Aku Tak Pernah Sendiri


    Tak ada satupun makhluk di muka bumi, mampu luput dari setiap skenario yang Allah buat. Begitupun aku.  Ujian kesabaran dan keikhlasan selalu datang tak henti.

Bukan sabar namanya jika terlintas keluh dan kesah. Namun, aku hanyalah sosok perempuan biasa, yang mencoba melewati setiap fase ujian, dengan sebuah keyakinan dan harapan yang terkadang dalam kepasrahan, terlintas sebuah keputusasaan. 

Perlahan kucoba menyatukan kepingan asa, hingga akhirnya pertolongan Allah datang, dari arah yang tak terduga layaknya seberkas cahaya yang datang setelah gelap. Ya, Allah tak pernah mengingkari janji-Nya. Setelah kesulitan, pasti ada kemudahan. 

Kupercaya mampu melewati semua deru dan debu kehidupan, karena diri ini tak sendiri. Ada kekuatan cinta dan kasih sayang dari keluarga dan lingkunga.

Ya, aku tak pernah sendiri. Ada Allah dan permata cinta yang bertebaran di hati mereka.

Berbekal kekuatan dan sebuah harapan. Kusiap menuju kota Jakarta, bukan untuk berlibur, tetapi menjalankan sebuah skenario indah lainnya.

Aku telah siap kehilangan sebuah bagian penting dari hidupku, sebagaimana keiklasanku telah diuji, saat Sang Robbul Izzati mengambil suamiku, sedangkan sebuah janin empat bulan sudah tumbuh berkembang dalam rahimku. 

Akan kutukar bagian berharga itu dengan asa baru, agar kudapat melewati masa lebih panjang, bersama putriku yang telah terlahir dalam kondisi yatim.

🍃🍃

    Namaku Mutiara Azzahra. Anak kedua dari tiga bersaudara yang terlahir dari keluarga sederhana di kota Demak. 

Tak pernah membayangkan sebelumnya, jika roda kehidupan yang kulewati menempuh sebuah perjalanan yang penuh rintangan dan halangan.

Awalnya, aku bekerja di sebuah perusahaan kayu dan mebel. Hingga suatu ketika, tiba-tiba sakit dan jatuh pingsan.Tak ada pikiran macam-macam, aku hanya merasa seperti masuk angin biasa. Namun, tak disangka, dokter melihat ada hal yang tak wajar pada payudaraku. Benar saja, di sebelah kanannya terdapat benjolan sebesar telur puyuh dan harus segera dioperasi.

Tentu saja hal itu menjadi beban pikiran keluarga. Terbentur dengan masalah ekonomi, orang tua dan saudara-saudaraku tak banyak membantu.

Untuk operasi tentu membutuhkan banyak biaya. Mencoba mencari jalan alternatif pengobatan.

"Bu, sudah. Aku tidak apa-apa. Nanti minum jamu saja, semoga cocok," ucapku menenangkan mereka. 

Dari hari ke hari, tumor payudaraku makin membesar. Sangat tidak nyaman.

"Ya, Robb. Adakah jalan keluar untuk ini? Rasa sakitku sudah hampir tak tertahankan," doaku lirih di sepertiga malam.

Kuambil kain untuk menggendong bagian itu yang semakin membesar, beratnya hampir mencapai tiga kilo.

Setiap hari selama dua tahun, selalu memakai kain, hingga membekas di leher.

"Yang sabar ya, Nak. Semoga segera terkumpul biaya untuk operasi. Maafkan Ibu dan Bapakmu yang tak bisa membantu," isak ibu makin menjadi saat melihat bagaimana sulitnya aku menggendong tumor yang perlahan namun pasti, menyiksaku.

"Nggak apa-apa, Bu. Aku kuat!"

🍃🍃

Dengan kondisi sakit, mustahil ada lelaki yang mau menikah denganku. Padahal usiaku sudah dua puluh tiga tahun. Teman-temanku telah menikah dengan lelaki idaman mereka. Aku?
Ah, tak pernah terpikir. Nomor satu adalah kesembuhanku.

Sungguh hadiah terindah dari Allah. Saat lemah tak berdaya, bahkan bingung untuk bersandar, Allah hadirkan seorang lelaki berhati emas bernama Rangga. Rekan kerja yang sudah tahu akan penyakitku, tetapi tetap ingin menjadi pendamping hidup.

"Tiara ... kuingin menikahimu."

Segera kutolak, tak ingin menjadi beban untuk ia kelak. Tetapi Rangga tak peduli, ia meyakinkan bahwa tak ada penyesalan di kemudian hari.

"Tiara, aku menikahimu karena Allah yang telah menggariskan kita untuk bersama. Bismillah, InsyaAllah ... semua akan baik-baik saja."

Aku pun luluh. 

Benar, Rangga suami yang luar biasa. Bolak-balik mengantarku ke rumah sakit di Salatiga, bahkan sempat dirawat. Rangga selalu memberikan semangat untuk kesembuhanku. 

Sebuah informasi yang kudengar dari dokter, membuat seakan langit  menjadi semakin gelap. Pasrah, ketika dokter mengatakan jika tumor payudaraku ganas dan sudah stadium akhir.

Rangga tak putus asa, terus menguatkan. "Dek, dokter cuma perantara. Allah yang menentukan. Ayoo, jangan menyerah!"

"Mas ...," ucapku lirih hampir tak terdengar, mendekapnya erat seakan itulah saat terakhir bersamanya.

"Menikahlah dengan perempuan lain, aku rela."

"Huss ... ngawur! Aku sayangnya sama kamu. Titik."

Ah, suamiku. Bersyukur Allah mengirimkan ia. Terlebih di usia pernikahan lima bulan, sudah ada benih cinta yang subur di rahimku.

Kala bangkit semangat untuk hidup, kembali Allah tarik satu nikmat itu. Suamiku menjadi korban tabrakan beruntun dan meninggal ketika hendak berangkat kerja.

Sangat sedih dan terpuruk, mengingat bagaimana nasib bayi kami kelak akan lahir sebagai bayi yatim-piatu.

"Astagfirullah ...," ucapku berulang karena berpikiran buruk.

Kubangkit. Yakin, pertolongan Allah akan datang dari doa yang tak putus.

Meskipun dengan dana seadanya, keluarga besar dan lingkunganku terus berupaya untuk mengobatiku. Ya, aku harus sembuh!

Sepanjang masa kehamilan, tumor semakin membesar dan nyaris mencapai perut. Batuk-batuk yang mulai sering muncul sangat menyiksa. Dokter memperkirakan tumor sudah menekan paru-paru dan kemungkinan tak kuat untuk mendorong persalinan normal. Persalinan caesar pun dipersiapkan.

Lagi-lagi pertolongan Allah datang. Sebelum dokter tiba di kamar persalinan, seorang bayi perempuan cantik yang kuberi nama Jamilah, lahir dengan normal.

MasyaAllah ... tak henti syukur terucap.

"Selamat datang, putriku. Ini Ibu. InsyaAllah kita akan membuat banyak kisah." Kukecup bayi merah itu. Bahagia tak hingga.

🍃🍃

Dua minggu setelah Jamilah lahir, sebuah hadiah dari lagit Allah kirimkan. Sebuah organisasi yang bergerak dalam kesehatan dan sosial, akan menanggung seluruh biaya pengobatan.

"Alhamdulilah ... Nak, ada harapan," isak ibu seraya mengusap air matanya.

"Iya, Bu. Allah berikan kesempatan ke dua untuk Tiara."

Operasi akan dilaksanakan di Jakarta. Tentu saja Jamilah, untuk sementara dititipkan dengan kerabat di Demak. 

Bismillah ... aku siap untuk operasi.

🍃🍃

Seperti mimpi, setelah operasi kutemukan sebuah semangat hidup yang baru. Tak peduli meskipun saat ini, payudara kiriku sudah tak ada. Itu bukanlah hal penting saat ini. 

Tekadku, kelak akan bekerja dan membangun masa depan untuk Jamilah dan keluargaku.

Allah telah membuatku kuat dengan meletakkan batu ujian di punggungku. 

Ya, aku telah melewatinya.

-Selesai-



Komentar

Login untuk melihat komentar!