya tepat mengenai hidung Dion. Ia terhuyung ke belakang sembari mengaduh memegangi hidungnya yang berdarah.
"Cukup Tia, cukup!" Rama menahan kedua bahu Athiya saat ia hendak menerjang kembali ke arah Dion.
"Ayo! Kita kembali ke kantor saja." Rama menarik Athiya ke mobilnya.
"Awas, Pak Rama! Gadis seperti dia itu lebih berbahaya dari hewan buas!" teriak Dion.
Langkah Rama dan Athiya terhenti. Rama membalik tubuh menatap Dion. Ia tersenyum ramah sembari menghampiri Dion.
"Benar, kan, ucapan saya?" Dion merasa menang melihat Rama mendekatinya sembari tersenyum. Namun, tanpa diduga Rama malah memukul wajah Dion hingga ia tersungkur ke tanah.
"Cih! Tua bangka tak tahu diri! Perjanjian kerja kita batal!" bentak Rama sembari menatap tajam Dion.
Wajah Dion pucat. Perjanjian kerja yang sangat ia tunggu-tunggu akhirnya batal. Ia tak menyangka kalau Rama akan membela sekretarisnya.
Rama dan Athiya melangkah bersama ke arah mobil. Ekor mata Athiya menangkap sosok Samy yang berdiri di pintu restoran. Samy memang menyusul Athiya sedari tadi.
Ia pun sempat ingin berlari untuk menghajar Dion saat melihat dia melecehkan gadis yang dicintainya. Namun, niatnya batal karena Athiya lebih dulu melumpuhkannya.
Samy berdiri mematung menatap mobil Rama yang perlahan meninggalkan restoran.
Maaf, Tia, batinnya.
🌸🌸🌸
Sepanjang perjalanan sampai tiba di kantor, Athiya lebih banyak diam. Perlakuan kurang ajar Dion ditambah pertemuannya dengan Samy membuat suasana hatinya buruk.
Inikah alasannya sikap Samy berubah? Apakah gadis itu pacarnya?
Apa hakku? Aku dan Samy pun tak memiliki hubungan serius. Hanya sebatas teman. Tapi kenapa hatiku sakit?
Lalu ... apa ucapan sayangnya padaku selama ini hanya main-main? Ah ... sudahlah. Untuk apa aku memikirkannya?
Bunyi telepon di meja kerja mengakhiri pertarungan batinnya.
"Ya, Pak?"
[Kamu ke ruangan saya sebentar, ya.]
"Baik, Pak." Athiya menutup telepon dan langsung melangkah menuju ke ruangan Rama.
"Ada apa, Pak?" tanya Athiya saat ia sudah berada di dalam.
"Tolong kamu kerjakan ini, ya." Rama menyodorkan beberapa berkas padanya.
"Ya, Pak."
"Baiklah. Kamu boleh kembali," ucap Rama lalu kembali menatap layar laptop.
"Ehm ... Pak Rama," panggil Athiya.
Rama beralih menatap Athiya.
"Ada apa?"
"Saya ... saya minta maaf, Pak." Athiya tertunduk.
"Minta maaf untuk apa?"
"Gara-gara saya kerja sama dengan perusahaan Pak Dion jadi batal," sesalnya. "Saya nggak keberatan kok, Pak, kalau Pak Rama mau memecat saya."
"Jangan pikirkan hal itu dan jangan salahkan dirimu sendiri. Dion memang pantas mendapatkannya." Rama tersenyum.
"Tapi, Pak–"
"Sudah. Kamu jangan pikirkan masalah itu lagi, ya?"
"Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi." Athiya memutar balik badan hendak keluar.
"Tunggu, Tia!" panggilan Rama menghentikan langkahnya.
"Ya?"
Rama beranjak dari kursi lalu berjalan menghampiri Athiya.
"Ehm ... sejak kapan kamu jago bela diri?" tanya Rama penasaran.
"Sejak kecil, Pak. Alamarhum ayah saya pelatih pencak silat di kampung," jawab Athiya.
"Ooh ...." Rama manggut-manggut. "Kamu diam-diam ternyata menyimpan banyak kelebihan, ya." Rama menatap kagum pada Athiya.
"Pak Rama terlalu berlebihan memuji saya. Saya hanya gadis kampung yang mencoba mengadu nasib di kota," tutur Athiya.
"Kamu terlalu merendahkan dirimu sendiri, Tia." Rama masih tetap memandang Athiya.
Athiya mulai merasa canggung ditatap lekat oleh atasannya.
"Maaf, Pak. Kalau nggak ada yang penting lagi, saya permisi."
"Tunggu!" Rama mencengkeram pergelangan tangan Athiya yang hendak pergi.
Tepat pada saat itu, istrinya Rama datang dan muncul di pintu.
"Mas!" sentak Nara dengan mata melotot.
Rama dan Athiya menoleh ke arah suara. Athiya langsung menepis tangan Rama.
Wah ... celaka ini. Pasti Mbak Nara salah paham lagi, batin Athiya.
"Kamu ini, ya! Jadi ini kerjaan kamu di kantor?! Mesra-mesraan sama sekretaris kamu, hah?! Pantas saja kamu tidak pernah mau menyentuhku! Ternyata kecurigaanku selama ini memang benar!" murka Nara.
"Nara, kamu salah pa–"
"Diam!" potong Nara.
"Dan kamu!" Nara menunjuk wajah Athiya.
"Jangan jadi pelakor! Butuh uang berapa kamu, hah?! Berani-beraninya kamu godain suami saya!"
"Maaf, Mbak. Tapi Mbak salah paham. Saya tadi hanya–"
"Halaah, diam kamu! Nggak usah ngeles! Dasar gadis kampung!" hina Nara.
"Nara, cukup!" bentak Rama.
Nara tersentak mendengar bentakan suaminya.
"Jangan menghina Tia seperti itu!" hardiknya.
Nara semakin melotot. Tangannya mengepal menahan amarah.
"Tia, kamu kembalilah ke meja kamu," ucap Rama lembut.
"Baik, Pak. Permisi."
"Heh!" Nara menarik kerudung Athiya hingga tubuhnya kembali terhuyung ke belakang. Beruntung Athiya dengan cepat menahan kerudungnya agar tidak terlepas.
"Kurang ajar kamu! Dasar wanita mur****!" hina Nara.
Athiya tersentak mendengar penghinaan Nara. Ia tak terima. Ingin sekali marah, tapi Nara adalah istri dari atasannya.
"Nara! Jangan keterlaluan kamu!" Rama yang ikut emosi tanpa sadar mendorong tubuh Nara.
"Ooh ... bagus! Belain aja dia terus, belain! Terbukti sekarang kalau kamu memang punya hubungan khusus dengan sekretaris kamu ini!"
"Dasar jal***!" Nara hendak menampar Athiya, tapi Athiya dengan sigap menahan tangannya.
Athiya tak peduli lagi meskipun dia adalah istri atasannya. Baginya, hinaan ini sudah di luar batas.
"Jaga ucapan, Mbak! Saya sudah berusaha sabar setiap kali Mbak berkata kasar sama saya! Tapi kali ini, saya tidak bisa menerimanya!" ucap Athiya dengan nada penuh penekanan dan sorot mata tajam.
"Saya tidak punya hubungan apa-apa dengan Pak Rama! Dan saya tidak pernah tertarik dengan pria yang berstatus suami orang!" Athiya menghempaskan kasar tangan Nara.
"Maaf, Pak, kalau saya lancang. Bapak boleh memecat saya. Permisi." Athiya langsung pergi meninggalkan ruangan itu.
Air matanya tak kuasa lagi ia bendung. Mengalir deras membasahi pipi. Hari ini sudah dua kali dia mendapatkan penghinaan.
Apa salahnya? Apakah karena ia miskin sehingga orang-orang kaya bisa menghina seenaknya?
Nara bukan sekali ini saja memarahi dan membentaknya. Ia sering melakukan itu karena cemburu pada suaminya. Namun, kata-katanya kali ini tak bisa Athiya terima. Ia merasa begitu sakit hati mendengarnya.
Athiya keluar dari ruangan Rama dengan beruraian air mata. Terdengar adu mulut antara Rama dan Nara, tapi Athiya tak peduli. Ia tak tahan dihina seperti itu.
Tanpa diduga, Athiya berpapasan dengan Samy yang baru kembali ke kantor dari kampus. Keduanya sama-sama terkejut. Samy terkejut karena melihat Athiya menangis. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Tia, kamu kenapa?" Samy berjalan mendekatinya.
Athiya menghapus kasar air matanya lalu berjalan ke arah meja kerjanya.
"Tia!" Samy menahan lengannya.
"Aku nggak apa-apa," jawabnya datar sembari melepaskan pegangan Samy.
Athiya menyambar tas punggung dari kursi lalu berjalan cepat keluar kantor.
"Tia, tunggu!" Samy berteriak lalu berlari mengejar. "Ada apa sebenarnya? Siapa yang bikin kamu nangis, Tia?" Samy berjalan cepat mengimbangi langkah Athiya.
Athiya diam tak merespon. Menoleh pun tidak.
"Tia, kumohon ... jangan bikin aku khawatir. Kamu kenapa?"
Langkah Athiya terhenti lalu menatap Samy. Athiya tersenyum kecut.
Khawatir? Untuk apa kamu khawatir? Bukankah kamu memang ingin menjauh dariku?
Athiya kembali berjalan cepat meninggalkan Samy. Samy mengejarnya.
"Aku antar kamu pulang." Samy menarik paksa lengan Athiya.
"Nggak perlu!" Athiya menepis tangan Samy, tapi Samy menahannya.
Dengan terpaksa Athiya sedikit mengeluarkan kemampuannya untuk bisa lepas dari cengkeraman Samy.
"Aww!" Samy meringis memegangi lengannya.
"Maaf," sesal Athiya kemudian berlari meninggalkan Samy yang terus mengejar sambil memanggil namanya.
Untuk saat ini Athiya memang tak ingin bertemu Samy. Ia kesal. Sebulan belakangan ini Samy tiba-tiba menghindarinya tanpa alasan yang jelas. Dan pertemuan di restoran itu, cukup memberikan Athiya jawaban atas perubahan sikap Samy.
★★★
Login untuk melihat komentar!