BOSAN DENGAN SUAMI
"Yaaah! Kaos kaki aku mana?"
"Di tempat biasa dong, Sayang."
"Yaaah! Starina mandinya lama banget."
"Starin! Gantian mandinya udah siang lho!"
Aku mendengkus berat. Teriakan demi teriakan setiap pagi selalu memenuhi gendang telinga. Apalagi ini hari Senin. Awal weekdays. Kesibukan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari.
Lewat celah pintu yang sedikit terbuka, kulihat Saga sedang berlari kecil menuju meja makan. Tangannya memegang panci besar. Sementara celemek melekat pada tubuhnya.
"Bunda, iketin rambut aku."
Bungsuku yang baru berusia tujuh tahun mendekat. Gadis kecil itu telah memakai seragam merah putihnya. Aku yang tengah merias wajah menghentikan aktivitas ini. Tangan ini meraih sisir, lalu mulai merapikan rambut panjang bocah kelas dua sekolah dasar ini.
"Terima kasih." Bocah itu berlalu setelah rambutnya aku kucir dua.
Aktivitas kulanjutkan kembali. Usai memoles wajah, kuambil jam tangan KW 2 dari laci nakas. Mengenakannya cepat, lantas menyambar tas.
Kaki ini melangkah menuju meja makan. Sudah menunggu Moonela si bungsu, dan Rainbow putra sulungku. Sementara Saga sedang sibuk menuangkan bubur ayam dari panci ke mangkok-mangkok kami.
"Lho mana Starina?" tanyaku pada pria yang sudah menjadi imam selama lima belas tahun terakhir ini.
"Biasa, dia kalo dandan lama." Suamiku menyahut datar. Dia lalu duduk dan mulai menyuap sarapannya sendiri.
"Bun, beli sepatu futsal dong! Punyaku udah bulukan. Malu kalo mau dipake," pinta putraku yang tahun ini genap menginjak usia empat belas tahun.
"Bunda lihat sepatumu masih bagus. Gak usah boros begitu!" Aku memerintah pelan. Namun, mata ini menatap tajam siswa kelas delapan SMP itu.
"Udah gak enak dipake. Udah ketinggalan jaman juga," kilah Rainbow tidak putus asa membujuk.
"Tanggungan Bunda itu banyak, Rain," tuturku memberi tahu. "Bayaran sekolah kalian bertiga, uang jajan kalian, cicilan rumah, bayar listrik, air, dan--"
"Nanti kalo ayah sudah punya pekerjaan, ayah akan belikan sepatu yang kamu mau, Rain." Saga menyela omonganku.
Aku sendiri tersenyum miring. "Harga diri dari seorang laki-laki itu adalah pekerjaan. Makanya, Rain, kamu sekolah yang pinter. Nanti cari kerja yang bener, biar anak istrimu tidak kelaparan," ujarku seraya melirik sinis Saga.
Saga menahan napas. Namun, lelaki itu tidak berani bercakap. Karena apa yang baru saja kuucapkan adalah fakta. Berpuluh tahun menikah dirikulah yang menjadi tulang punggung keluarga.
"Biar gak kayak ayah ya, Bun. Pengangguran," timpal Moonela usai menenggak air minumnya.
"Moonel, anak kecil gak boleh ngomong begitu ya!" larang Saga dengan telunjuk yang bergerak-gerak di depan wajah putri bungsu kami.
"Tapi kan kata Bunda, ayah gak pernah bekerja. Pengangguran," eyel bocah berambut panjang itu.
"Starina! Sudah siang ini ... mau kamu ayah tinggal?!" Sagara mengalihkan topik dengan memanggil putri kedua kami.
Starina, remaja putri yang tahun ini tahun genap berusia tiga belas tahun tergopoh-gopoh mendekati meja kami. Usianya hanya selisih satu tahun dari abangnya. Masih teringat jelas dulu betapa reportnya saat Rainbow dan Starina masih kecil.
"Bun, kayaknya aku harus ikutan bimbel matematika deh. Soalnya semua temen-temen aku ikut semua," lapor Starina sambil mulai menyantap sarapannya.
Aku menghela napas panjang. Betapa beban ini terasa berat. Aku punya suami, tetapi kehidupan yang dijalani mirip seorang janda. Karena tidak ada sama sekali bantuan dari Saga.
Saga tidak menganggur terus sepanjang pernikahan kami. Namun, dia bekerja semaunya. Tidak pernah serius. Ketika dia merasa tidak cocok dengan gampangnya pria itu akan mengundurkan diri. Saga seakan tidak peduli dengan banyaknya biaya yang kugelontorkan demi bisa membuatnya diterima kerja.
Kami berlima sudah selesai sarapan. Karena kendaraan cuma punya satu terpaksa aku ikut sekalian saat Bantu mengantar anak-anak ke sekolah. Dengan konsekuensi tiba di tempatku bekerja lebih cepat. Tidak mengapa demi alasan menghemat bensin.
Rainbow, Starina, dan Moonela bersekolah di satu sekolah dalam satu yayasan. Sehingga menghemat waktu saat kami mengantarkan mereka. Sebab sekolah mereka tidak terpencar-pencar.
Butuh waktu sekitar setengah jam untuk menuju sekolahnya anak-anak. Namun, padatnya kendaraan membuat jalanan sering dilanda macet. Untuk menyiasati agar tidak terlambat masuk tentu kami berangkat lebih awal.
Anak-anak langsung turun begitu mobil telah sampai di pintu gerbang sekolah. Mereka melambai usai berpamitan pada kami selaku orang tuanya.
"Lain kali jaga mulut kalo di depan anak-anak, Del!" perintah Saga ketika kami melanjutkan perjalanan. Kali ini mobil menuju ke arah tempatku mengadu nasib.
"Memangnya aku ngomong apa?" sinisku dengan bibir mencebik.
Saga mengerling sejenak. Dia menghembus napas panjang. "Moonel sampai menyebutku dengan sebutan pria pengangguran, itu karena dia sering mendengar kamu mengolokku dengan kata-kata itu."
"Terus kamu gak terima mendengarnya?" tukasku dengan menatapnya tajam. "Semua yang aku omongin itu fakta, Ga."
"Ya, tapi jangan di depan anak-anak, Del. Jatuh wibawaku sebagai kepala keluarga," balas Saga terdengar tidak terima.
"Kalo gitu makanya cari kerjaan! Jangan cuma bisanya nyusahin istri saja," sergahku tegas.
"Ini juga lagi nyari." Saga masih membalas. Namun, suaranya sudah terdengar lirih. Pria yang usianya hanya berbeda tiga bulan dariku itu memang takut jika aku sudah membulatkan mata.
Tidak terasa mobil telah memasuki pelataran sebuah salon kecantikan. Sudah sepuluh tahun aku menjadi pemilik tempat tersebut sebagai bos dengan lima orang karyawan. Saga sendiri akan ikut membantu jika tugas-tugas rumah tangganya sudah selesai.
"Jangan telat jemput Moonel! Kasihan dia sering nunggu sendirian di pos satpam," perintahku ketika turun dari mobil.
"Iya," sahut Saga pelan. Lelaki itu melempar senyum tipis pada karyawanku yang tengah mengepel lantai. Setelah itu dirinya memacu mobil kembali ke rumah.
"Tiap hari lihat Bapak Saga kok aku gak pernah bosen lihatnya. Ganteng banget suami Ibu."
Aku menghembus napas. "Ganteng kalo bikin perut lapar ya gak asik, Rin," balasku pada pujian dari salah satu karyawan perempuan.
"Ahhh ... tetap saja bangga punya suami segagah dan seatletis Bapak Saga," timpal Melan. Karyawan lainku yang sedang tengah mengelap meja resepsionis. "Di usia pertengahan tiga puluh, Bapak Saga masih pantes jika mengaku anak kuliahan," imbuhnya dengan berjengit genit.
Aku menggeleng lemah. Tanpa bicara lekas masuk ke ruang kerja sendiri.
Ahhh ... kalian mana tahu betapa menjengkelkannya Saga.
*
Lagi-lagi Saga membuat hatiku muntab. Sudah lebih dari tiga jam aku menunggu kedatangannya untuk menjemput. Salon bahkan sudah tutup dari dua jam yang lalu. Aku di tempat ini sendiri.
Bibirku berdecak gemas karena Saga mematikan ponselnya. Akhirnya karena malam yang mulai merangkak aku pun memutuskan untuk pulang dengan menaiki taksi. Padahal aku sedang berhemat. Karena seminggu lagi cicilan rumah akan jatuh tempo. Sementara uangnya belum terkumpul.
Awas kamu Saga!
Begitu turun dari taksi, kakiku melangkah lebar memasuki rumah.
"Sagaaa!" Di ruang tamu aku berteriak lantang.
Suamiku datang menghampiri dengan menunduk kepala. Lantas tiba-tiba saja dia bersimpuh di kakiku.
"Maafkan aku, Del. Maaf," ucapnya menunduk.
"Apa? Apa lagi kebodohan yang telah kamu perbuat?" cecarku langsung. Aku hapal peringai Saga. Jika dia telah melakukan sesuatu pasti dia langsung meminta maaf.
"Tolong jangan marah dulu," pintanya sambil mendongak. Wajahnya terlihat menghiba. Namun, sudah tidak mempan lagi bagiku.
"Katakaaan!" suruhku geregetan.
"Eum ... aku ... aku kena tipu lagi, Del."
Aku ternganga. Hatiku dirundung takut mendengarnya. Setahun lalu Saga menggunakan uangku untuk investasi bodong. Sehingga tabungan yang akan kugunakan untuk membeli rumah harus raib dibawa pergi oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
"Katakan apa yang telah terjadi?!" titahku lantang.
"Mobil kita ...." Saga menunduk lebih dalam lagi. "Johan ngajak taruhan--"
"Sagaaa!"
Bumi ini terasa berputar-putar. Lima tahun susah payah mencicil, Saga dengan mudahnya menghilangkan mobilku hanya demi sebuah taruhan.
Next
Subcribe ya teman-teman untuk update part terbaru 🙏