Trauma Shan
Nev memutuskan tidur di kamar Shan malam ini, Ia ingin tahu lebih banyak tentang gadis itu. Tentang rahasia yang selama ini disembunyikannya, tentang traumanya yang mungkin menyebabkan Shan menangis saat Nev pertama kali melihatnya.

“Dimana orang tuamu?” Nev memiringkan tubuhnya menghadap Shan.

Mereka berbaring diranjang Shan berhadap-hadapan.

“Mereka sudah meninggal. Tewas kecelakaan saat pergi hajatan naik sepeda motor."

“Itu kenapa kau tinggal bersama Paman dan Bibimu?” Nev menyisir rambut Shan dengan buku jarinya.

Shan mengangguki “Mereka menjual rumah orang tuaku sehingga aku harus tinggal bersama mereka. 

Awalnya semua baik-baik saja saat anak Paman kuliah di Bandung. Tapi pertengahan tahun lalu ia di DO dari kampusnya. Sejak itu Ia dirumah seharian.”

“Kau?”

“Aku bekerja di mini market sampai peristiwa itu terjadi” Shan tak ingin mengingatnya. Namun  entah kenapa Ia ingin menceritakan pada Nev. Mungkin karena Nev satu-satunya orang yang ingin Ia ajak berbagi kepedihannya. Nev-nya yang bisa Ia percaya dan mampu menjaganya.

“Aku baru lulus SMA dan mendapatkan pekerjaan di mini market saat Alvin kembali ke rumah.” Shan memulai ceritanya.


Alvin anak semata wayang Paman dan Bibinya. Karena anak semata wayang, orang tua Alvin tak terlalu ambil pusing putranya di DO dari kampus.

Bibi-nya waktu itu hanya bilang “Cari kampus di Jakarta untuk melanjutkan kuliah.”

“Jangan sampai ayah dengar kamu di DO lagi."  Paman menimpali.

Alvin mengiyakan, namun Ia tak pernah pergi mencari kampus. Ia hanya duduk –duduk dirumah main computer atau ponselnya. 
Kadang Shan mendapati Alvin tengah memandanginya.

Namun Shan tak terlalu ambil pusing karena Ia sudah terlalu letih bekerja. Ia bekerja shift, kadang pulang sore, kadang pulang malam. Sampai suatu hari saat Paman dan Bibi tak ada dirumah dan Alvin yang membukakannya pintu.

“Mas Alvin.” Shan menatap bingung. Ini bukan kebiasaan Alvin membukakan pintu. Shan punya kunci cadangan rumah dan tak perlu dibukakan.

“Baru pulang shan?” 

Masih dengan perasaan heran shan mengangguki dan masuk ke dalam “Paman dan Bibi mana?”

“Ibu ikut Ayah family day kantor. Mungkin tidak pulang.” Alvin berjalan mendekat dan tersenyum kepadanya. Senyum yang sebelumnya tak pernah Ia lihat di wajah Alvin saat pemuda itu tertangkap Shan memperhatikannya.

“Oh.” Shan mulai merasa tak nyaman.

“Mau nemenin nonton film nggak?” 

Shan menggeleng “Maaf mas, saya baru pulang kerja. Butuh istirahat.”

Shan hendak berlalu, namun tangan Alvin sigap menariknya hingga Shan menubruk pemuda itu.

“Kamu boleh istirahat kalau sudah ngasih ini ke aku.” Alvin menangkup wajah Shan dan menempelkan Bibirnya. Ia memindahkan tangannya ke bokong shan dan meremasnya.
Shan terkejut, ia reflek mendorong tubuh Alvin menjauh “MAS! MAS KOK TEGA GINIIN SAYA?”

Alvin mengusap bibirnya dengan ibu jari “Lho kamu kan numpang disini. Wajar dong kalau saya minta bayaran. Lagian cuma ciuman.”

Shan mengepalkan tangannya, matanya berkaca. Ia tak mengira akan di rendahkan seperti ini. Ia ingin sekali membantah, kalau Ia tinggal disana karena rumah orang tuanya dijual Pamannya. Tapi percuma, Alvin sudah kehilangan akal. Satu-satunya yang harus Ia lakukan adalah ‘Lari!'

Shan berlari ke kamarnya. Alvin berusaha mengejar. Namun langkah Shan yang ringan membuat Shan lebih cepat sampai dikamar. Sementara Alvin yang bertumbuh gempal hanya bisa terengah-engah begitu tiba dimuka kamarnya.

“BUKA” Alvin berteriak sambil menarik-narik gagang pintu.

Shan yang takut kuncinya jebol buru-buru menghubungi Bibinya dan berteriak histeris begitu ponsel diangkat.

Mereka pulang cepat malam itu dan tak meneruskan family day. Mereka tiba larut malam dan tampak gusar.

“Apa yang terjadi?” suara Bibi memberinya keberanian membuka pintu kamar dan keluar.

“Hanya iseng.” Alvin menjawab santai.

“Itu bukan iseng. Kau melecehkanku! Kau meremas bokongku! Kau..
Aku akan melaporkanmu ke polisi!” Shan histeris dalam kemarahan.

Ia melihat ke Paman dan Bibinya. Mereka tak tampak mendukung atau membelanya, sebaliknya mereka tampak panik.

“Shan kau tak perlu sampai melapor ke polisi. Ia hanya iseng. Tolong lupakan perbuatannya dan anggap tak pernah terjadi." Bibi menyentuh lengannya.

“APA?” Shan melihat tak percaya. Ia melihat Pamannya, pria tua itu mengangguk sepakat dengan istrinya.

“Tapi Dia.. “

“Kami sudah memberimu tumpangan tinggal. Tak bisakah kau melupakannya? Bibi yakin alvin tak akan mengulanginya. Iya kan vin?” 

Alvin hanya mengangguk angguk saja, tapi matanya jelas tersenyum penuh kemenangan.

“Tidurlah. Besok kau harus kerja.” Paman menepuk bahunya.

Paman dan Bibinya lalu meninggalkannya terpaku menatap Alvin yang menyeringai lebar. Dan sisa malam yang dilaluinya seolah neraka, Ia tak lagi ingin tinggal. Ia memutuskan mengemasi beberapa helai pakaiannya dan sebelum pagi menyongsong Ia sudah meninggalkan rumah Paman dan Bibinya.

“Aku sedih atas apa yang terjadi padamu.” Nev meraih jemari Shan dan mengusap punggung tangannya.

“Apa kau masih akan memecatku?” Shan menatap Nev yang berbaring miring memandanginya.

Nev menggeleng “Kau masih bisa bekerja disini. Aku akan membelamu. Kau tenang saja.” 

Shan merasa lega, Ia mengenggam erat jemari Nev “Terima kasih nev. Aku tak tahu harus membalas dengan apa kebaikanmu. Kau bos sekaligus kakak perempuan terbaik yang kupunya.”



Komentar

Login untuk melihat komentar!