Pertolongan Mr. Mantan
"Don't say that. What you need, I will be there for you, anytime, forever."
(Bastian Prasbawara)

***

"Mama kenapa, Lin? Ngomong yang jelas." Aku pun ikut panik dibuatnya.

"Mama pingsan, Kak."

Astaga, ternyata apa yang kutakutkan terjadi. Kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan itu berputar di benakku.

"Aku ke sana sekarang, Lin. Kamu jagain Mama dulu." 

Aku mengakhiri panggilan secara sepihak. Meski tidak paham persis apa yang terjadi, aku tahu penyakit yang diderita Mama, beliau pasti kelelahan. Aku harus segera melihat keadaannya.

"Kenapa, Key?" Raut wajah Bastian pun tampak panik ketika mendengar kata Mama kusebut.

"Mama pingsan, aku harus ke sana." Suaraku bergetar.

"Ayo, aku anter." Bergegas dia beranjak bangkit dari sofa.

Aku mengiyakan karena aku tidak ada alasan menolaknya, dalam pikiranku segera mengetahui kondisi dan memberikan pertolongan kepada Mama.

Aku menggendong Gita dan melangkah masuk ke dalam mobil sedan hitam. Bastian melajukan mobil sedangkan aku menunjukkan jalan ke rumah Mama. Pria tersebut belum tahu alamat rumah dihuni Mama sekarang. Dia hanya pernah menginjak rumah dulu yang kita tempati sebelum Papa meninggal. Setelah Papa tidak ada, mereka pindah ke rumah yang lebih sederhana agar bisa lebih hemat, katanya.

Setelah mobil terparkir di depan rumah, aku segera masuk dan mencari keberadaan orang yang melahirkan kami.

"Mama kenapa, Lin?" 

Kulihat Elina berdiri di depan teras, menunggu kedatanganku dengan raut gelisah. Mama terbaring di sofa dan belum mendapatkan pertolongan sama sekali, wajahnya terlihat pucat.

"Enggak tahu, Kak. Pas pulang dari ngajar les, aku lihat Mama udah tergeletak di depan kamar. Aku panik, langsung telepon Kakak."

"Ayo, segera bawa Tante ke rumah sakit." Bastian menggendong Mama dan membawanya ke mobil.

Kulihat Elina tertegun sesaat melihat kehadiran Bastian yang kemudian langsung membopong Mama. Bisa kurasakan wajah yang dipenuhi sejuta pertanyaan mungkin akan dilontarkan kepadaku, tetapi mungkin saat ini bukan waktu yang tepat. Makanya dia mengurungkan niat dan tidak bertanya apa pun di dalam mobil.

Sesampai di depan gedung serba putih, Mama langsung mendapatkan pemeriksaan dari dokter UGD. Rasa cemas dan takut kini semakin menggerogoti hatiku. Mondar-mandir kulakukan untuk mengurangi rasa kekhawatiran terhadap kesehatan Mama. Ini pertama kali dia pingsan sampai jatuh dan tidak ada orang yang menemaninya waktu itu.

 Beruntung Elina segera pulang, dan mengabari, tetapi kita tidak tahu persis sudah berapa lama Mama tergeletak di lantai tadi.

"Kamu yang tenang, semuanya akan baik-baik saja. Aku yakin Tante akan segera pulih karena dokter sudah menanganinya." 

Bastian berdiri di sampingku sambil mengelus punggung, mencoba memberi ketenangan.

Dari ekor mata aku menangkap Elina yang duduk memangku Gita, sedang menatap kebersamaan kami. Ada sepasang mata curiga yang terpancar, memperhatikan kehadiran dan gerak-gerik Bastian. Saat menatap matanya, aku seolah membaca ia menyimpan banyak pertanyaan yang masih ditahannya.

"Keluarga Ibu Naila." 

Pintu terbuka dan terdengar suara suster memanggil. Kami menghampiri suster dan dokter yang berdiri di depan pintu di mana Mama diperiksa.

"Iya, Dok. Saya anaknya. Gimana keadaan Mama saya?" tanyaku tidak sabar, segera ingin tahu kondisinya.

"Ibu Naila sekarang sudah dalam keadaan sadar." Berita bagus pun terdengar dan hatiku sedikit lega.

"Syukurlah. Apa yang terjadi dengan Mama saya, mengapa tadi bisa pingsan, Dok?"

"Setelah kami diagnosa, darah gula Ibu Naila dalam keadaan tinggi, tekanan darah juga tidak normal. Sehingga membuatnya pusing, lalu pingsan. Apakah Ibu Naila tadi kecapean?"

Aku dan Elina saling berpandangan, seolah mengiyakan beberapa bulan terakhir memang Mama melakukan sesuatu hal yang tidak biasa, menerima katering dari tetangga. Tidak ada yang membantu, beliau melakukan semuanya sendiri.

"Jadi bagaimana Tante Naila, apa dia butuh dirawat dulu sementara sampai kondisinya membaik, Dok?" sambung Bastian setelah melihat kami tidak menjawab pertanyaan dokter.

"Iya, lebih baik memang Ibu Naila bed rest dulu di sini, biar kami bisa pantau perkembangannya. Pasien tidak boleh strees dan tidak boleh banyak pikiran dulu. Obat-obat yang kami berikan harus diminum rutin agar bisa menekan tekanan darah dan kadar gulanya." 

"Baik, Dok. Lakukan yang terbaik untuk Tante Naila." 

Lalu, dokter dan suster pamit meninggalkan tempat itu. Kami pun masuk ke ruangan untuk melihat langsung kondisi Mama tetapi Bastian tidak ikut.

"Aku urus adminnya dulu, biar Tante bisa langsung dipindahkan ke ruang perawatan, ya."

***

Kulihat Mama terbaring dengan wajah yang sudah terlihat sedikit segar, tidak pucat seperti saat di rumah. Ada selang infus yang tertancap di punggung tangannya.

"Mama kenapa, sih? Pasti kecapean terima katering tetangga lagi, ya?" Wajahku kesal karena ketahuan Mama menerima pesanan lagi, jelas sudah pernah aku larang.

Mama tidak menjawab. Tebakanku pasti benar kemudian beliau menelan saliva, mungkin untuk mengurangi rasa bersalahnya. 

"Kak, udah, biarkan Mama istirahat dulu. Kata Dokter, Mama harus bed rest dan nggak boleh banyak pikiran," sambung Elina yang masih menggendong ponakannya, Gita.

Hatiku kacau ketika tahu Mama pingsan tadi. Lebih kacau lagi saat aku menyadari penyebabnya karena kelelahan mencari rupiah untuk melangsungkan hidupnya. 
Iya, dulu sebelum Papa meninggal, hidup kami serba berkecukupan bahkan bisa dikatakan hidup di atas rata-rata. Rumah megah dilengkapi dengan beberapa pelayan, mobil mewah dengan supir siap antar. Kapan dan di mana pun kita mau berlibur, tinggal pilih saja, tidak ada masalah sama sekali.

Papa, seorang pengusaha kontraktor di mana mempunyai puluhan karyawan yang mengabdi untuk perusahaanya. Kerjaan Mama di rumah hanyalah mengurus kami dan mengikuti beberapa arisan di lingkungan tetangga dan teman sosialitanya.

Namun malang, perusahaan Papa akhirnya mencapai titik terendah, salah satu karyawan melarikan uang perusahaan milyaran rupiah. Ditambah dengan tindakan korupsi yang dilakukan karyawan lainnya, dengan menggantikan bahan bangunan oplosan sehingga menyebabkan bangunan klien yang dikelola Papa mengalami keruntuhan dan menjatuhkan banyak korban luka.

Mereka minta ganti rugi dengan nilai yang besar. Walau Papa berhasil menggantikan semuanya, tetapi hartanya hanya mengisahkan satu rumah yang kita huni.

Lantaran tekanan dan masalah yang bertubi-tubi, Papa mengalami stress berat lalu terkena serangan jantung yang akhirnya meninggalkan kami secara mendadak. Tidak pernah percaya begitu cepat papa akan pergi untuk selamanya. Peristiwa itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu. Selama itu pula, Mama sering menangis tatkala semua tentang Papa hadir dalam benaknya.

Itulah penyebab yang membuat kesehatan beliau menjadi menurun dan bahkan sering sakit. Satu-satunya aset yang dimiliki hanyalah sebuah rumah besar yang kini sudah dijual. Wanita senja itu lebih memilih pindah ke daerah lain untuk menjauhi tetangga yang sering julid dan menggosip tentangnya.

Sejak pindah di rumah baru yang sederhana bersama Elina, Mama pun merasa sungkan harus menggunakan uang Mas Ikbal untuk memenuhi kehidupannya. Kendatipun suamiku tidak pernah mengeluh sekalipun, tetapi Mama selalu menolak.

"Jangan pakai uang suamimu untuk kebutuhan Mama, buat kamu dan Gita saja. Mama masih punya tabungan, kok." Begitu cara dia menolak saat aku memberikan uang titipan dari Mas Ikbal.

Aku tahu Mama berbohong. Sampai akhirnya kepergok, saat dia menerima pesanan kue dari tetangga untuk mendapatkan uang tambahan demi memenuhi kebutuhannya.

Aku melarang karena tidak mau dia letih yang dapat menyebabkan kesehatannya menjadi turun. Elina selalu aku titipkan pesan untuk melarangnya karena dia, adikku satu-satunya yang masih duduk di bangku kuliah, tinggal bersamanya.

Untuk biaya kuliah Elina, setengahnya dibantu Mas Ikbal, sebagian lagi menggunakan uang dari hasil mengajar les anak SD dan SMP.

Keseharian Elina kebanyakan aktifitas di luar dari pagi-siang,  sore hari baru bisa menemani Mama di rumah. Nah, pagi-siang hari inilah kesempatan Mama menerima dan mengerjakan pesan kateringan tetangga.

"Key, bentar lagi suster akan membawa Tante di kamar perawatan."

Suara itu sedikit mengagetkan karena barusan pikiranku melayang, sedang memikirkan tentang kehidupan Mama setelah kehilangan Papa. Kutolehkan sedikit ke arah Bastian yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.

"Tante, gimana kabarnya? Merasa enakan?" 

Bastian tanpa canggung menyapa Mama seraya mengembangkan senyuman khasnya, tatapan hormat terpancar di mata. Sementara Mama melipat dahi sepertinya sedang mengingat siapa pria itu. Beliau hanya tersenyum canggung dan mengangguk menjawabinya.

"Key, aku pamit dulu ya, sebelum suamimu datang." 

Dia menyikut lenganku dengan nada berbisik.

"Kamu udah hubungi dia, kan?" sambungnya lagi sebelum aku menjawab.

"Tante, aku pamit dulu, semoga lekas sembuh, ya." Lagi sikap ramahnya masih sama seperti kala dia masih berstatus pacarku. Dibalas dengan senyuman tipis dari Mama.

"Yuk, Lin. Aku duluan." 

Elina memberi senyuman tipis dengan raut wajah yang terlihat masih bingung karena kahadirannya bersamaku tadi pagi.

Aku mengantarnya sampai di depan pintu ruangan.

"Bas, thank you," ucapku pelan saat kami sampai di bibir pintu.
Dia membalikkan badan.

"Don't say that. What you need, I will be there for you, anytime, forever." Dia membingkai sisi kiri wajahku dengan satu telapak tangan, suara sedikit berbisik.

Sepasang mata kita kembali bertemu, tatapan lekat mata yang membuatku nyaman dan enggan melepaskannya. Berharap dia menemaniku di sini lebih lama lagi. Lantas, bagaimana kalau Mas Ikbal datang dan melihat keberadaannya?

"Aku pergi, nanti kita ketemu lagi, ok? Take care, ya." 

Lalu, dia melangkahkan kaki meninggalkan tempat. Aku menunggu sampai punggung itu menghilang dari pandangan lalu kembali menemui Mama dan Elina.

Komentar

Login untuk melihat komentar!