"Pada akhirnya apa yang Allah takdirkan pasti terjadi, berhenti memikirkan sesuatu yang gagal diraih dengan sesal dan kesedihan, itulah pilihan kami kali ini."
❤❤❤
"What? Menikah tanpa sentuhan fisik? Bullshit kayaknya ya? Walakin, pernikahan ini adalah sebuah kecelakaan dan musibah ...."
***
Tak sengaja netra ini bersitatap dengan gadis itu, entah ada isyarat yang tak kumengerti. Benarkah ia memanipulasi keadaan karena ingin merebutku dari Syifa. His, mikir apa sih, aku?
Sekarang bukan waktu yang tepat berprasangka. Bukankah Zee jatuh juga karena ulahku sendiri yang usil membuka buku diary, benda pribadi yang seharusnya tidak dibuka tanpa izin pemiliknya.
Ini adalah takdir, itulah yang sebenarnya. Bahkan sedetik kemudian akad akan dilaksanakan, jika Allah berkehendak dalam sekejap akad itu akan batal.
Jujur, meski tidak ada bunga-bunga cinta dalam ritual sakral ini, ada desiran-desiran halus dalam hati. Debaran-debaran aneh, hanya bedanya aku tak terlalu bergairah melalui ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Kazzea Angesti binti Zeanudin dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai."
Mengucap akad dalam sekali napas bahkan tidak mengalami kesulitan setelah nama yang berkali-kali dilafal diganti -Syifa menjadi Kazzea- adalah bukti tidak ada getar-getar cinta yang melahirkan kegugupan untuknya.
Aku tidak berani melihat pada Syifa, gadis bercadar itu pasti tengah berderai airmata, sesal dan entah apa lagi yang cocok kuungkapkan. 'Maafkan aku Syifa!'
Pernikahanku dengan Zee tentu terlampau menyakitkan baginya, hal yang sama kurasa.
Wajah mempelai wanita terlihat datar, seolah tak ada reaksi bahkan hanya sekedar senyuman.
Apa dia juga tidak menghendaki pernikahan ini? Tapi kenapa ia enggan membatalkannya?
"Sah?!" tanya penghulu.
"Sah!" jawab semua orang dalam ruangan berukuran 10x15 yang dihiasi dekor sederhana seperti pernikahan pada umumnya.
Pada akhirnya apa yang Allah takdirkan pasti terjadi, berhenti memikirkan sesuatu yang gagal diraih dengan sesal dan kesedihan, itulah pilihan kami kali ini.
***
Usai akad, kakiku masih enggan melangkah ke kamar. Sengaja berlama-lama mengobrol dengan tamu. Ini bukanlah pernikahan yang diinginkan, melainkan pernikahan terpaksa yang harus kujalani dalam waktu dekat, karenanya kami sepakat hanya mengadakan akad sederhana tanpa resepsi dan hanya mengundang orang-orang dekat saja.
"Sampun Gus, jangan kelamaan di sini. Itu loh, kasian kalau dianggurkan." Kang Danu meletakkan gelas setelah meminum isinya.Yang lain -santri-santri senior yang berkumpul membantu- menimpali dengan cengengesan. Ck. Apa mereka tidak takut kualat? Aku ini juga ustaz mereka.
Tidak menjawab, aku justru sibuk mencari ponsel di seluruh kantong gamis dan celana.
Bahkan aku tidak sempat mengabari sohibku Ghazali, dan baru ingat sekarang saat perlu bantuannya. Kesannya datang pas ada perlu saja.
[Assalamualaikum, Khi.]
[Waalaikumsalam. Kaifa halluk, Khi? Kata temen-temen pernikahan antum dibatalkan, ya? Kok gak ada cerita ana?] Ghazali membalas. Bagaimana aku akan bercerita, ingat dia saja tidak. Yang kuingat hanya nasib buruk yang tengah menimpaku sekarang.
[Ohya, Khi. Afwan. Ana dapat sedikit musibah. Qodarullah, baru saja ana melangsungkan akad. Tapi bukan lagi dengan Syifa, gadis bercadar yang ana ceritakan.]
Aku masih mengetik pesan berikutnya, tapi cepat chat balasan darinya mempertanyakan kejelasan.
[Innalillahi. Musibah apa, Khi?]
Ish, kenapa aku katakan musibah, tentu saja dia akan bertanya-tanya. Apa iya harus langsung kukatakan bahwa aku kepergok di dapur dengan seorang akhwat labil. Ah, tidak itu aib. Bahkan di pondok ini hanya segelintir orang yang tahu, Syifa dan keluarganya pun tidak tahu.
[Em, nantilah kapan-kapan ana ceritakan. Tapi yang jelas, sekarang ana diminta Abine menikahi gadis ABG yang usianya belum genap 16 tahun.]
[Subhanallah ....]
[Itu kenapa ana mau masukan di ke pesantren antum, sementara ana akan melanjutkan S2 ke Malaysia]
[Apa semua ini sudah jadi kesepakatan? Takutnya ....]
[Sudah, Khi. Soal itu insyaAllah akan ana bereskan. Ana hanya perlu jawaban antum.]
[Iya, silakan saja. Demi ukhuwah dan persahabatan kita. Jika ini niat baik, ana akan membantu.]
[Wah, MaasyaAllah. Jzk Khi.]
[Afwan]
[Kapan?] Ghazali kembali bertanya, mungkin ia ingin mempersiapkannya.
Sedang sibuk menegetik balasan terakhir, seseorang memegang dua bahuku.
Sontak aku menolak karena kupikir Kang Danu.
Saat menoleh ke belakang sosok Abine sudah berdiri dengan wajah tersenyum.
"Datangi istrimu. Kamu perlu berdoa untuknya."
Melihat reaksiku saat Abine memberi titah, Kang Danu dan yang lainnya menahan tawa, mengejek.
'Awas saja, nanti pas waktu dia akad aku juga akan ngerjain habis-habisan.'
Berjalan dengan tenang, lebih tepat ditenang-tenangkan, menuju kamar pengantin.
Meniup berat sebentar, semoga lisanku terjaga saat berhadapan dengan gadis itu nantinya.
"Assalamualaikum." Mengetuk pelan, tidak ada jawaban. Akhirnya kubuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
Memasuki kamar yang masih rapi dengan dekor ala-ala santri. Ranjang yang dihiasi beberapa melati dan taburan mawar di atas sprei. Wangi kesturi menguar seluruh ruangan. Apa yang mereka pikirkan?
Suara gemericik terdengar dari arah kamar mandi, gadis itu tengah mandi rupanya. Entah pikiran dari mana tiba-tiba membayangkan bagaimana sosoknya ketika mandi. Segera kutepis pikiran-pikiran aneh di kepala.
Ya Allah ... naluri laki-lakiku sedang diuji.
Tidak membuang waktu, kusiapkan kertas dengan isi perjanjian yang harus gadis itu tandatangani nanti. Telah kupikirkan sejak Abine memintaku menikahinya, ini adalah jalan terbaik.
Mungkin kontrak ini lebih tepat dengan judul kontrak 'Pernikahan tanpa Bersentuhan.'
Menit kemudian, gadis itu keluar. Dari ekor mata kulihat gadis yang telah halal untukku itu tersentak. "Ya Allah, mengagetkan saja."
Ia kembali menarik diri masuk kamar mandi lagi.
Pemandangan apa itu tadi? Apa jadinya jika aku akan terus melihat pemandangan itu. Aku ini pria normal.
Sepuluh menit berlalu, belum juga ada tanda gadis itu akan keluar.
"Hei, sampai kapan anti di situ?" Aku kini berdiri di depan pintu kamar mandi.
Tidak ada jawaban. Tak sabar, aku pun mengetuk pintu.
Ada apa dengan gadis itu? Bukankah dia yang sangat mengingini pernikahan, lalu kenapa tiba-tiba bersikap jaim begini?
"Hei, ayo keluar! Sampai kapan anti di situ?"
"Iya, iya bawel!"
Wah, dia ngegas, seperti dugaanku saat bicara di telepon kemarin. Apa jadinya pernikahan ini ke depan?
BERSAMBUNG