02

Mataku membuka perlahan, astaga, ternyata aku ketiduran dalam perjalanan. Kutengok arlojiku, sudah berlalu tiga puluh menit.

“Apa kita sudah sampai?” tanyaku.
“Belum,” balasnya seraya tersenyum. “Tadi kamu ketiduran, akan bahaya jika tetap melanjutkan perjalanan, tapi sebenarnya kita sudah hampir tiba, kok.”
“Oh, maaf, ya. Aku ngantuk berat sepertinya,” kataku. Bagaimana tidak ngantuk, semalaman aku begadang.
“Nggak apa-apa, yuk, lajut lagi.”

Perjalanan sejauh empat kilometer ditempuh pria yang mengendarai motor sport di depanku. Hingga akhirnya menepi di sebuah lokasi yang cukup sepi. Sempat ada rasa curiga juga karena dia mengajakku di tempat sunyi seperti ini.
“Kita sudah sampai,” ucapnya dengan mimik riang.
“Di sini tempatnya?” tanyaku. Ini seperti dermaga tua tak berpenghuni.
“Di sana. Kita ke mercusuar itu.” Tunjuknya,

Aku mematung memandang mercusuar itu.

Aman nggak ya?

Aku masih menimbang-nimbang keragu-raguanku, tetapi pria berpostur yang kebih tinggi itu malah menyentuh tanganku, menarikku untuk mengikutinya.

Kurasakan tangannku digenggamnya terus. Bagaimana ini …?
“Maaf, mungkin aku terlalu bersemangat,” ucapnya saat kami telah berada di atas. Dia melepas tanganku dengan berusaha tersenyum. Sepertinya dia bukan orang jahat atau iseng. Akhirnya aku pun membalas senyumannya.
Angin laut membelai rambutku, berada di paling atas mercusuar ternyata embusan anginnya semakin kencang bahkan rambutku pun lama kelamaan menjadi tak beraturan. Namun, kubiarkan saja.. Hamparan lautan luas terlihat begitu indah dari atas mercusuar, burung-burung yang berarak pun snagat menyatu dengan alam di penglihatanku. Benar katanya, tempat ini memang indah.
"Kamu tahu apa fungsi mercusuar?" tanyanya saat aku sedang menikmati awan-awan yang terasa dekat denganku, bagai kumpulan gulali lembut dan manis.
"Sebagai navigasi," jawabnya sendiri setelah aku menggeleng. "Pada malam hari, mercusuar akan memancarkan sinar sebagai isyarat. Cahayanya bisa membantu ke mana kapal akan menentukan arah."

Aku membalas tatapannya yang seolah berbicara kalau akulah tujuannya, kini.
**

Sepulang dari mercusuar, aku naik taksi pulang, walaupun pria tadi memaksa untuk mengantarku pulang. Namun, aku tidak mau. Dia hanyalah kenalan di jalan saja, tidak berarti apa-apa, tetapi aku berterima kasih dia sudah menunjukkanku tempat yang bagus.

Taksi berhenti di depan kediaman tempat tinggalku dan di sana sudah berdiri Bi Ani dengan raut cemas.

Wanita paruh baya yang masih cukup sehat itu berlari untuk membukakan pagar.

“Ibu dari mana saja!” Teriakannya sudah menyambutku.

“Cuman jalan-jalan. Mbak Verni sama Mas Jodi sudah kembali?”

“Belum, tapi Bu Verni tahu kalau Ibu pergi.”

“Huh! Siapa sih yang ember!” sungutku lalu masuk ke dalam. Di ruang tamu, setoples kacang mete membuatku tergiur, kuambil dan segera masuk ke kamar.

Baru akan mandi, si bawel Bi Ani muncul lagi. “Bu, tidur cepat. Besok ada pertemuan ibu-ibu,” katanya lagi.

“Iya, udah tahu!” balasku acuh.

**
“Kamu harusnya bersabar! Ingat, kalau bukan karena keluargaku yang menutupi kejahatan papamu, kini papamu sudah di penjara!”

Demi apa, siang-siang begini aku sudah dicongorin Mas Jodi, mana lagi sakit gigi. Ini gara-gara kebanyakan makan kacang mete, kena gigiku yang bolong. Mas Jodi marah-marah begini pasti karena laporan Mbak Verni, siapa sih yang jadi mata-mata di kediaman? Kesel!

Biasanya aku tidak emosian, mungkin karena lagi sakit gigi jadi aku tak tahan juga untuk tidak ngamuk.
“Mas Jodi, apa nggak cukup aku bersabar dengan pernikahan sandiwara ini! Dulu, kalian bilang aku harus bersabar hanya sampai papamu sudah tak jadi presiden lagi. Lalu kenapa aku masih harus bersandiwara hingga saat ini!”


Payah, aku tidak ingat apa-apa dan tiba-tiba terjebak di pernikahan sandiwara. Bu Tania—ibunya Mas Jodi—bilang ini hanya sampai saat Pak Afrizal—mertuaku—tidak lagi menjadi presiden, nyatanya aku masih tetap jadi tahanan rumah sampai kini.


“Kamu tahu sendiri, kan, Papa akan mencalonkan kembali menjadi presiden, jadi kamu, mau tidak mau harus menunggu atau kamu mau keluarga kami membongkar semua kejahatan yang telah dilakukan papamu pada masyrakat luas? Hah!”


Mendengar ocehan Mas Jodi, gigiku makin tambah sakit. Aduh kok nyut-nyutan begini, ya! Herannya kok ya suara nyamuk di ruangan Mas Jodi juga bisa membuatku tambah emosi. Orang sakit gigi memang sensitif.
“Kapan kalian membebaskanku! Aku muak menutupi skandalmu dan Mbak Verni!” teriakku dengan emosi, meski Mas Jodi sudah memberiku bahasa isyarat agar aku tidak berbicara keras-keras. Namun, sudah kadung emosi, biar saja aku meledak-ledak begini. Suara nyamuk yang berdengung juga membuatku semakin sensi.
PLAK!

Akhirnya mati juga kau nyamuk!

Udah, ah, aku pulang! Gigiku tambah sakit di sini!

Baru kali ini gigiku nyerinya bertahan lama, sepertinya pipi kiriku bahkan jadi bengkak, tanpa sadar air mataku jatuh karena sensasi sakit gigi yang luar biasa.

Kubuka pintu ruang kantor Mas Jodi dengan kasar, kemudian … seorang pria berdiri di depanku dengan menatapku terpaku.

Ini bukannya pria yang kemarin ya? Ah, tapi aku lagi malas ngobrol, mau buru-buru sampai rumah, minum obat pereda nyeri. Kapok aku makan kacang mete!

“Mohon izin … Ibu.”
Dia mengajakku bicara?


“Saya Sertu Egi Wardana, pengganti Sertu Andalas,” ujarnya dengan tersenyum kaku padaku.


Oalah, dia toh sopir baru gantinya Andalas! Hari pertama udah telat!


“Ya. Di mana mobilnya?” tanyaku lirih sambil menahan nyeri yang menjalar ke gusiku.

Sakit gigi itu rasanya kayak diomelin mertua, pembahasannya bisa menjalar ke mana-mana. Sama kayak sakit gigi, bisa menjalar ke mana-mana rasa sakitnya.
“Siap, Ibu. Di sebelah sana.”
Sopir baru bernama Egi itu berjalan duluan, aku mengikutinya dengan langkah pelan karena kalau cepat-cepat, hentakan kaki bisa membuat nyeri di gigiku semakin terasa. Aku berjalan menunduk untuk menutupi wajahku yang menahan sakit, lalu dia tiba-tiba berhenti, aku tidak mengantisipasi hingga akhirnya menabrak tubuh tegapnya. Suasana jadi canggung.
“Maaf, Bu.”

Aku mengangguk saja, kalau bicara tambah sakit.
“Mohon izin, saya hanya ingin menawarkan saputangan.” Dia menyodorkan saputangan padaku.

Kok aku ditawari saputangan? Apa kelihatan ya kalau aku lagi sakit gigi?


“Saputangan itu bersih, Bu.”


Kalau nggak diterima takutnya dia tersinggung, ya udah kusahut saja saputangan darinya.


“Terima kasih. Kukembalikan setelah dicuci,” ucapku dan kami menuju mobil.
**

Pintu kamarku diketuk, aku yakin itu Bi Ani.

“Iya, Bi, tunggu dulu!”

Ribet banget sih harus ke acara jamuan begini. Untung saja gigiku sudah lumayan sembuh setelah minum obat dan tidur cukup.

Dengan malas aku keluar kamar, Bi Ani mungkin sudah di teras. Nggak semangat rasanya mau pergi, nanti kalau makan terus gigiku kumat lagi gimana? Haduh merepotkan saja pertemuan malam ini!

Di teras, sepatuku sudah tersedia, aku memakainya dengan wajah datar. Anehnya sopir baru itu terlalu sibuk memperhatikan penampilanku, membuatku risi saja!

Kulempar jaket hitamku ke kursi mobil saat aku masuk, Bi Ani terus menerus mengoceh sampai telingaku rasanya panas.

Gimana ini kalau sakit gigiku kambuh!
Mobil melesat ke daerah Kemang. Sebuah rumah pesta dengan tamu-tamu yang sudah berdatangan menjadi tempat perhentian kami.
Tiba di tempat pesta, teman-temanku sudah menyambutku. Aku sebenarnya tidak akrab dengan mereka, obrolannya pun tidak ada nyambung-nyambungnya dengan kepribadianku, tiap mereka ngobrol, aku jadi ngantuk.

Tunggu tiga puluh menitlah baru pulang saja!
**
“Ayo, buruan pergi!” ucapku cepat karena berhasil kabur dari pesta itu.
“Kok, hanya sebentar, Bu?” tanyanya bingung.
“Setor muka saja,” jawabku pendek.
Aku masuk ke dalam mobil, udara malam yang mulai terasa membuatku sedikit menggigil.

Waduh bahaya nih bisa-bisa sakit gigiku kumat lagi!
Kucari-cari jaket hitam yang tadi kubawa, kok nggak ada?
“Ibu cari apa?” tanya pengganti Andalas itu seraya masuk ke dalam mobil dan segera menutup pintu.
“Jaketku.”
Singkat cerita ternyata jaketku ketinggalan di dalam, kalau aku muncul lagi di sana, bakal susah keluar. Pulang ke rumah ajalah!
“Kamu ada jaket?”
“A-ada, Bu, tapi ....”

Dia terbata-bata menjawabku, kenapa ya?

“Nggak apa-apa, aku pinjam, boleh?” Nekat saja aku meminjam jaketnya daripada aku masuk angin dan sakit gigiku kumat lagi.
Dia menyodorkanku jaketnya. “Maaf kalau agak lusuh.”
"Nggak apa-apa, aku dingin,” ungkapku. "Jangan pakai AC, ya!"
Sepanjang perjalanan, aku menikmati jalan yang kulalui, lampu-lampu jalan yang redup berusaha kuat menerangi jalan yang panjang. Kaca jendela kubuka lebar-lebar, membiarkan angin malam membelai wajahku. Namun, ketika benda kecil tiba-tiba menyerang retina mataku, aku mengaduh.

Sopir baru itu mengerem mobil dengan teratur.
“da apa, Bu?” tanyanya seraya berbalik setelah menepikan mobil.
“Mataku! Mataku nggak tahu kemasukan apa!” cemasku sambil menggosok-gosok mata.
“Makanya Ibu jangan buka kaca jendela lebar-lebar, banyak debu di luar,” omelnya.

Tentu saja aku terkejut, baru kali ini ada orang baru di rumah yang berani megomeliku.

“Jangan dikucek-kucek, Bu, nanti tambah merah.”
“Rasanya panas, mungkin serangga,” balasku.
Dia malah mencegah tanganku yang terus menerus mengucek mata. "Ibu diam."

Hah? Berani betul dia!

“Mata yang kiri?”
“Iya.”
Wajahnya mendekat ke wajahku, lalu udara hangat berembus dari bibirnya. "Masih sakit?"
"Masih," jawabku pelan. Memang terasa panas di mata. Aku tidak berpikir aneh-aneh, mungkin memang dia hanya ingin menolongku.

Namun, tindakannya semakin jauh. Saat dia meniup mataku untuk yang kedua kali, napasnya terlalu dekat dengan bibirku, dekat dan sangat dekat. Aku bahkan mengulum bibir karena cemas dengan yang akan dilakukannya. Aku yakin dia ingin menciumku! Gila!

Tapi, tunggu dulu, sepertinya aku bisa memperalatnya!

Bersambung 

Sebelum baca cerita ini, teman-teman wajib baca cerita pertamanya  ya, bar alurnya nyambung.

Cerita pertama: Shelomita (Mencintai Istri Komandan)

Ilustrasi sering aku share di story WA 081327499949

Terima kasih ❤