"Tuan! Apa yang Anda lakukan? Tuan, hentikan!" Puspita berseru panik dan berusaha menghalangiku.
Wanita itu berdiri di depan lemari kayu sederhana di mana semua pakaiannya tersimpan rapi selama tiga bulan ini. Matanya memicing, menatapku tak mengerti.
Aku menatapnya sekilas, lalu menggeser tubuh Puspita dan kembali menyambar secara asal pakaian-pakaian itu. Beberapa sempat terjatuh, lalu kuambil dan memasukkannya ke dalam kantong plastik sampah yang kupegang.
"Tuan," desisnya antara marah dan sedih. "Apa Anda sedang marah? Apa aku melakukan kesalahan? Jangan buang pakaianku."
Aku menegakkan tubuh, kemudian menatapnya dengan sorot teduh. "Aku tidak marah, Puspita."
Dia menatapku tak mengerti.
Aku mengikat ujung plastik sampah, berlalu keluar kamar sambil memberi gelengan kepala agar Puspita mengikuti.
Wanita itu hanya diam memperhatikan saat aku memasukkan plastik itu ke tempat sampah, lalu mengikuti di belakang saat aku kembali berjalan.
Kami menuju ke sebuah kamar di lantai atas, tepat di sebelah kamar yang kutiduri.
Pintu itu terbuka. Kamar yang selama ini selalu kosong tetapi kuperintahkan Puspita untuk selalu membersihkannya. Di mana terdapat segala perlengkapan wanita.
Seharusnya kamar ini menjadi kamar utama. Di mana aku dan istriku tidur dan menikmati waktu hingga menua. Tapi ternyata, takdirku tak semenyenangkan itu.
Aku melangkah menuju jendela lalu menyibakkan tirainya. Cahaya matahari pagi seketika menerobos masuk, menciptakan siluet-siluet di beberapa sisi.
Aku membuka pintu balkon yang telah lama terkunci. Menikmati embusan angin segar yang seketika membelai wajah. Lalu kembali masuk dan meraih sesuatu dari atas nakas.
Benda bulat dengan titik merah kecil di bagian depan itu mengeluarkan bunyi 'tiit' saat aku menekan tombolnya.
Terdengar suara benda berat bergeser pelan. Puspita terhenyak, kepalanya berputar mencari asal suara kemudian mengikutiku mendongak ke arah langit-langit kamar.
Mulutnya menganga.
Plafon berukir dengan lampu gantung mungil berhiaskan warna gold itu bergeser menepi. Menyingkir dari langit-langit kamar hingga kini yang terlihat adalah birunya langit di atas sana.
Puspita sedikit menyipit karena cahaya matahari yang langsung menghujani kamar. Tapi wajah itu tak bisa menutupi rasa takjub yang ia rasakan.
Aku kembali menekan tombol hingga plafon kembali tergeser. Lalu merapat hingga kamar sepenuhnya terlindung lagi.
Aku menatap wajah Puspita, lalu menaruh benda itu kembali ke nakas.
"Mulai sekarang kau tidur di sini. Pakai semua barang-barang ini. Sesukamu," ucapku datar.
Sepasang mata Puspita melebar. Detik kemudian dia menggelengkan kepala.
"Tapi saya tidak mau memakai barang-barang Nyonya Khaisar," tolaknya.
"Nyonya Khaisar siapa?!" rutukku.
"Jadi ini?"
Dia menatap sekeliling. Memastikan bahwa yang dilihatnya memang benar semua perlengkapan wanita.
"Apa ... ini hasil dari barang-barang semua wanita yang pernah berkencan dengan Anda dan tertinggal di sini?"
"Puspita," dengkusku. "Barang-barang ini dulu memang kusiapkan untuk istriku tapi dia tak pernah datang. Jadi pakai saja."
Dia menggeleng.
"Tidak, Tuan, saya tidak ingin berhutang lebih banyak lagi," tolaknya.
"Aku memerintahkanmu untuk setuju," sahutku.
"Tapi ...."
Aku akan melangkah keluar.
"Untuk apa semua kebaikan ini, Tuan?"
Langkahku terhenti, lalu menoleh ke arahnya hingga kami bertatapan.
"Untuk menyenangkan hatiku."
Aku melangkah keluar.
Cara paling masuk akal untuk mendapatkan kebahagiaan saat bertepuk sebelah tangan, hanyalah dengan berusaha menyenangkan hati orang yang dicintai.
Karena mereka tak mungkin memberi perhatian, tak mungkin membalas pelukan atau ciuman. Jadi satu-satunya cara agar hatiku bahagia hanyalah dengan memberinya kebahagiaan.
Di depan pintu aku sempat menoleh dan menangkap senyum lebar Puspita. Wanita itu sedang sibuk memandang sekeliling kamar.
Ya, seperti ini.
Saat tercipta senyum itu, maka bahagia juga hatiku.
***
Aku tak pernah menyentuh Puspita lagi. Hanya sekadar mengamati. Lalu memberi kenyamanan bahkan mungkin tanpa ia sadari.
Sialnya, apa yang menyamankannya justru membuatku ... entah. Saat terbiasa menikmati harum tubuh dan kehangatannya, lalu dipaksa berhenti.
Pagi.
Dingin masih menyelimuti tubuh hingga terasa menggigil di dalam sini. Begitu juga dengan denyut di kepala.
Setelah memijat kening untuk beberapa saat, aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Sementara suara musik yang kuputar semalam masih memenuhi ruangan.
Sebuah lagu yang selalu kudengar berulang-ulang. Setiap kali kerinduan menghunjam jantungku begitu dalam.
Sedikit terhuyung, aku melangkah menuju kamar mandi.
***
Aku duduk di kursi seperti biasa. Memakan sarapan dengan gigi sedikit bergemeletuk, lalu buru-buru menyambar gelas air putih yang dia siapkan.
Beberapa kali Puspita menoleh. Wajahnya menunjukkan ekspresi entah. Mungkin sedih? Mungkin kesal? Atau mungkin ... khawatir?
Sendok berdenting saat beradu dengan piring. Aku menggeser kursi sambil melirik arloji.
"Tuan, Anda akan pergi keluar?" Tiba-tiba terdengar suaranya.
Aku menoleh. Tatapan kami bertemu, hal yang sangat jarang terjadi ketika wanita itu mau membalas tatapanku.
"Ya. Kenapa?"
"Tapi ... Anda kelihatannya sedang tidak baik-baik saja," ucapnya ragu.
Aku mengangkat alis. Meremehkan analisisnya.
"Sebaiknya ... istirahat saja." Dia menyambung ucapan.
"Apa aku meminta pendapatmu?" tanyaku datar.
Puspita tak menjawab. Dia berbalik dan kembali menyibukkan diri dengan meja dapur.
Aku bangkit berdiri. Lalu dengan santai berlalu dari hadapannya. Tapi kemudian mengerjap, saat tiba-tiba saja menyadari lenganku sudah dipegangi oleh Puspita.
Apa tadi aku baru saja terhuyung?
"Tuan," ucapnya.
"Sudah, aku baik-baik saja." Aku melepaskan cekalan tangannya.
"Tapi Anda tidak sedang baik-baik saja," sahutnya.
Aku mengangkat alis. "Siapa kau? Dokter?" ejekku.
Dia terdiam. Lalu tanpa mengucapkan apa pun, wanita itu melangkah pergi.
Aku menggelengkan kepala sambil berdecak pelan. Menit kemudian mobil meluncur menuju salah satu keluar.
***
Aku harus pergi. Ya, aku memang harus pergi. Secara bergiliran aku akan mendatangi perusahaan-perusahaan itu. Menyimak bagaimana kerja mereka, bagaimana kondisi perusahaan, untuk memastikan sahamku berkembang sempurna.
Ruang meeting terasa begitu dingin hari ini. Hingga tanpa sadar, tanda tangan kulakukan dengan jemari gemetar.
Masih kulihat bagaimana sang sekretaris, menatap dengan tatapan penuh tanya. Aku ingin mengatakan, bahwa tak ada yang harus dikhawatirkan, tapi kemudian bayangannya memudar berganti dengan kegelapan.
Aku pingsan.
***
Mataku terbuka. Ternyata sudah terbaring di dalam kamar sendiri. Hening. Sementara sesuatu yang basah menempel di dahi.
Aku menoleh. Terlihat Puspita sedang berdiri memunggungi. Ia tampak sibuk memeras handuk kecil di atas baskom berisi air.
Wanita itu berbalik.Tatapan kami bertemu.
"Sudah saya katakan sebaiknya jangan pergi bekerja," gumamnya dalam nada sedikit jengkel.
Aku masih diam mengamati setiap detail gerakan wanita itu.
"Tadi dokter itu bilang, Anda terserang demam karena ada hal yang sangat Anda pikirkan."
Aku mengalihkan pandangan.
"Kenapa tidak mau mengakui bahwa Anda memang sedang sakit, Tuan?" tanyanya.
"Karena aku memang tidak sakit, Puspita."
Aku bangun sambil melemparkan handuk kecil di atas dahi dengan asal.
Puspita menatapku kaget, tapi gerakannya menghindar begitu lambat. Dalam satu detik, ia telah terjebak dalam cengkeraman.
"Tuan!" protesnya.
Dia mendorong tubuhku menjauh. Tapi aku sengaja menarik tubuhnya hingga kami terjatuh di ranjang dengan posisi begitu dekat.
Puspita berusaha menahan tubuhnya sendiri agar tidak menimpaku.
Aku tersenyum sambil menatap matanya intens.
"Kau tahu bagaimana biasanya aku menyembuhkan diri saat terkena demam?"
Dia menatapku dengan pandangan tidak tahu sambil berusaha membebaskan diri dari rengkuhan.
"Dengan keringat bercinta."
Matanya melebar, lalu segera menarik diri setelah sempat mengempaskan telapak tangan di pipiku. Hampir saja ia menjauh jika aku tidak segera memeluk pinggangnya erat.
"Tuan."
Puspita berusaha melepaskan diri. Tapi aku menahan hingga ia tak mampu bergerak lagi.
"Tuan!"
Aku memejamkan mata.
"Lepaskan aku."
"Diamlah, Puspita." Aku mendongak. Menunjukkan ekspresi yang mungkin belum pernah kuperlihatkan sebelumnya. "Aku sedang sakit."
Puspita terdiam. Tatapan kami kembali bertemu.
Aku kembali menyandarkan kepala ke perutnya. Menikmati aroma tubuh, yang membuatku merasa sedang pulang.
Lama, Puspita berdiri kaku. Kemudian perlahan, kurasakan punggung tangannya menempel di dahiku, lalu telapak tangan itu berpindah menyentuh lembut punggungku.
Aku memejamkan mata meresapi sentuhan itu.
Luruhlah semua.
Isi hatiku.
***