"Pokona ambu mah moal belikan! Terserah abah mau marah atau maki ambu juga," omel ambu.
"Satu batang saja, Mbu! Sudah makan mulut Abah pait." Ayah memelas.
"Bah kurangin atuh, abah teh batuk, sesak nafas juga kalau mer*kok terus bahaya."
"Mau merok*k sehari sepuluh bungkus juga gak akan merugikan ambu! Kontrakan abah banyak, ambu jangan takut bangkrut," teriak Abah.
Aku masih menyapu setiap ruangan di rumah berusaha bersikap biasa seolah tak mendengar keributan antara ambu dan abah. Kasian ... Abah yang memang sudah cukup tua terlihat gemetar setelah berdebat bersama ambu.
Karena usia yang sudah lanjut keseharian abah hanya di habiskan di rumah, menonton TV dan mengurus ayam-ayam peliharaannya. Mobilitas diluat lebih banyak dilakukan oleh ambu, mulai dari mengurus, menagih dan mempromosikan kamar kontrakan yang kosong disetiap bulannya.
Ambu yang sedikit baw*l memang cocok dan cukup handal menjadi seorang marketing untuk kontrakan-kontrakannya yang bejibun.
Setiap awal bulan mertuaku sibuk menarik uang kontrakan dari pagi sampai sore. Kebayang dong berapa jumlah kontrakan ambu kalau untuk menarik bayarannya saja menghabiskan waktu hampir seharian.
Setelah tugas membereskan rumah selesai aku merebahkan diri dikamar sambil memainkan handphone di tangan. Sebuah aplikasi layanan pesan antar makanan terbaru menawarkan banyak diskon besar-besaran. Selesai membereskan rumah yang luasnya Masya Allah, pastinya aku lapar sekali.
Tak ada salahnya sekali-sekali memesan makanan diluar, mungpung sedang diskon gede-gedean. Selain memesan makanan untukku dan A Dahlan tak lupa aku memesan martabak menantu untuk abah. Martabak untuk menemani abah minum teh hangat.
"Ngopi, Bah!" kataku, sambil meletakan sepiring martabak di atas meja.
"Ini martabak yang diantar tukang ojek barusan, Neng?" tanya Abah.
"Iya, Bah. Enak gak, Bah. Ini martabak yang viral itu, Bah," jawabku.
"Hebat ya teknologi begitu canggih, sekarang mah mau beli makanan gak usak keluar rumah, tinggal pencet-pencet hape gak lama makanan datang. Coba ambu canggih begini, abah kan gak bosen makan kulub sampeu deui, kulub sampeu, kulub hui, hit*t we hayoh wareg teuing hui. (singkong rebus lagi, pisang rebus, ubi rebus, kent*t terus we abah kekenyangan makan ubi)," keluh abah.
"Loh kenapa, Bah. Justru ambu teh sayang ke abah, makanya ngasih makanan yang alami biar sehat, tanpa pengawet," sahutku.
"Kalau gitu buat apa atuh Neng abah banyak kontrakan? Banyak duit? Kalau gak bisa makan enak, mau ini gak boleh, ini gak boleh, si ambu mah perhitungan pisan." sungut abah.
Makan martabak dan teh hangat sambil menikmati lembayung senja di teras, aku terhibur sekali mendengar cerita abah. Cerita masa-masa pedekate abah dan ambu.
Disela-sela obrolan dengan abah datang seorang ibu yang penampilanya sedikit lus*h. Beliau diantar tèh Dewi, aku mempersilakannya duduk kedalam tapi beliau menolak. Ibu tersebut memilih duduk bersama abah di teras.
"Gak usah repot, Neng da bukan tamu. Itu Bi Mamah adiknya ambu," terang tèh Dewi.
Adiknya ambu? Tapi kok kasihan sekali, dari segi penampilan saja bi mamah jauh sekali dibanding ambu.
Meskipun saudara tetap saja, orang yang datang berkunjung kerumah kita itu namanya tamu. Aku mengambil minum dan cemilan yang kupunya untuk disuguhkan pada bi Mamah.
"Mangga, Bi diminum tehnya mungpung masih hangat," ucapku.
"Nuhun geulis," jawab bi mamah lalu mekanjutkan obrolan dengan abah.
Aku dan tèh Dewi mengobrol di teras sebelah kanan sambil bermain bersama anak bungsu tèh Dewi yang baru berumur 1 tahun. Tanpa berniat mendengarkan obrolan antara abah dan bi mamah, obrolan mereka terdengar jelas karena kami duduk bersebrangan hanyan dalam jarak sekitar 3 meter saja.
Bi mamah datang untuk meminjam uang, karena abah yang memegang uang ambu abah meminjam padaku. Kata abah kalau nunggu ambu pulang kasihan bi mamah pulangnya kesorean.
Kebetulan aku memang ada uang, tanpa basa-basi aku pinjamkan sejumlah uang sesuai permintaan abah untuk bi mamah. Aku juga membelikan beras, mi instan dan telur. Tadi aku dengar bibi datang jauh-jauh kesini karena dirumahnya tidak punya beras.
Bibi tinggal beda desa dari tempat kami tinggal, untuk sampai ke rumah ambu bibi harus sekali naik angkot.
"Hayu Neng antar kedepan, Bi," ajakku.
Aku mengantar bibi menggunakan sepeda motor sampai jalan raya, setelah itu memberinya ongkos untuk naik angkot. Bi mamah terlihat senang sekali, beliau berulang kali mengucap terima kasih dan mendoakan agar pernikahanku dan A Dahlan Sakinah, Mawaddah, Warrahmah.
Setelah bibi naik angkot aku kembali pulang untuk mengantar tèh Dewi pulang ke kampung sebelah. Ambu ternyata sudah pulang, beliau menatap tajam kearahku sambil bertolak pinggang. Apa ambu marah? Apa salahku?