Jleb!
Kata-kata barusan bagaikan senjata berkarat yang menusuk jantung. Sakitnya betul-betul menyakitkan.
Sialnya wanita itu melenggang pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan tanggapanku.
"Arghhh!"
Aku mendengkus sebal begitu wanita itu menghilang di balik pintu. Ucapan penuh penekanannya tadi kian membuat hati ini sakit.
"Dia pikir aku senang berada di rumah sakit?" Gigiku gemelutuk.
Kotak makan yang Nenek taruh di atas nakas, aku raih. Lalu melemparkannya ke tong sampah dengan geram.
"Semoga aku cepat terbebas dari wanita tua menyebalkan itu," doaku asal karena kesal. "Biar Saga jadi sebatang kara betulan."
Setelah kepergian Nenek, aku sendiri lagi. Kesepian. Biasanya ada Ibu yang menemani.
Namun, dua hari ini ada pesta yang order catering Ibu secara besar-besaran. Makanya dari kemarin aku hanya berteman sepi di rumah sakit ini. Saga datang hanya di waktu malam saja.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika otak ini sedang tertuju padanya, lelaki itu menampakkan diri. Saga datang dengan pakaian lusuh dan rambut yang berantakan.
"Maaf baru dateng. Aku sibuk banget." Saga bicara tanpa ditanya. Buah yang dibawanya ia taruh di nakas. "Kamu sudah makan?" Walau datar, tapi aku tahu dia perhatian.
"Nenek bilang ... dia masak sayur ...." Saga tidak melanjutkan ucapannya. Mata lelaki itu terpaku pada kotak makan yang berada di tong sampah. "Del, kamu?" Manik hitam itu menyipit sendu dengan mulut yang sedikit terbuka.
Melihat ekspresi sedih Saga, mendadak hati ini diliputi rasa bersalah. Tidak mampu membalas tatapan Saga, aku buang muka.
"Nenekmu benar-benar keterlaluan, Ga." Aku mulai mengadu, "bisa-bisanya dia ngatain aku sengaja berlama-lama di rumah sakit. Dia pikir aku sengaja sakit?"
Lalu entah kenapa tiba-tiba bibir ini mulai bergetar. Air mata pun dengan bebasnya luruh tanpa mau dicegah.
"Dan yang membuat aku tambah sakit hati adalah ...." Aku tidak kuasa meneruskan ucapan. Sementara air mata juga kian mengucur, "nenek kamu dengan entengnya bilang aku ini doyan banget."
"Doyan?" Mata Saga menyipit karena tidak paham.
"Iya doyan." Aku kesal lagi, "katanya aku super cuek sama kamu, tapi anak masih bayi aku udah hamil lagi," terangku di sela isak.
"Nenek bilang begitu?" Pertanyaan lemah Saga menyiratkan jika dia tidak percaya dengan kata-kataku.
"Kamu pikir aku mengada-ada?!" Nadaku sedikit meninggi.
Saga lekas menutup tirai berwarna hijau ini. Agar tetangga pasien tidak terganggu dengan pembicaraan kami. Ayah memang memilihkan ruang inap kelas dua untukku. Sehingga ruangan ini disi dua orang pasien.
"Aku memang bersalah karena tanpa sengaja udah melenyapkan seluruh keluargamu. Tapi ... bukankah aku udah tanggung jawab dengan mau menikah dengan kamu?" Kupandang Saga yang masih berdiri.
"Terus kenapa nenek kamu sangat membenci aku, Ga? Kenapa?" cecarku gemas. Hormon kehamilan membuat emosiku turun naik tidak jelas.
"Apalagi yang mesti aku korbanin biar dapat maaf dari nenek kamu, Ga?" tanyaku serius.
"Nenek gak benci kamu," balas Saga datar. Dia menjatuhkan diri di kursi depanku persis.
"Dia cuma masih belum mengikhlaskan kepergian keluarga kami saja." Ucapan bernada sendu itu kembali membuat hatiku mencelus. "Nenek sebenarnya sayang sama kamu, Del," ujarnya sembari mengulurkan tangan. Pipiku ia elus perlahan, "makanya tadi nyuruh aku cepat-cepat ke sini buat nemenin kamu." Senyum tipis tersemat di bibirnya. Manis. Karena ada lesung pipit yang terlihat.
Aku hanya mampu terdiam. Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai omongan Saga.
Hening. Mulut kami saling tertutup rapat untuk beberapa saat.
"Ngomong-ngomong kamu lagi kerja apa sekarang?" Akhirnya, aku memecahkan kesunyian. Ngantuk juga kalau saling diam-diaman seperti tadi.
Saga tidak lekas membalas. Dia justru duduk di ranjangku. Dengan seenak perutnya dia merebahkan tubuh. Berdesak-desakan di brankar sempit ini.
"Aku ikut Kevin nyanyi di kafe kalo malam." Saga berkata dengan pandangan pada langit-langit kamar.
"Kamu bisa nyanyi?" Tiba-tiba aku ingin tertawa.
Ngomong aja malas. Apa iya, Saga bisa nyanyi?
"Terpaksa. Demi tanggung jawabku pada kamu dan juga Rainbow." Saga menjawab datar tanpa ekspresi. Tiba-tiba ponsel di saku celana Saga berdering. Lelaki itu meraih gadgetnya dengan malas. Lalu bangkit.
"Ya ... halo," sapa Saga begitu menerima sambungan.
[ ... ]
Aku tidak bisa mendengar suara orang di seberang karena Saga tidak menyalakan loud speaker.
"Apaah?!" pekik Saga dengan mulut yang melebar. Tubuhnya tampak membeku.
"Kenapa, Ga?" tanyaku penasaran melihat ekspresi tidak biasa dari Saga.
Saga terus membeku. Aku memegangi lengan kanannya.
"Kenapa, Ga?" Aku mengulangi pertanyaan.
Saga menurunkan ponsel dari telinganya. Dia menatapku dengan nanar.
"Kata Bu Dewi ... Nenek ... Nenek jatuh di kamar mandi." Raut wajah Saga pucat seketika saat mengucap kata itu.
"Apaah?" Aku yang teramat kaget refleks menurut mulut.
"Kamu tunggu di sini, ya! Aku mau lihat keadaan nenek dulu."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Saga langsung melompat dari brankar. Pria itu mengecup sekilas bibirku. Lalu menyingkap tirai. Pria itu berlari ke luar kamar.
Aku sendiri menghela napas berat.
"Semoga aku lekas terbebas dari wanita tua menyebalkan itu. Biar Saga jadi sebatang kara betulan."
Sontak bulu kudukku meremang saat mengingat umpatan asal ini ke Nenek tadi siang. Tiba-tiba hatiku merasa tidak nyaman. Gelisah luar biasa.
"Ya Allah tolong jangan kabulkan sumpah serapahku tadi siang," mohonku benar-benar ketakutan.
Login untuk melihat komentar!