"Bunda, Ayah sibuk, nih! Tolong ajak anak-anak main di luar."
Jordan melepaskan tangan mungil Paris dan Blitar yang menggelendotinya, dua balita itu ingin mengajak ayahnya bercanda.
Paris dan Blitar tetap merajuk, berharap dengan wajah penuh permohonan, tetap Jordan menolak, ia terlihat sangat sibuk.
"Ayah ... ayoo main kuda-kudaan," seru si Sulung. Adiknya, menarik tangan Jordan, memaksa.
"Bunda!" Kali ini volume suara Jordan meninggi. Hasrat bermain dengan sang Ayah kandas.
Kakak beradik itu dengan paksa dibuatnya menjauh, didudukan di sofa. Dua pasang mata memandang dengan kesedihan yang dalam, Paris dan Blitar pun berangkulan, saling menguatkan.
Silvia yang tengah memasak di dapur segera mematikan kompor dan menuju ruang tamu. Dilihatnya, Paris dan Blitar menangis. Jordan tak menoleh. Tangannya sibuk mengetik di depan benda pipih 14 inci itu.
"Ada apa, Ayah?" Dahi Silvia mengerut. Tatapan matanya penuh kekesalan. Ini sudah sekian kalinya, Jordan membawa pekerjaan ke rumah dan enggan bermain dengan dua buah hatinya.
"Yuk, Nak! Dengan Bunda saja, Ayah sedang sibuk. Nanti jika sudah selesai bekerja, Ayah akan main dengan Kaka dan Dede, ya!" Hibur perempuan berdarah campuran Indonesia dan Hong Kong itu.
Karena lelah menangis. Keduanya akhirnya tertidur. Jordan tetap tak menoleh. Layar yang bergambar desain bangunan itu mengalahkan tangisan anaknya.
Perempuan muda itu, tak pernah marah. Sejak awal menikah, tak banyak komentar atau pun menuntut. Kali ini, Ia akan mencoba, berbicara dari hati ke hati dengan suami tercinta. Rasa kesalnya, dibuang jauh hingga melewati galaksi Bima Sakti.
Segelas teh hangat dan pisang goreng kremes kesukaan suami dihidangkan. Aromanya membuat lelaki yang sejak tadi merasa dunia miliknya, sendiri berkutat dengan pemikirannya. Menoleh, tersenyum.
"Thanks ya, Bund." Sejenak Jordan menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Anak-anak tidur, Bund?" tanyanya sembari menoleh kanan dan kiri. Baru sadar ruangan itu sunyi.
"Hmm ... iya. Mereka kecewa dengan mu,Yah! Setiap akhir pekan, adalah hari yang mereka nanti. Ingin bermain denganmu."
Jordan terdiam. Pisang goreng kremes yang dimakannya tak lagi terdengar suara. kriuk kriuk.
Disuguhkannya secangkir teh beraroma melati. Lelakinya meminum seteguk demi teguk, hingga terlihat jakunnya perlahan naik-turun.
"Ayah ..." Tangan lembut perempuan berwajah oriental itu memegang bahunya.
"Bunda, tak melarang Ayah membawa pekerjaan ke rumah. Tapi, lakukan di waktu yang tepat!"
"Deadline Bund, besok!"
"Iya. Bunda paham. Kan bisa dikerjakan saat anak-anak tidur, Sayang. Allah memberikan kita dua amanah itu, karena percaya, kita bisa menjaganya. Apakah Ayah siap, Jika amanah itu diambil kembali?"
Jordan mengarahkan kursor ke arah aksara yang akan memberinya intruksi untuk berhenti. Layarpun hitam.
"Ahh. Bund, jangan bicara begitu." Dipegangnya kening, lalu iapun mengambil napas yang dalam. Beristighfar.
"Sayang, pekerjaan bisa ditunda. Namun, kasih sayang dan perhatian tak bisa ditawar."
Jordan terdiam. Ia memcoba mencerna satu-persatu kalimat yang istrinya ucapkan.
Dengan senyum sempurna dipandangnya sang istri. Wajahnya yang polos tanpa sentuhan make up, tetap terlihat cantik. Ia bahagia tak salah pilih. Benar, Kecerdasan anak itu sebagian besar menurun dari ibunya.
Silvia melanjutkan bicaranya. Ilmu psikologi yang ia pelajari di kampus dulu, benar-benar di terapkan. Ya, perempuan berdaster yang cerdas.
"Ayah sayang .... gelar kehormatan bagi kaum laki-laki adalah dengan mendapat sebutan Ayah. Ayah adalah bahasa cinta yang kosakatanya berbeda. Ayah adalah mata air cinta yang narasi kemasannya berbeda. Ayah mempunyai cara sendiri dalam mencintai anaknya. Ayah tak pernah memberitahu bagaimana cara hidup. Namun, ia membiarkan kita melihat bagaimana dia melakukannya."
Jordan bergeming, sebuah embusan lembut keluar dari bibirnya. Ada penyesalan atas apa yang baru saja ia lakukan terhadap dua buah hatinya.
Silvia meneruskan bicaranya. "Seorang Ayah, tak selalu punya ungkapan untuk mengapresiasi kita. Terkadang terasa cool. Sosok itu terkadang sulit mengungkapkan perasaannya bahkan pada anaknya sendiri. Apakah Ayah miskin cinta? Sekali lagi tidak. Ayah punya cara khusus mencintai anaknya."
Segelas teh manis hangat telah habis. Jordan mulai berubah posisi duduk. Disandarkan kepalanya di pangkuan Silvia, manja.
"Lanjut, Bun. Ayah dahulu merasakan seperti yang bunda katakan. Saat ini, ketika menjadi Ayah, tetap saja belum paham maknanya."
"Kita sama-sama belajar ya, Sayang," jawab Silvia.
"Tidak ada Ayah kota, Hari Ayah. Ya, kan?"
"Maaf, Bun, di negara lain ada juga yang memiliki hari Ayah," Sanggah Jordan.
"Ohh ... Bunda baru tahu. Terimakasih, Yah, sudah diingatkan."
"Lanjut Bund!"
Sesekali jemarinya membelai rambut Silvia yang menjuntai, terkadang jatuh di wajah suaminya.
"Sayang, tidak ada Ayah Pertiwi kan? "Tak ada Abi Quro adanya Ummul Qoro. Namun, Alqur'an banyak sekali bercerita tentang kaum Ayah dan pendidikannya. Ayah memang tak bisa terlepas perannya dalam mendidik anaknya. Lalu, menurut Ayah adakah Ayah jari?"
Jordan menggeleng.
"Ada, Sayang."
Silvi menyentuh Ibu jari suaminya yang sesekali memejamkan mata. Efek begadang, baru terasa.
"Jika ibu jari adalah jempol kita, maka kelingking adalah ayahnya. Sedangkan telunjuk, jari manis dan jari tengah adalah anak-anaknya. Coba, Ayah sentuh anak-anak jari tersebut ke kelingking.
Sulit bukan? Berbeda jika menyentuh jempol, mudahnyaaa."
"Oh iya. Bund, lebih mudah ke Ibu jari dari pada ke kelingking."
"Ya, secara fitrah anak memang dekat dengan ibunya. Sejak dalam kandungan. Bahkan saat lahirpun membekas pada pusar kita, sehinhhaga kita ingat melalui plasenta ibulah Allah berikan rizqi. Lalu Ayah? Baimana bisa dekat dan mudah menjangkau anak-anaknya? DI tengah rutinitas dan kesibukan super? Ayoo! Jawab Ayah."
Jordan menyatukan jempol dan kelingking.
"Bun, mudah eui!" Senam otak yang diberikan istrinya, membuat jordan kembali membuka lebar matanya.
"Nah, sekarang mudah, kan. Anak-anak jari dekat dengan ayah jari? Jadi, kita terus bekerjasama dalam membesarkan dan mendidik anak-anak. Sayang, jadilah Ayah yang dirindukan. Sosok yang akan terus anak-anak kenang dengan kebaikan. Hingga saat senja nanti, apa yang kita tanam, itulah yang dipetik. Suatu saat, Ayah akan berhenti bekerja. Namun, tak kan pernah berhenti jadi orang tua. Benar Ayah memenangkan tender ratusan juta, bahkan mungkin milyaran. Tapi Ayah belum berhasil memenangkan tender bersama dua buah hati kita. Ayah selalu kalah."
"Thanks alot, Bund. Ya, Ayah akan mencoba jadi Ayah yang dirindukan."
Perlahan, lelaki bertubuh atletis berkaos oblong dengan celana pendek itu menghampiri kedua anaknya yang masih tertidur pulas. Mencium pipinya satu persatu.
"Maafkan Ayah Nak, nanti sore kita main bersama."
Silvia memandang dengan penuh rasa cinta. Dikalungkan kedua tangannya pada lelaki yang telah digariskan Tuhannya, menjadi peneguhnya.
"Bund, Ayah ngak boleh egois, Ya. Kita kan bekerja sama membuat mereka. Jadi ... Ayah, harus bertanggung jawab seutuhnya. Bukan hanya cari uang saja."
"Ya, Ampun Ayah ... adonan kali dibuat!"
"Yuk, sekarang bantu Bunda."
"Ngapain, Bund?"
"Angkat jemuran, mau hujan!"
Ternyata, hujan datang lebih cepat dari lari kedua pasangan itu.
Byurrrr .... Basah semua.
Disatukannya jari jempol dan kelingking. Kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri. Pinggangnya mengikuti irama.
"Terlanjur basah ... ya sudah mandi sekali."
"Ayaaaaah!" Ayoo cepat ... kok malah joget!"
"Abis ini, mandi, Yah!" tegas sang istri.
"Iya ... dimandiin Bunda!"
Sebuah handuk dilingkarkan di pundak Jordan.
"Udah gede, mandi sendiri!"
Silvia berlalu menuju kamar mandi di kamar tamu. Sementara Jordan kembali main hujan-hujanan.
Yah. Terkadang seorang Ayah juga bisa berlaku seperti balita.
Balita yang menggemaskan.😁
SELAMAT HARI AYAH