Ya Allah ... anak itu ngegas!
Aku ini suaminya, bagaimana dia bisa bersikap seperti itu?
"Duh, duh. Iya bawel. Bawain dong gamisnya Gus. Masa iya aku mau keluar cuma pake handuk?!"
"Emangnya kenapa? Anti pikir ana akan tertarik dengan penampilan gadis bau kencur yang semuanya kecil?" ucapku kesal.
Merasa kesal terlalu lama menunggu. Walaupun sebenarnya yang ia katakan benar, ia harus memakai pakaian dengan benar di hadapanku.
"Apa?!" Suara gadis itu mendengus di balik pintu kamar mandi.
Mana ada orang yang tahan saat dihina fisiknya.
Tidak sabar, mengambil pakaian Zee agar semua ini segera berakhir.
Mengobrak-abrik ranselnya, sampai aku harus memegang beberapa benda kecil-kecil miliknya.
"His, apa ini? Bra?" Kulempar cepat benda yang membuatku merinding itu.
Setelah menemukan pakaian paling tertutup, segera kuserahkan padanya.
"Bukalah. Ini pakaianmu!"
Pelan gadis tengil itu membuka pintu dengan menyembunyikan dirinya. Duh, dia pikir aku akan menerkamnya.
"Heh, lagian anti sudah halal buat ana. Kalau saja ana mau, hal yang tidak-tidak sudah ana perbuat sebagai pelampiasan kekesalan!" Kusandarkan tubuh ke dinding dengan tangan dilipat di dada.
"Ya, ya. Pangeran! Maafkan rakyat jelatamu ini yang banyak mau karena kesuciannya tak sengaja terenggut!" Ia bicara di sela kesibukannya mengganti pakaian. Terdengar suara kain seperti ditarik-tarik. Ia juga pasti sama kesal.
Dan ... hehh. Dia menyebutku pangeran, tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja meski kenyataannya demikian ia menyebutnya dengan niat mengejek. Itu yang membuatku tak suka.
"Apa? Merenggut kesucianmu? Memangnya apa yang ana perbuat?! Ck." Mengubah posisi menghadap pintu kamar mandi saking kesalnya. "Ah, sudahlah. Cepat keluar. Banyak hal yang harus kita bicarakan!"
"Iya, iya. Bawel." Gadis membuka pintu kamar mandi, tanpa khimar. Wangi shampoo menguar, menggoda naluri. 'Fatih, antum harus tenang!' Perasaanku tak karuan melihat pemandangan itu.
Jujur saja, gadis berkulit bening dan bermanik mata cokelat itu memiliki kecantikan nyaris sempurna, hanya satu kekurangannya. Dia masih labil!
Aku yang masih tak percaya menatap, ditabrak bahuku begitu saja, lalu ia duduk di ranjang dengan bibir mengerucut.
Ya Tuhan sosok manis Syifa yang dewasa harus dibarter dengan anak kemaren sore yang tempramen pula. Hanya bisa mengelus dada, sepertinya ke depan gadis ini harus diruqyah rutin. Mendekat padanya setelah mengambil sesuatu dari atas meja. Kuserahkan surat kontrak yang kubuat tadi. Untunglah aku punya banyak orang dekat yang bisa diandalkan untuk memuluskan semua rencana.
"Baca dan tandatangani ini!"
"Apa ini?"
"Baca saja," jawabku pelan.
Mata cokelat Zee segera menyapu deretan huruf yang tersusun di atas kertas berbubuh materai, tak lama ia melotot. Syok sepertinya. "A-apa ini serius?"
Aku mengangguk, tersenyum miring dengan membuang pandangan ke luar jendela, menatap langit yang mulai berubah menjadi senja.
Dahiku sampai mengerut, terlalu lama menunggu jawaban Zee atas surat kontrak yang kubuat. Bukannya gadis itu sudah mengerti inti dari perjanjian tersebut? Ia bahkan sudah bertanya apa aku serius dengan isi kontraknya.
"Hei, kenapa lama sekali? Anti sedang membaca atau mengkhayal?"
Zee meletakkan surat di sampingnya duduk dengan menumpuk kaki, anak kecil itu membuatku esmosi saja, eh erosi, emosi maksudnya. Ia ingin menunjukan betapa dia gadis elegant di depan lawan bicaranya, bagus juga upayanya menutupi sifat kelabilannya.
"Duduklah!"
Seketika mataku menyipit, lalu menaikkan alis sebelah, gadis itu terlihat sangat tenang, tidak sedikitpun gurat kemarahan atau cemas di wajahnya. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Jika Syifa yang ada di posisinya, pasti gadis itu akan cepat ngambek.
"Gus serius mau pisah sama aku? Kita baru akad, lho. Apa semua orang tidak akan curiga?"
"Duh, Zee ... Zee, kenapa emang? Apa gadis bau kencur seperti antum benar-benar jatuh cinta pada ana?"
"Ohh, please my crazy husband ...." Zee memutar malas bola mata. "Bukan itu masalahnya. Justru karena Gus telah mencium di saat belum halal, seketika buatku ilfeel!"
"Lalu?" Mataku menyipit.
"Kata Abine, setelah akad seorang lelaki wajib memberi nafkah pada istrinya."
"Ya, aku akan lakukan itu karena itu tanggungjawabku."
"Lahir batin?"
"Apa?!" Aku terkejut tak percaya dengan pertanyaan anak tengil di depanku, apa dia ingin aku segera bertanam di ladangnya yang belum subur?
Wajah Zee datar, tak ada rasa bersalah sama sekali karena melontarkan pertanyaan yang harusnya membuat kami canggung.
"Oke, Zee. Dengarkan ana baik-baik. Terus terang untuk yang itu ana belum siap."
"Kenapa? Apa karena Syifa?"
"Em, itu salah satunya." Kenapa aku berbohong seperti ini? Tentu saja tidak ada kaitannya dengan Syifa, sejak akad tadi siang sudah kukubur dalam-dalam nama itu. Apa ini karena jaim?
Ada raut tak suka di wajahnya mendengar jawabanku. Sejak awal dia harusnya tahu pada akhirnya ini adalah masalah bagi hatinya. "Itu kenapa perpisahan ini adalah jalan terbaik."
"Ya, ya." Zee berusaha menyembunyikan rasa tak sukanya sepertinya.
"Nafkah lahir sepenuhnya akan ana kirim. Ana juga akan mengunjungi anti kala ana libur, kita bisa pulang bareng ke rumah orangtua kita. Dan soal nafkah batin itu, benar kewajiban yang harusnya ana penuhi, tapi melihat kondisi hati ana, ditambah anti yang masih bau kencur, ana memutuskan untuk tidak menggauli anti, dan itu akan menjadi halal saat anti sebagai istri ridho." Akjw menjelaskan panjang lebar, berharap ia paham.
"Oh, baiklah."
"Kenapa? Apa anti sudah mau nafkah batin?"
"Oh, nggak-nggak!" Zee melambaikan dua tangannya. "Hiss. Yang benar saja, Gus. Tentu hatiku jauh lebih sakit dari padamu. Memang sebaiknya kita pisah."
"Bagus. Berarti deal untuk ini." Dasar bocah. Bicara sulit dipahami.
"Oke. Ayo kita laksanakan. Tapi ... jawab dulu semua pertanyaanku." Ia kembali mengangkat suara, membuatku menaikkan alis sebelah.
"Oke." Kini aku bersandar di dinding menghadap ke arah di mana Zee duduk, memangnya cuma dia yang bisa bersikap elegant.
"Pertama, saat aku mondok nanti, apakah Gus akan menikah dengan Syifa lagi?"
Aku terdiam, keinginan itu jelas sangat besar, tapi azzamku sudah kuat untuk melupakan gadis bercadar itu. Lalu bagaimana dengan Zee dan keluarganya? Apa mereka setuju dengan semua kontrak gila ini?
"Gus?"
"Ah, ya." Aku tersentak.
"Em, soal itu ... ana tidak tau."
"Berarti ...."
"Sudahlah jangan pikirkan hal yang bahkan anti tidak akan ditanyai diakhirat nanti dengannya. Lagipula memiliki dua istri tidak semudah bayangan gadis labil seperti anti."
"Oh Oke. Setelah aku lulus dan Gus lulus, lalu kita bertemu lagi ... apa Gus bisa menerimaku, em ... em sebagai istri?"
"Kita lihat saja nanti. Semoga penjara suci itu bisa membuat ketengilanmu hilang."
"Apa Gus, bisa mencintaiku suatu saat nanti?"
"Apa?!"
Seseorang mengetuk pintu membuat kami mengalihkan perhatian.
"Ya, sebentar!" Aku berjalan ke arah pintu.
Ustazah yang sedari siang membantu acara, berdiri di depan pintu kamar. Melihat Zee yang mengenakan gamis dengan rambut basah, ustazah itu terkikik.
Menyadari apa yang wanita itu pikirkan, aku jadi salah tingkah sendiri, menggaruk kepala yang sebenarnya tak terasa gatal.
Bahkan pernikahan membuat orang lain salah paham. Ini membuatku geli.
BERSAMBUNG