Kontrak Dalam Pernikahan

Ustazah itu pergi dengan senyum-senyum, ini memalukan. Hanya karena rambut basah pasti adegan ranjang di kepala orang yang melihatnya.

Memandang ke arah gadis itu, rasa kesal kembali muncul. Dia sudah menjatuhkan image-ku sebagai lelaki lembut dan penyabar. Aku ini kan bukan pedofilia, mana mungkin menyentuh badan kecil begitu. 

Kenapa dia tidak mengenakan penutup kepala saja, sih?

"Ada apa, Gus?" Dari tempat duduknya anak kecil itu bertanya polos. Hem, tentu saja dia tidak mengerti pikiran orang lain tentang kami. Namanya juga bocah.

"Sudah, jangan banyak tanya. Cepat tandatangani surat kontrak itu." Semakin cepat semua akan semakin baik.

Gadis itu perlahan menandatangani surat yang terbubuh materei, aku menyeringai, puas hingga terdengar olehnya dan melirik padaku tanpa mengucap apapun. 
"Ya, sudah. Ada yang mencari anti di luar."

Tidak menyahut apa yang kuucapkan, gadis itu melengos, menyambar khimar silver di dekatnya. Ia pergi sambil mengait jarum pentul di bawah dagunya, sudah mahir rupanya gadis labil itu memakai kerudung.

Kuraih kertas di atas ranjang, lega rasanya. Tidak perlu lagi ada tuntutan di kemudian hari.
Berjalan ke almari untuk menyimpan surat tersebut, kakiku tersandung hingga kepala terbentur pintu lemari.
Mengusap kening yang berdenyut, mata ini mencari sumber masalah tersebut. Ketemu, ransel gadis itu masih berserakan. Menarik napas, benar saja tadi kan aku yang membuat isi tasnya berantakan, dan sekarang makin berantakan karena ulahku.

Sebenarnya, lelaki sepertiku, tidak menyukai tempat berantakan, hingga terpaksa kupungut benda-benda kecil yang kulempar asal tadi saat mengambilkan gamisnya. Ini kali pertama aku memegang benda segitiga dengan warna pinkish. Lalu benda berbentuk kacamata ini lagi. Tadinya aku merinding, tapi setelah memperhatikannya dengan jelas aku malah menahan tawa, ini bukannya menggoda tapi membuatku geli. 

Anak sekecil dan seunyu dia harusnya fokus belajar saja.

Melangkah keluar kamar, melihat sekilas dari ekor mata pada tiga gadis yang berbincang di depan sana termasuk Zee. Ketiganya terlihat haru, sesekali terdengar tangisan yang dibuat-buat karena terharu melihat teman mereka menikah. Sungguh berlebihan. 

Rumah sudah sepi dari ustazah ataupun santri abdi dalem, abine bersiap akan ke masjid menunaikan sholat magrib berjamaah.

"Bi, lepas sholat isya Fatih dan Zee ingin menyampaikan sesuatu." Aku berdiri di depan tempat wudhu, persis di depan abine yang baru selesai berdoa setelah wudhu.

"Heem. Ya." Abine mengangguk, meninggalkanku dengan menepuk pundak pemuda itu. Ragu apa abine akan menyetujui kesepakatan yang kami buat. Pria yang hampir sepuh itu mengambil keputusan dengan memikirkannya dalam, lalu memilihnya dengan pemikiran yang mustanir.

***

Di ruang tengah aku, Abine, Zee dan Umi berbincang akrab. Setelah kurasa cukup untuk berbasa-basi, aku pun menyampaikan maksud hatiku.
"Begini, Bi, Mi." Kutatap satu-satu wajah kedua orangtuaku itu.
"Fatih dan Zee sudah memutuskan, akan melanjutkan pendidikan kami."

"Maksudnya?" Abine belem ngeh.

"Fatih akan melanjutkan S2 Fatih di Malaysia. Lalu Zee akan Fatih titipkan di pesantren Ghazali. Teman Fatih di Yaman dulu. Abi tau kan Kiyai Mashur yang terkenal alim dan berwibawa itu?" Aku berusaha bicara dengan tenang, ditenang-tenangkan lebih tepatnya. Agar abine yakin aku mantap dengan keputusan ini.

Saat ini Zee tak bisa berkutik, ia sepertinya masih terlalu segan pada abine dan umi, duduk diantara mereka pun belum terbiasa bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tak pernah.

"Ya."

"Beliau itu abahnya Ghazali."

"Oh, MaasyaAllah. Tapi ... apa kamu sudah memikirkannya dengan matang? Bukannya kamu bilang tidak mau melanjutkan S2 karena sudah waktunya menikah?"
Abine menumpah air dari cerek ke gelas.

"Em, iya Bi. Itu kan sebelum ada kecelakaan dengan gadis remaja labil." Aku menjawab.

Seketika Zee menatap aneh padaku, namun tak  kuhiraukan dan terus saja bicara.

"Fatih, walau bagaimana dia sudah menjadi istrimu. Kadang kala rencana kita bertolak belakang dengan takdir Allah. Legowo dan bersikap baiklah padanya." Seulas senyum Abine lemparkan pada Zee, membuat gadis itu tersipu karena merasa ada yang membelanya.

"Iya, Bi. Ini juga dilegowo-legowoin." Gadis itu menjawab dengan malu-malu.

Jawaban yang membuat orang gemas. Apa coba maksudnya dilegowoin? Harusnya aku yang mengatakan itu. Terpaksa legowo bersanding dengannya.

"Hahaha. Yaya." Abine terkekeh disusul tawa umi, meski awalnya berat akhirnya wanita yang melahirkanku 24 tahun lalu itu merelakan anaknya menikah dengan gadis yang sama sekali tak dikenal sebelumnya. Gadis labil yang jelas-jelas jauh sekali dari Syifa, mantu idaman setiap orang tua.

"Ya, baiklah. Jika ini yang terbaik. Tengoklah sering-sering Zee. Walau bagaimana kamu punya kewajiban padanya," ucap abine, dadaku serasa tertohok, mendengar kata 'kewajiban' dan kewajiban itu bukan hanya lahir, tapi batin juga. Batin lagi? Huft. Batinku sangat tertekan.

"Nggeh, Bi."

"Lalu apa Zee setuju dengan semua ini?"
Umi bertanya, wanita berhati lembut itu mengerti perasaan seorang perempuan. Tidak mungkin jika Zee tidak masuk daftar santri yang mengidolakanku di pesantren ini. Setelah pernikahan tentu ada banyak harap baginya padaku.
Rasa tak sukanya, tidak membuatnya bersikap zdolim pada Zee dan terus berusaha bersikap baik pada menantunya itu.

"Saya?" Lagi-lagi gadis itu tersipu, ditanya bagaimana pendapatnya tentang ini.
"Em, saya setuju sajalah. Hehe. Lagipula saya harus nurut sama orang dewasa."

"Hehehe. Ya, ya. Kamu terlalu rendah hati, Nduk. Dewasa itu bukan dilihat dari umur, tapi bagaimana dia bersikap."
Entah apa maksud abine ini? Apa menurutnya sikapku ini kekanak-kanakan?

"Njeh, Bi." Zee mengangguk.

Ketukan pintu dan ucapan salam dari depan menghentikan sejenak perbincangan keluarga itu. Sebegai seseorang yang merasa paling punya tanggung jawab di antara mereka, aku berdiri dan segera melihatnya.

Aku sedikit terkejut dengan kehadiaran ustaz Harun dengan dua orang wanita di sampingnya. Gadis bercadar itu pasti anaknya, Syifa. Ada sedikit desir yang menjalar di dada, namun segera kutepis dan mengalihkan pandang dari nya agar setan berhenti menggoda.

Saat tamu memasuki ruang di mana Zee, abine dan umi berada, kulihat istri mudaku terlihat heran melihat kedatangan mereka. Mungkin perasaan tak enak dan firasat buruk, Syifa datang bersama kedua orangtuanya. Aku pun sama merasakannya.

'Apa tujuan mereka di malam pertama pernikahan kami?' 

Gadis yang telah kuhalalkan tadi siang itu menatap tidak percaya, satu sisi ia tahu bahwa Syifa sebelumnya adalah calonku. Kali ini hatinya pasti dipenuhi kecemasan dan sederet pertanyaan yang membuatnya sedih sendiri. Ah, kenapa aku jadi peduli apa yang ia rasakan? Bukannya dia hanya gadis labil, yang mengatakan ilfeel padaku karena telah ceroboh dan menciumnya.
Hallo, Fatih ... benarkah itu yang antum yakini? Sebagai lelaki bertanggung jawab karena Allah, harusnya aku menjaga hati gadis itu dan mengesampingkan ego sesaat.

Melihat keadaan yang semakin tidak mengenakkan kutarik paksa tangan Zee, awalnya ia menolak. Bahkan dari matanya aku bisa membaca la tengah memohon agar diizinkan tetap di tempat itu. Tapi tidak, kelabilannya akan membuat masalah semakin runyam di tengah pembicaraan orang-orang dewasa itu.

Tidak peduli saat gadis labil itu menggedor-gedor pintu kamar. Kelabilannya sangat akut, tidak wajar seperti gadis pada umumnya, lalu bagaimana bisa dia berpikir ingin berada di tengah kami membicarakan urusan besar yang bahkan bisa menghantam jiwa kekanak-kanakannya.

Setelah berhasil menguncinya di kamar, aku pun kembali bergabung. Syifa terus saja melihat padaku, sepertinya ia masih menginginkan pernikahan kami tetap digelar, dan benar saja.
"Em, begini Gus Fatih. Kami sudah membicarakannya dengan berbagai pertimbangan. Em, anak kami ... maksud saya Syifa, meminta kami agar menyampaikan keinginannya untuk tetap menikah dengan Gus, walaupun jadi istri kedua." Ucapan Ustaz Harun terdengar hati-hati.

Meski tidak memandangnya secara langsung, kulihat gadis bercadar itu kini menunduk dalam. Kenapa hati ini teremas melihatnya demikian? Nyeri.

Abine diam, begitu juga umi. Keduanya hanya memberi isyarat anggukan, yang kupahami segala keputusan ada di tanganku.

Kutarik napas dalam-dalam, ini bukan keputusan mudah. Menolak Syifa secara tegas hanya melukainya lebih dalam dari sebelumnya yang kulakukan atas pembatalan pernikahan dengannya. Namun, menerimanya dengan kondisi Zee baru saja kunikahi meski dengan terpaksa akan menjadi kedzaliman berlipat ganda, melihat kondisi psikis gadis itu yang jauh dari kata stabil.

Akhirnya, kuterima permintaan mereka dengan syarat sampai aku benar-benar siap, dan Syifa bersabar menunggu. Namun, jika akhirnya gadis bercadar itu memilih menyerah, kurelakan pinangan ini secara otomatis batal.

BERSAMBUNG


Komentar

Login untuk melihat komentar!