01

Waktuku tidak banyak untuk menikmati kebebasan. Acara kampanye bapak mertua, membuatku sedikit bebas hari ini.

Perlahan langkahku melewati gerbang kawat yang  telah berkarat, memang lokasi itu terkesan tak terawat, tetapi begitu menyejukkan hati. Suara-suara alam terdengar berirama di tempat itu, bau tanah yang sangat segar menyeruak. Aku sudah mengenal tempat ini, sudah beberapa kali kudatangi.

Samakin jauh kumelangkah, semakin terdengar derasnya aliran air. Mataku dimanjakan oleh harmoni alam dan air terjun yang sangat menenangkan. Tak sabar rasanya untuk segera memacu adrenalinku dengan melompat dan membiarkan tubuhku basah. Sebelum menikmati sensasi melompat yang mendebarkan, aku meletakkan tasku tak jauh dari lokasi air terjun ini. Setelahnya, aku melangkah lebih dekat dan kini air terjun itu terlihat jelas, sebuah pemandangan yang menakjubkan. Sebuah mahakarya dari tangan Sang Pencipta, begitu memesona.

Aku berdiri di atas bebatuan. Dari sudut pandangku, tempat ini yang paling pas untuk melompat yang aman. Aku duduk dulu, mengamati keadaan di bawah sambil menggoyang-goyangkan kakiku. Sekejap kutup mata, membingkai diri dengan alunan suara angin yang semilir hingga menggerakkan daun-daun di pepohonan. Karena terlalu fokus menikmati harmoni alam, aku sampai tak mendengar ada seseorang yang datang. Aneh, biasanya tempat ini aman, tak ada seorang pun yang mau mendatangi tempat yang konon angker ini, apalagi ada desas-desus di sini merupakan tempat orang bunuh diri. Kalau aku sih cuek aja, aku lebih takut kakak iparku—Verni—dan ibu mertuaku—Bu Tania—daripada setan.


Mungkin dia hanya orang yang kebetulan lewat sini, tapi kurang kerjaan juga lewat sini.

Ah, sudahah. Aku mau menikmati kebebasanku saja!

Aku segera berdiri, bersiap untuk melompat ke bawah. Tak sabar dengan sensasi mendebarkan saat melompat nanti.

Aku menghitung mundur dalam hati, 3 …, 2 …, 1 ….

Namun, seseorang tiba-tiba berteriak panik. “Mbak! Jangan lakukan itu!” teriaknya sambil berlari padaku, berusaha mencegahku melompat ke air terjun. “Jangan lakukan itu! Sadarlah!” teriaknya.

Aku menoleh, ternyata pria yang tadi masuk. Kenapa dia sepanik ini?

Bodo amatlah, aku mau lompat sekarang!

Kali ini aku terkejut, dia melingkarkan tangannya pada tubuhku. Menahanku untuk lompat.

Apa-apaan sih orang ini! Apa dia mau macam-macam denganku?

Aku berusaha melepaskan diri, tetapi erat sekali dia memelukku. Lengannya bahkan menyentuh dadaku, kurang ajar!

Aku menoleh padanya, memastikan wajah laki-laki yang membuat aku mulai emosi. Namun, belum sempat berkata-kata, dia malah melongo menatap wajahku. Matanya bahkan liar menatap bagian bibirku. Aku pun membalas tatapannya, melihat wajahnya yang lumayan tampan. Hanya saja, aku nggak suka dengan caranya memandangku, apalagi tangannya yang melingkar di tubuhku.

Awas aja kalau nekat macam-macam!

Akhirnya aku memaksakan diri melompat, meski dia masih memelukku erat. Dia lalu ikut terjun bebas bersamaku, mengikuti gravitasi bumi.

***

Wajahku berseri saat air mengenai keras tubuhku. Akhirnya bisa merasakan lagi momen terjun bebas seperti ini. Tak langsung muncul di permukaan, aku menyelam dulu di bawah airnya. Entah ke mana pria yang tadi memelukku. Biarlah, nanti juga ketemu jasadnya kalaupun dia mati!

Di tengah aku menyelam, terdengar suara yang berteriak panik.
“Mbak?”

Itu pasti pria yang tadi, mungkin nyari-nyari aku. mengganggu saja!

Tetap kuteruskan kegiatan menyelamku, aku cukup pandai menahan napas di dalam air. Sepertinya aku sudah terlatih untuk hal seperti ini. Aku juga tak ingat. Sudah enam tahun lebih aku hidup dengan kehilangan daya ingat masa laluku. Aku tak tahu siapa aku dulu, seperti apa dan bagaimana hidupku sebelumnya, aku tidak ingat sama sekali. Ketika bangun, tahu-tahu aku sudah menjadi istri seseorang. Hidupku juga selalu diatur, rasanya aku bagaikan boneka hidup. Jiwa dan hatiku benar-benar kosong.

“Mbak?”

Astaga, suara itu lagi! Kenapa sih manggil-manggil mulu!

Akhirnya aku muncul di depannya. Dia memandangiku seperti terpukau tak berkedip. Matanya merajalela dari atas ke bawah, memeperhatikan rambutku yang basah, memperhatikan titik-titik air yang melewati wajahku dari rambut, memperhatikan kemeja putih basah yang membungkus tubuhku.
“Kenapa kamu mengikutiku terjun?” tanyaku lalu dia tersentak kaget.

Kenapa dia kaget?

“Eh, maaf, Mbak. Saya hanya ingin mencegah Mbak biar nggak menyia-nyiakan hidup,” ucapnya.

Aku tersenyum. Dasar bodoh!

“Kamu pikir aku mau bunuh diri?” tanyaku diikuti tawa kecil sambil meninggalkannya yang masih terpaku menatapku. Aku mau naik lagi ke atas sana, mengulangi melompat. Sungguh menyenangkan.

“Mbak mau ke mana? Jangan terjun lagi! Itu sangat berbahaya. Semua bisa dibicarakan baik-baik, kalau Mbak ada masalah, pasti ada jalan keluarnya,” sahutnya semari mengejarku.

Aku menoleh padanya.

Orang ini kenapa sih ngikutin aku terus!

Dengusan napasku terdengar sama, aku menyilangkan tangan saat berhadapan mata dengannya.

“Kamu pikir aku mau mengakhiri hidup?”

“Maaf, tapi ....”

Aku tersenyum sebal. “Nggak usah mengkhawatirkanku, aku sudah biasa melakukan ini.”

“Apa? Mbak sudah biasa melakukan percobaan bunuh diri?”

Benar kan dugaanku, orang ini bodoh super! Kalau hanya ada satu pria di dunia ini, aku tidak akan mungkin jatuh cinta padanya! Bukan tipeku.

Aku memperhatikan wajahnya yang serius, perutku jadi geli ingin tertawa. Ternyata dia benar-benar khawatir aku lompat lagi. Aku menggeleng-geleng. Dasar cowok aneh!

Kutinggalkan dia yang masih kebingungan, tetapi dia kekeh mengikutiku terus.
“Kenapa kamu terus mengikutiku?”

“Maaf, saya hanya khawatir, Mbak melakukan hal yang tidak-tidak,” ujarnya tulus. Aku jadi kasihan juga sih, ternyata masih ada orang kayak dia, polos.

Aku berbalik, tanganku melipat lagi. “Aku sering datang kemari.” Senyumku mengembang agar ia tak khawatir dan tak lagi mengikutiku. Kubuat juga sebuah alasan agar dia percaya kalau aku tidak bermaksud menyia-nyiakan hidup di sini. “Dan ... aku juga sudah terbiasa loncat dari ketinggian. Dulu, aku atlet loncat indah.”

Kayaknya masuk akal alasanku, tetapi kenapa dia malah memperhatikan bajuku? Apa menerawang karena basah?

Dasar, minta dihajar juga orang ini!

“Apa ada yang salah dengan bajuku?”

Apa mungkin di pikirannya kalau loncat indah itu harus memakai pakaian tertentu?

“Memangnya loncat indah harus pakai baju renang saja,” ucapku, rasanya tahu apa yang dia pikirkan.

Sudah, ah, buang-buang waktu saja, aku mau menikmati waktuku dulu!

Dengan wajah berseri aku kembali lompat dan baru kusadari ternyata dia juga mengikutiku lompat lagi.

Maunya apa sih ngikutin terus!

BYURRR!

Dia keluar dari permukaan air, menoleh ke sana kemari seperti mencariku.

“Jangan asal loncat, kalau terjadi apa-apa, aku nggak mau mengurus mayatmu seorang diri di sini,” ketusku seraya berdiri di belakangnya.

“Aku juga sudah terbiasa loncat,” balasnya.

Aku melengos saja, malas ngobrol dengan orang asing lalu dengan cepat berenang ke tepi. Sebalnya, dia  mengikutiku juga ke tepi.

Aku duduk di bebatuan dengan kaki lurus ke bawah. Diam saja untuk menikmati alam, mendengarkan irama air.

Sungguh menenangkan ….

Pria itu ternyata masih berada dekat denganku. Aku jadi nggak leluasa menimkati waktuku.

“Kenapa kamu masih mengikutiku?” tanyaku dan dia terkesan salah tingkah.

“Aku? Hmm, aku baru pertama kali ke tempat ini dan aku ingin menikmati tempat ini yang ternyata sangat indah,” jawabnya. Cukup masuk akal sih.

Ah, sudahlah, terserah dia mau di mana saja. Aku harus fokus untuk menikmati keindahan alam ini, waktuku tak banyak untuk bisa keluar dari kediaman. Sekarang, mungkin juga orang-orang kediaman sudah pusing mencari-cariku. Hidup di tengah-tengah keluarga berpengaruh, apalagi bapak mertuaku adalah mantan presiden yang sekarang mulai mengepakkan lagi sayapnya untuk mencalonkan diri, alhasil membuat hidupku semakin terkungkung di rumah, keluar hanya boleh untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang terjadwal. Mau nggak mau, aku sesekali nekat kabur, meski akhirnya kembali lagi ke tangan mereka.


“Sepertinya kamu senang berada di alam bebas?”

Pertanyaannya membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh padanya dengan tatapan datar.

“Aku sering mendatangi wisata-wisata alam liar yang tak banyak orang tahu dan bahkan sudah ditinggalkan, jadi suasananya benar-benar bisa menenangkan jiwa,” katanya lagi.

“Benarkah? Kamu bisa memberitahukanku di mana tempat-tempatnya?” tanyaku antusias.
Setidaknya aku jadi punya stok tempat-tempat persinggahan saat berhasil kabur di lain waktu.

“Tempatnya agak jauh, aku bisa menunjukkannya padamu lain kali, kalau kamu mau?” tawarku.

Aku ragu-ragu, dia orang baik atau orang jahat ya? Kalau lihat ekspresi wajahnya sih sepertinya dia orang baik, ya hanya agak eror sedikit.


“Aku bukan orang jahat. Aku bisa menunjukkan tanda pengenalku padamu kalau kamu ragu-ragu. Tak mau juga tak apa-apa. Hanya saja, melihatmu, aku seolah punya teman yang mempunyai kegemaran yang sama, yaitu alam bebas.”

Oh, dia juga suka alam bebas ….

Gimana ya, ikut dia atau enggak? Setelah berpikir matang, akhirnya kuputuskan untuk mau mengikutinya. Kalau ada apa-apa di jalan tinggal kucekik saja, beres!

“Aku akan ikut denganmu,” balasku dengan senyuman ringan. Dia terlihat senang dengan jawabanku. Sayangnya kalau besok-besok aku tidak tahu waktunya, entah kapan bisa kabur lagi dari kediaman seperti ini. Sebaiknya sekarang ajalah, tanggung. Aku keburu ditangkap Verni atau Elmi nanti!

“Bisa sekarang saja kamu tunjukkan di mana tempatnya? Karena lain waktu mungkin ... aku tidak punya waktu,” ujarku.

Keningnya berkerut, mungkin merasa aneh dengan kalimatku, ‘tidak punya waktu’.

“Baiklah, kita bisa pergi sekarang,” balasnya, “tapi, Mbak ....”

“Shelomita, namaku. Panggil saja itu,” ucapku lirih. Aku juga tidak tahu namaku yang sebenarnya, di kediaman aku selalu dipanggil Nicta, Shelomita itu nama depannya. Setidaknya dengan nama Shelomita aku merasa sedikit familiar daripada nama Nicta yang seolah bukan namaku.

“Shelomita,” ulangnya. “Apa kamu bawa baju ganti, kalau mengenakan baju basah seperti ini, aku khawatir kamu akan kena paru-paru basah.”

Aku menunjuk tas yang kuletakkan di balik batu. “Aku membawa baju ganti. Bagaimana denganmu?”

“Hmm, kamu ganti saja di pom bensin sana, nggak jauh kok dari sini. Dan sepertinnya ada pertokoan juga di sana, aku akan membeli baju ganti saja di sana. Oya aku kemari naik motor. Kamu naik apa?”

“Taksi online,” jawabku singkat.

“Kalau kamu mau, aku bisa memberimu tumpangan di motorku,” katanya berusaha mengajakku.

Aku berpikir sejenak. Sepertinya sudah lama aku nggak naik motor, aku juga nggak ingat kapan. Selama ini aku diantar jemput pakai mobil. Aku mendengus panjang. Sepertinya tak ada pilihan. Akhirnya aku mengangguk saja, menerima ajakannya.

Setelah mengambil tasku, dia lalu mengajakku ke tempat motornya terparkir.

“Berangkat sekarang?” tanyanya saat sudah berada di atas motor sport-nya.

“Iya deh.” Aku duduk di boncengan motornya. Rasanya mau jatuh di awal-awal karena tak terbiasa naik motor.

Motor pun melaju.

“Shelomita, pegang aku kalau kamu takut jatuh,” katanya dan secara cepat menarik tanganku.

Tentu saja aku terkejut. Baru kali ini ada orang bablas kayak dia!

Aku ingin melepas tanganku, tetapi saat merasakan jalannya mulai menukik turun, aku takut juga, tanganku tetap melingkar padanya. Lalu dengan isengnya dia mengerem mendadak saat jalan sedang menukik turun. Tubuhku terhuyung ke depan dan menyentuh punggung belakangnya yang tegap.

Sialan, aku dikerjain! Lama-lama dia kurang ajar!


Bersambung

Tukaran no.WA yuk! ❤ WA-ku 081327499949

Ilustrasi Egi dan Shelomita sering saya tampilkan di story WA loh 🥰