Red Island workspace itu nama yang diberikan Nev untuk pavilliun keluarga yang Ia alih fungsi sebagai tempat usahanya. Pavilliun persegi panjang berdinding kayu dengan bale di bagian depan, rumah utama dibagian tengah dan pawon di belakang.
Workspacenya terletak di dusun Pancer, tak jauh dari pantai Pulau Merah yang ramai dikunjungi turis karena ombak besar dan keindahan pantainya. Nev tak berpikir untuk membuka homestay seperti warga dusun lainnya, Ia pikir sudah terlalu banyak homestay disekitar situ.
Nev menangkap peluang lain yang lebih menjanjikan, space office untuk pelaku start up yang mungkin sedang liburan dan butuh fasilitas kerja untuk memantau perkembangan bisnisnya. Untuk itu Ia mengalih fungsikan sebagian ruang di pavilliun untuk meja meja kerja, sofa duduk, computer dan internet berkecepatan tinggi.
Tak murah, tapi Ia cukup puas dengan hasilnya dan tak merasa menyesal menghabiskan uang hasil penjualan mobilnya untuk merintis bisnis ini. Apalagi Shan yang diajaknya tinggal di pavilliun cukup membantu pekerjaannya. Shan yang cepat menyesuaikan diri cekatan dalam merapikan workspace, menyusun menu, memasak dan membuat minuman bagi pelanggan yang datang.
“Rencananya aku akan mengubah pavilliun ini menjadi workspace. Kalau kau mau tinggal kau harus membantu pekerjaanku disini” pertama kali Mereka datang Nev sudah memberi gambaran apa yang akan dilakukannya.
Ia membuka pintu pavilliun dan menyilakan Shan masuk.
‘Aku bisa mencuci bajumu, merapikan rumah, memasak dan membuat teh atau kopi.' Shan melangkah ke dalam sembari menunjukkan apa yang ditulisnya.
Wajahnya menatap canggung. Dengan binar matanya yang bulat, hidung bangir dan wajah oval khas Indonesia. Membaca jawabannya membuat Nev merasa senang sekaligus cemas.
“Kau tak perlu mencuci pakaianku. Aku bisa melakukannya sendiri atau membawanya ke laundry.” Nev tak mungkin membiarkan Shan menyadari kalau Ia seorang pria hanya dari mencuci boxernya saja. Ia yakin Shan akan menganggapnya waria kalau tahu Ia pria yang berdandan seperti wanita. Shan juga mungkin akan memilih mencari pekerjaan lain daripada tinggal seatap dengan sosok yang dikiranya banci.
‘Baiklah.’ Shan menyapukan pandang pada ruang tamu berukuran sedang dengan kursi tamu dan buffet jati yang melengkapinya. Dari ruang tamu Ia melihat koridor selebar dua meter menuju ruangan lain.
“Biar kutunjukkan.” Nev yang menyadari mungkin Shan ingin tahu seperti apa pavilliunnya menyuruhnya mengikutinya.
Koridor tersebut tersambung pada tiga kamar di kanan dan berujung pada ruang keluarga yang menyatu dengan dapur kering.
“Ini kamarku.” Nev menunjuk kamar utama yang pertama mereka lewati.
“Ini kamar mandi untuk tamu.” Nev membuka sedikit pintu kamar mandi yang diapit dua kamar tidur.
“Dan ini kamarmu.” Nev mengetuk pada kamar paling ujung belakang dekat ruang keluarga.
“Sepertinya kau tidak bawa banyak baju.” Nev menggumam saat matanya bertumpu pada ransel yang tersampir di pundak Shan.
Shan mengangguki.
“Aku punya beberapa baju yang bisa kau pakai. Pakaian dalammu besok kita beli di kota. Sekalian kita belanja persediaan dapur. Sekarang kau boleh istirahat.”
‘Terima kasih.’ Shan menulis dikertas sebelum masuk ke kamarnya.
Begitu pintu ditutup dari dalam Nev baru beranjak ke kamarnya sendiri. Melepas high heelnya dan menjatuhkan handbag diranjang. Ia mengeluarkan tisu basah dan beranjak ke depan lemari kaca.
Menghapus sisa make up-nya yang masih menempel di wajah, melepas bulu mata palsunya, rambut palsunya, blus dan rok, serta bra berikut silicon padat yang Ia biarkan jatuh dilantai.
Ia hanya menyisakan boxer yang membalut miliknya. Tanpa property wanita yang dikenakannya Ia benar-benar seorang pria. Dengan garis wajah tegas, hidung tinggi, bibir tipis, rambut pendek berantakan dan tubuh atletis yang Ia punya. Ia sempurna.
Kesempurnaan tanpa cela menurut Shan. Selain cantik, Nev yang dikenalnya di bandara juga baik hati. Ia memberi Shan tempat berteduh dan pekerjaan di workspace yang baru dirintisnya. Mungkin kalau tidak ada Nev waktu itu Shan sudah jadi gelandangan di Banyuwangi.
Kota yang Shan pilih untuk melarikan semua sakit hati dan kesedihannya setelah semua peristiwa yang dialaminya. Ia tak berpikir panjang, kalau sebenarnya Ia tak punya saudara atau kenalan disana. Ia hanya mengikuti kata hatinya yang berbisik “Jauhi metropolitan kalau kau tak mau terluka. Juga jangan mendatangi kota besar kalau kau tak ingin bertemu penjahat kelamin lagi.”
Login untuk melihat komentar!