4. Kenangan Buruk
"Duduk!" Ibu menepuk sofa. Dia menyuruhku untuk mendekat di sampingnya. "Kenapa sikutmu?" tanya Ibu selidik begitu aku sudah berada di dekatnya.

"Keserempet mobil tadi waktu nganterin Moonel," balasku kalem. 

Aku mana bisa galak di depan Ibu. Yang ada aku nanti jadi bulan-bulanannya dia. Jujur sikap keras kepala, jutek, mau menang sendiri, dan sifat jelekku yang lain adalah turunan dari wanita ini.

"Itu yang namanya kena karma, Del. Kualat kamu sama laki," omel Ibu ringan banget. Lepas tanpa ada beban. Gak peduli aku mau sakit hati atau tidak mendengarnya.

"Maksud Ibu apa sih?" sahutku sebal.

"Del, sudah berapa kali Ibu bilang? Semarah apa pun kamu sama Saga jangan pernah mengusir dia dari rumah," larang Ibu tegas. 

Aku mendesah berat. "Bu, Saga itu abis ngilangin mobil yang susah payah kubeli hanya demi taruhan," laporku lemah. Karena percuma juga, Ibu pasti tetap tidak mau membelaku.

"Tapi, bukan begitu caranya." Ibu terus menyahut tegas. Air mukanya tetap menunjukkan intimidasi. "Main usir seenaknya. Harusnya dengar dulu alasan Saga apa dan kenapa dia melakukannya."

"Saga ngadu apa sama, Ibu?" tanyaku sinis.

"Dia mana mau cerita Ibu walau sudah kamu zholimi."

"Bu!" sergahku mulai marah.

"Meninggikan suara pada seorang ibu itu dosa, Del." Ibu mengingatkan dengan wajah gemas.

"Habis Ibu selalu belain Saga." Kini aku mulai bersedih. "Di mata Ibu, Saga adalah menantu idaman. Padahal dia cuma benalu, Bu," tuturku dengan hati yang teremas.

"Jaga mulut kamu, Del!" sembur Ibu mulai naik pitam.

"Belain Saga terus. Yang anaknya dia atau aku, Bu?" tanyaku dengan suara yang tidak begitu jelas. 

Sial! Air mata inilah penyebabnya. Padahal aku tidak mau terlihat lemah di depan Ibu. Delima ini wanita yang tangguh.

"Ingat penderitaan yang kamu dan ayahmu berikan untuk Saga?"

"Ungkit terus kisah kelam itu! Ungkit terus, Bu!" sergahku kian kesal.

Hembusan napas Ibu terdengar begitu jelas karena jarak duduk kami yang begitu dekat. "Selama Saga tidak berselingkuh atau berbuat kasar sama kamu, maafkan dia, Delima." Lagi-lagi Ibu merendahkan suara saat meminta maaf untuk Saga. "Menikah itu bukan untuk menerima segala kelebihan pasangannya saja, tetapi juga kekurangannya."

Aku membuang muka, saat Ibu memberi wejangan yang sudah sangat hapal di telinga dari hari ke hari.

"Saga itu tulus mencintai kamu dan anak-anak. Sayangnya kadang cara dia salah ketika ingin membahagiakan kalian," kata Ibu lagi.

Aku masih setia mengunci mulut.

"Cepat telpon dia suruh balik!" Seperti biasa perintah Ibu tidak terbantahkan. Wanita itu bangkit dan mulai menyangklong tasnya. "Ingat rumah dia habis juga demi bisa memberi makan kamu dan anak-anak!"

"Itu sudah menjadi kewajiban dia sebagai seorang suami," balasku bosan.

"Oke. Kalo kamu ngeyel terus seperti ini, Ibu yang akan usir kamu dari salon tempat kamu cari duit sekarang juga! Biar kamu gak besar kepala," ancam Ibu tegas.

Aku mendengkus kesal. Ibu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Merasa kalah debat, aku memilih meninggalkan wanita itu ke kamar. Membanting keras pintu sebagai luapan emosi.

Satu jam aku rebahan di kamar. Wejangan serta ancaman dari Ibu terngiang lagi. Aku menarik napas gusar. Ibu menyayangi Saga melebihi anak kandungnya sendiri. Semua itu berawal dari kejadian kelam enam belas tahun lalu.

Lalu kenangan kelam itu pun berkelebat di mata. Insiden berdarah itu terjadi saat umurku baru menginjak angka sembilan belas tahun. Baru satu tahun menjadi mahasiswi.

Masih tercetak jelas di ingatan sore itu, Ayah menjemputku di kampus. Lelaki itu baru saja membeli sebuah mobil tiga bulan lalu. Kami bukan berasal dari keluarga yang berlimpah. Namun, kehidupan kami berkecukupan. Aku dua bersaudara. Adikku perempuan hanya selisih tiga tahun. 

Ayah sangat menyayangi aku. Pria itu sudah mengajariku menyetir mobil dari dua bulan lalu. Hari itu aku meminta untuk belajar lagi. Ayah menolak dengan alasan sedang lelah. Namun, aku memaksa.

Karena terus dibujuk dan merasa sudah pandai, akhirnya Ayah mengizinkan aku membawa mobil di jalan raya. Awalnya enjoy mengemudi. Namun, ketika ada sebuah truk besar lewat tiba-tiba aku dilanda grogi. Karena panik aku justru menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi.

Entah apa yang terjadi, tahu-tahu mobil yang kubawa menubruk sebuah minibus yang melaju tepat di depan. Suara benturan keras cukup memekakkan telinga. Aku merasakan guncangan yang amat hebat. Setelah itu tidak mengingat apa-apa lagi. Karena ternyata jatuh pingsan.

Ketika siuman seluruh tubuh terasa sakit semua ketika digerakkan. Kutanya keadaan Ayah pada Ibu yang tengah mengunjungi.

"Ayah kamu baik-baik saja," jawab Ibu menentramkan.

Satu minggu kemudian, kudengar berita yang amat menggetarkan dada. Penumpang mobil yang kutabrak tewas ketika dilarikan ke rumah sakit. Korban berjumlah tiga orang. Ayah, Ibu, dan seorang anak perempuan seusia adik kandungku.

Shock dan takut itulah yang kurasakan saat itu. Hari-hariku hanya dipenuhi air mata ketakutan. Bayangan mendekam di balik jeruji menghantuiku setiap malam. 

Aku tidak pernah tidur nyenyak setiap malam. Selera makan pun bilang seketika. Berat badanku anjlok drastis.

"Del, bersyukurlah kamu kepada Allah, karena keluarga korban tidak menuntutmu ke jalur hukum." Laporan Ayah laksana air es yang mengguyur lahan kering. Terdengar amat menyejukkan.

"Benarkah?" sahutku takjub. Bahagia dan haru campur aduk menjadi satu. "Alhamdulillah!" Aku bersyukur lega  dengan kedua tangan yang meraup muka. Ibu, adik, dan Ayah memandangku senang.

"Tapi, kamu harus menerima syarat dari mereka jika tidak ingin dipenjara," kata Ayah kemudian.

"Syarat?" Dahiku mengerut dalam.

Next
Klik tombol subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Komentar

Login untuk melihat komentar!