Mata ambu melotot, wajah jud*snya sudah seperti hewan buas yang sudah siap menerk*mku sebagai mangsanya.
"Sini, duduk!" pinta ambu, ketus.
Akupun menurut duduk di kursi bersama ambu dan abah.
"Dengar, Neng! Lain kali jangan sekali-kali memberi pinjam ke orang meskipun pada saudara sekalipun," jelasnya.
"Maaf ambu, Neng memberi bi mamah pinjaman atas dasar perintah abah. Neng juga gak tega, katanya di rumah bibi tidak punya beras," jawabku.
"Rumah ini bukan panti sosial, kalau susah pada datang minta tolong kesini, pinjam kesini giliran bayar susah kadang kita harus nagih seperti pengemis. Jangan kasih-kasih pinjam lagi, nanti kebiasaan," terang Ambu.
"Iya, Mbu. Maafin Neng, Neng janji ini yang terakhir," pintaku.
Heran sama ambu, punya menantu berbuat baik kok dilarang. Aku pikir ambu akan senang jika aku bisa membantu adiknya, ternyata aku salah.
Padagal hari ini ambu baru saja menarik uang kontrakan tapi mengaku tidak ada uang, menjual satu cincin di jarinyapun untuk membantu bi mamah tidak akan menghabiskan harta kekayaannya.
Ya Allah ... sayang sekali, setiap minggu ambu bagi-bagi beras dan sejumlah uang untuk para janda dan anak yatim di masjid. Kalau begitu apa artinya semua kebaikan ambu membagi rizki pada orang lain sementata ambu mengabaikan adiknya sendiri yang tidak mempunyai beras sebutirpun di rumahnya?
Tidak hanya sampai disitu, ambu juga marah gara-gara aku membelikan abah martabak. Aku dikatakan pemborosan, ngabisin uang suami ... hanya beli satu martabak ceramahnya itu panjang sekali. Aku ingin sekali berteriak membela diri tapi apa daya, hanya bisa menunduk dan mengiyakan padahal dalam hati sangat dongkol.
"Busyet beli martabak 25 rebu aku disebut boros, bagaimana dengan istri-istri lain yang hobi ke emol dan membeli skin care? Yakin aku pasti langsung dipecat jadi menantu Ambu yang kaya raya ini," batinku.
Makin lama aku makin faham kenapa dulu perhiasan mahar hanya dipinjamkan ambu, ya karena beginilah ... ambu senang jika orang-orang memuji ambu yang kaya dan dermawan padahal kenyataannya aku saja sangat menderita jadi mantu sultan cikareo ini.
******
"Neng kamu kenapa, sakit?" tanya A Dahlan sepulang kerja.
"Neng gak apa-apa, A cuma capek," jawabku.
"Biasanya nunghuin Aa sambil nonton TV di depan. Kamu gak begini, Neng. Masa capek sampai nangis, bertengkar sama ambu? atau dimarahi ambu?" cecar A Dahlan.
Kasihan jika suami harus mendengar keluhanku sepulang kerja. Berusaha mengatur mood agar terlihat biasa-biasa, aku bangkit dari tempat tidur menyiapkan pakaian ganti untuk a Dahlan lalu kedapur untuk mengambil makan malam. Karena pulang kerja cukup malam a Dahlan lebih suka jika makan malam dikamar sambil menonton TV dan berbincang bersamaku.
Aku memanaskan lauk yang tadi sore kupesan dari aplikasi pesan antar.
Baru saja membuka penutup rice cooker ambu datang dan menyingkirkan tanganku dari atas rice cooker.
"Ini nasi baru, di dalam lemari masih ada nasi sisa tadi sore. Habiskan dulu! Nanti mubazir," tegas ambu.
"Astagfirullah, ini bukan buat Neng, Mbu. Buat A Dahlan," terangku.
"Apalagi untuk Alan, Alan sudah tahu aturan di rumah ini, harus habiskan dulu nasi sisa sebelum makan nasi baru. Beras mahal, orang lain banyak yang gak bisa makan. Makan nasi sisa tadi sore juga harus bersyukur daripada gak makan?" omel ambu.
Aku tidak ingin membantah lagi apa yang dikatakan ambu. Tak tega rasanya, dengan langkah gontai aku kembali ke kamar membawa nasi dingin sisa tadi sore untuk suamiku.
Sudah tidak tahan lagi dengan semuanya, sesampainya dikamar akupun menangis sejadi-jadinya.