Aku dan Sagara tetap melanjutkan pendidikan. Kami pergi ke kampus seperti biasa. Sagara adalah seorang mahasiswa jurusan kesenian.
Seni rupa adalah bidang yang ia tekuni. Pantas saja di rumah banyak sekali lukisan. Aku sendiri adalah mahasiswi jurusan tata rias make up artist.
Keluarga Sagara mempunyai bisnis di bidang binatu. Karena orang tuanya telah tiada, mau tidak mau Saga turun tangan meneruskan usaha tersebut demi kelangsungan hidup. Selain nenek, ada juga aku yang harus dia cukupi.
Kehidupan awal pernikahan kami terasa sangat membosankan. Nenek Sagara juga tampak menyebalkan. Wanita itu sering membuat aku kesal. Sikapnya menunjukkan kebencian. Aneh. Bukankah dia sendiri yang memilihku sebagai menantu untuk cucunya.
Karena itulah aku lebih senang menghabiskan waktu di rumah sendiri. Pulang jika Sagara menjemput.
Walaupun tidak saling mencintai, tetapi kehidupan ranjang kami berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai pria muda hampir tiap malam Sagara meminta jatah. Sehingga di bulan kedua pernikahan aku dinyatakan hamil oleh dokter.
Ayah, Ibu, dan Melati adikku menyambut antusias. Namun, Sagara dan Nenek terlihat biasa saja. Aku sendiri juga tidak bahagia. Karena Sagara asal-asalan menjalankan usaha keluarganya.
Sagara sama sekali tidak bersungguh-sungguh dalam bekerja. Dia berkilah jika itu bukan passion-nya. Alhasil, satu bulan setelah aku melahirkan, usaha laundry keluarga Sagara harus gulung tikar. Lelaki itu ditipu oleh orang yang sangat ia percaya.
Mirisnya lagi, ketika usaha Sagara tengah terpuruk dan dilanda bangkrut, aku kembali hamil. Padahal saat itu putra pertama kami baru berumur empat bulan.
"Makanya KB, jadi gak kebobolan," omel Nenek begitu mengetahui kehamilanku yang kedua. "Katanya gak cinta Saga, tapi kok ya doyan."
Mulutku ternganga mendengar ucapan pedas dari wanita berumur akhir enam puluhan itu.
"Ingat! Saga ini bukan kuda hitam yang harus kamu pacu setiap hari. Kasihan dia," pungkas Nenek sebelum pergi.
Kupandangi kepergian wanita itu dengan hatinya yang gemuruh. Jika dia tidak menyukai aku kenapa ngotot menjodohkan kami?
Kehamilan kedua ini berbeda jauh dengan yang pertama. Jika saat mengandung Rainbow aku tidak mengalami mual, muntah, atau ngidam. Benar-benar santai.
Kehamilan yang sekarang, hari-hariku justru hanya diisi tiduran di ranjang. Lemas sepanjang waktu. Padahal Rainbow juga masih memerlukan pengasuhan. Di usianya yang belum genap lima bulan, bayi itu harus berhenti ASI karena kandungan kedua ini.
Kondisiku kian memburuk dari hari ke hari. Muntah terus tidak ada hentinya. Tidak ada yang bisa dimakan. Akhirnya aku tepar dan dilarikan ke rumah sakit. Rainbow pun dirawat oleh Nenek. Karena Ibu sibuk dengan bisnis cateringnya.
"Menyusahkan sekali," dengkus Nenek saat datang menjenguk. Wanita tua dengan keriput di bawah mata itu membawa makan siang untukku. "Kamu tahu? Saya sampai harus nitipin Rain ke Dewi demi bisa jenguk kamu," ketusnya sambil menyebut nama tetangga kami.
"Harusnya gak perlu bezuk, Nek." Aku mencegah lirih, "kasihan kalo Rainbow sampe ditinggal-tinggal," imbuhku sambil meremas ujung selimut.
"Saya gak mau dicap nenek jahat, karena gak mau kasih makan cucunya," sahutnya tidak kalah sengit.
"Saya dapat jatah makan dari rumah sakit kok, Nek," timpalku cuek.
"Oh ... jadi kamu gak sudi makan makanan yang nenek buat?" tukas Nenek terlihat geram.
Aku terdiam. Nenek mulai memancing. Malaslah berdebat dengan manusia peot yang super judes ini. Aku tidak pernah benar di matanya. Semuanya serba salah dan tidak ada ampun.
Kalau dia begitu membenci aku, kenapa memaksa aku untuk menikahi cucunya? Heran.
Aku dan Nenek saling menutup mulut. Suasana canggung ini kusiasati dengan berpura-pura tidur.
"Ya sudah ... Nenek pulang dulu. Kasihan Rain." Setelah cukup lama kami saling terdiam, wanita berjilbab lebar warna biru itu bangkit dari duduknya. Aku sendiri membuka mata perlahan.
"Jangan lupa makan!" suruh Nenek tetap ketus. Walau begitu ada perhatian hangat yang kurasa.
Tiba-tiba telapak tangan tua itu mengusap pucuk kepalaku perlahan. Cukup lembut. Setelah itu mengayun pergi.
"Nek!" Aku memanggilnya.
Wanita itu menghentikan langkah begitu kupanggil.
"Apa?" Nenek berbalik menghadapku lagi.
"Eum ... Saga ke mana? Sudah dua hari dia gak kelihatan," tanyaku pelan.
Bukan! Bukan aku merindukan dia. Aku hanya mau tahu dia ngapain saja.
"Kenapa? Kamu kangen dia?" Nenek mengejek dengan bibir yang menyeringai miring. "Biasanya juga cuek sama Saga. Cuek, tapi doyan. Anak masih bayi udah dikasih adik saja."
Darahku mendidih mendengar ucapan bernada sinis itu. Andai Nenek bukan wanita tua sudah kutampar mulutnya. Enteng sekali dia bercakap demikian. Dia pikir aku sangat tergila-gila pada Saga.
"Makanya gak usah manja kalo hamil. Kasihan Saga ... dia lagi banting tulang nyari duit buat bayar biaya perawatan kamu." Nenek berujar datar. Matanya tetap memindaiku dingin. Sementara aku merasa dada ini terasa sakit sekali mendengar ucapan sinisnya. "Ingat! Nenek udah capek-capek masak. Dimakan! Jangan suka berlama-lama di rumah sakit, Kasihan. Saga."
Aku ingin melawan. Namun, nasihat Ibu kembali terngiang.
"Anggap Nenek Saga seperti nenek kandungmu sendiri. Jika dia jutek, abaikan. Dia pantas marah karena telah kehilangan anak, menantu, beserta cucunya karena kecerobohan kamu."
Setiap kali mengingat nasihat Ibu, maka aku tidak bisa berkutik. Akhirnya, aku memilih diam dan membuang muka.
"Mana pakaian kotormu? Biar nanti dicuci Saga?" tanya Nenek mulai melunak.
Bibirku masih malas untuk membalas.
"Mana Delima? Ini nenek takut Rain rewel lho," desak Nenek kembali terlihat kesal.
Lagi-lagi aku tidak bisa melawan. "Ada di plastik hitam laci bawah," jawabku lirih.
Nenek langsung membuka laci bawah. Mengambil plastik hitam yang kumaksud.
"Delima ...." Tiba-tiba Nenek memanggilku lirih.
"Ya." Aku yang masih kesal menyahut dengan malas. Aku bahkan dibuat terkejut saat tiba-tiba perempuan itu menggenggam tanganku.
"Apa pun yang terjadi, tolong jangan suka marahin Saga. Apalagi sampai meninggalkan dia," pinta Nenek kemudian, "dia masih terlampau muda untuk menjadi seorang suami dan ayah. Wajar kalo Saga belum bisa mencukupi semua kebutuhan kamu," tuturnya tenang serta tatapan yang sulit kuartikan.
"Dan ingat!" Tatapan Nenek kembali tegas, "kamulah penyebab Saga menjadi yatim piatu di dunia ini."
Jleb!
Kata-kata barusan bagaikan senjata berkarat yang menusuk jantung. Sakitnya betul-betul menyakitkan.
Siapnya wanita itu melenggang pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan tanggapanku.
"Arghhh!" Aku mendengkus sebal begitu wanita itu menghilang di balik pintu.
Next
Klik tombol subscribe ya untuk update part terbaru 🙏
Login untuk melihat komentar!