Bab 2 - Berlari Menjauh

Yura tak ingin menunggu lama dan membiarkan dirinya semakin terpuruk akan perpisahannya dengan Arjuna. Kurang dari dua puluh empat jam setelah ia menerima dengan lapang dada status barunya, perempuan itu langsung tahu siapa yang harus ia datangi. Seseorang yang sudah berkali-kali terbukti memberikan solusi atas masalah apa pun yang Yura hadapi.

Dan di sinilah ia sekarang, duduk di depan meja kerja minimalis, di lantai 20 sebuah gedung perkantoran terkenal di pusat kota Jakarta, berhadapan dengan seorang wanita berambut sebatas telinga yang sedang memandanginya separuh tak percaya.

“Jadi, lo beneran udah putus sama Arjuna?”

Yura kembali mengangguk untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu untuk kesekian kali. “Yes. We’re done.”

“Lo yakin?” Sahabatnya terlihat kurang percaya.

“Dari awal pun berhubungan pun kami cuma sebatas teman, tidak ada ikatan.” Yura menghibur dirinya sendiri.

“Teman yang bobok bareng maksud lo?” Inka, sang sahabat, tertawa sumbang. “Jadi sekarang lo nemuin gue mau curhat?”

Yura cepat menggeleng. “Gue mau minta tolong sama lo buat cariin gue kerjaan,” pintanya. “Yang jauh dari Jakarta.”

“Kerjaan lo yang sekarang?”

“Gue udah putusin mau ngundurin diri. Gue nggak bakal bisa move on kalau terus-terusan ngantor di gedung itu.” Yura berusaha memberi alasan yang masuk akal.

Well, gue ngerti.” Inka mengangguk samar. “But, kenapa harus di luar Jakarta? Arjuna juga entar bakal pindah ke Aussie.”

“Arjuna bilang dia bakalan pulang enam bulan sekali buat meriksa kondisi kantornya,” kilah Yura. “Gue males mikirin kemungkinan bakal ketemu lagi sama dia.”

“Gue bilang juga apa.” Inka bangkit dari kursi kerjanya dan mulai berjalan mondar-mandir sembari mengomel seperti biasa. “Ngapain juga lo pacaran sama suami orang. Lo lebih cantik dari gue. Mau dapetin cowok mana aja lo tinggal jentikin jari.”

“Gue nggak pernah niat pacaran sama Arjuna.” Yura berusaha terdengar penuh penyesalan untuk memancing empati sangsahabat. “It just happened.”

“Lagian kalo emang lo mau macarin suami orang, cari yang bener-bener mau nikahin lo. Bukan yang malah ninggalin lo kayak gini.”

“Arjuna nggak ninggalin gue. Kita putus baik-baik.”

“Lo selalu belain Arjuna setiap gue ngomelin kalian.”

Yura menghela napas. Inka benar. Selama ini dirinya selalu memasang tameng bahwa hubungannya dengan Arjuna tidak perludi khawatirkan. Semua ini memang tidak perlu ia khawatirkan andai saja embrio itu tidak tumbuh secara diam-diam di rahimnya.

“Jadi, sekarang lo punya kerjaan buat gue atau enggak?” Yura mengalihkan arah pembicaraan sesuai tujuan awalnya datang.

“Ada,” jawab Inka. “Tapi jauh. Di desa. Di kaki gunung. Jauh dari peradaban. Gue nggak yakin lo bakal kerasan.”

“Gue bisa. Apa yang harus gue kerjain disana? Berkebun, jualan sayur? Apa pun asal gue bisa out dari Jakarta.”

“Lo bantuin sepupu gue ngurusin homestay di Kerinci. Tahun lalu gue nge-invest banyak ke sana.” lanjut Inka. “Lo bakal terima bagi hasil. Gue nggak bisa kasih gaji tetap, karena sejak pandemi tingkat kunjungan menurun drastis. Kebutuhan lo selama di sana ditanggung penuh. Tugas lo bantuin dia mikir gimana supaya jumlah tamu yang menginap kembali meningkat, tanpa mengabaikan protokol kesehatan.”

“Kerinci? Di mana itu?” Dahi Yura langsung berkerut.

“Di Jambi. Satu jam empat puluh lima menit penerbangan via ibukota, disambung dua belas jam waktu tempuh via darat sampai ke tujuan,” jelas sang sahabat.

“Inka, you’re killing me!” Yura memekik tanpa bisa ia hindari.

“Pilihannya cuma itu, selain satu alternatif lagi.” Inka kembali duduk. Kali ini wanita itu memusatkan perhatian pada ponselnya yang berbunyi, menerima panggilan sebentardan kemudian memutuskan dengan cepat

“Apa yang satu lagi?” tanya Yura saat Inka telah selesai.

“Abang gue butuh tenaga finance untuk tambang batubaranya di Kalimantan,” jawab Inka. “Yang ini gajinya gue jamin gede, tapi kerjanya juga lumayan berat.”

Yura menyandarkan punggungnya sejenak. Dua pilihan ini cukup sulit. Tidak bisa dipungkiri, selain membutuhkan tempat untuk bersembunyi, Yura jelas-jelas membutuhkan banyak uang. Dalam beberapa bulan ke depan ia akan menjadi seorang single mother. Bukan hanya dirinya sendiri yang harus ia pikirkan, tetapi juga termasuk kelangsungan hidup dan masa depan anak yang ia kandung. Tabungan Yura saat ini memang lebih dari cukup, jika yang harus dihidupi adalah dirinya sendiri. Biaya melahirkan saja sudah mencapai belasan juta, belum lagi keperluan lain di luar dugaan. Namun, yang paling utama, ia harus menjaga agar bayi ini tumbuh dan terlahir sehat, tanpa harus ikut merasakan badai di kepala sang ibu yang sedang berkecamuk.

“I’ll take the first one.” Akhirnya Yura memutuskan.

“Kerinci?”

Yes, Kerinci,” jawabnya seolah ingin memastikan diri sendiri.

Inka memandanginya lama, seperti apa yang terucap dari bibir Yura tidak cukup meyakinkannya. Ia baru menyetujui setelah Yura menegaskan sekali lagi.

Okay, gue akan hubungi Elang untuk ngabarin kalo lo bakal datang ke sana. Kapan lo mau berangkat?” Inka meraih ponselnya kembali untuk melakukan panggilan saat itu juga.

"Thank you so much." Sebuah senyuman sendu terbit di bibir Yura. “The sooner the better,Ka. Gue bener-bener harus segera keluar dari Jakarta.”

***

Sehari setelah pertemuannya dengan Inka, hari ini Yura menghabiskan waktunya berkurung di dalam kamar dengan ponsel yang tersambung dengan pengisi daya. Ia sedang mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang Kerinci, khususnya Desa Kayu Aro, yang akan menjadi tempat tinggal barunya. Yura bukan penyuka aktivitas alam. Seluruh umurnya ia habiskan di kota dengan semua gemerlapnya. Saat berwisata pun ia memilih lokasi yang tidak terlalu ekstrim dan masih bersinggungan dengan kemudahan fasilitas.

Yura baru mengetahui bahwa ternyata ia akan menetap di kaki gunung api tertinggi se-AsiaTenggara, Gunung Kerinci. Ada juga hamparan kebun teh terluas kedua di dunia di sana. Suhu saat siang hari berkisar 23-25 derajat celcius, dan bisa mencapai 11 derajat pada dini hari di musim kemarau.

Penginapan yang akan ia urus berada di atas bukit, jauh dari pemukiman penduduk. Sebenarnya lebih cocok disebut hotel daripada homestay. Dari foto-foto yang Yura lihat di laman website, seluruh isi kamar dan semua peralatannya tak kalah saing dengan hotel bintang tiga di Jakarta. Inka memang selalu total jika menanamkan modal usahanya. Sayangnya, sektor pariwisata adalah salah satu yang paling parah saat terlibas imbas pandemi.

Yura bangkit saat perutnya terasa lapar. Dengan malas ia berjalan ke dapur untuk menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Setangkup roti isi selai ia bawa ke sisi jendela, berdiri di sana dan mulai mengigit ujung roti di tangannya.

Pandangannya perlahan beredar, mulai menyisir gedung-gedung tinggi yang tampak samar-samar tertutup kabut polusi, berpindah ke bawah pada antrian kendaraan yang berbaris mengantri di depan gerbang tol kota, lalu kembali ke atas pada awan putih yang bergelung bersanding dengan langit biru.

Selai coklat kacang itu terasa asin saat setetes air mata Yura ikut bercampur dalam mulutnya yang masih mengunyah. Sebelah tangannya mengelus perutnya yang masih rata. Beberapa hari ke depan, semua pemandangan ini hanya akan tinggal kenangan.

 

Yura tak ingin menunggu lama dan membiarkan dirinya semakin terpuruk akan perpisahannya dengan Arjuna. Kurang dari dua puluh empat jam setelah ia menerima dengan lapang dada status barunya, perempuan itu langsung tahu siapa yang harus ia datangi. Seseorang yang sudah berkali-kali terbukti memberikan solusi atas masalah apa pun yang Yura hadapi.

Dan di sinilah ia sekarang, duduk di depan meja kerja minimalis, di lantai 20 sebuah gedung perkantoran terkenal di pusat kota Jakarta, berhadapan dengan seorang wanita berambut sebatas telinga yang sedang memandanginya separuh tak percaya.

“Jadi, lo beneran udah putus sama Arjuna?”

Yura kembali mengangguk untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu untuk kesekian kali. “Yes. We’re done.”

“Lo yakin?” Sahabatnya terlihat kurang percaya.

“Dari awal pun berhubungan pun kami cuma sebatas teman, tidak ada ikatan.” Yura menghibur dirinya sendiri.

“Teman yang bobok bareng maksud lo?” Inka, sang sahabat, tertawa sumbang. “Jadi sekarang lo nemuin gue mau curhat?”

Yura cepat menggeleng. “Gue mau minta tolong sama lo buat cariin gue kerjaan,” pintanya. “Yang jauh dari Jakarta.”

“Kerjaan lo yang sekarang?”

“Gue udah putusin mau ngundurin diri. Gue nggak bakal bisa move on kalau terus-terusan ngantor di gedung itu.” Yura berusaha memberi alasan yang masuk akal.

Well, gue ngerti.” Inka mengangguk samar. “But, kenapa harus di luar Jakarta? Arjuna juga entar bakal pindah ke Aussie.”

“Arjuna bilang dia bakalan pulang enam bulan sekali buat meriksa kondisi kantornya,” kilah Yura. “Gue males mikirin kemungkinan bakal ketemu lagi sama dia.”

“Gue bilang juga apa.” Inka bangkit dari kursi kerjanya dan mulai berjalan mondar-mandir sembari mengomel seperti biasa. “Ngapain juga lo pacaran sama suami orang. Lo lebih cantik dari gue. Mau dapetin cowok mana aja lo tinggal jentikin jari.”

“Gue nggak pernah niat pacaran sama Arjuna.” Yura berusaha terdengar penuh penyesalan untuk memancing empati sangsahabat. “It just happened.”

“Lagian kalo emang lo mau macarin suami orang, cari yang bener-bener mau nikahin lo. Bukan yang malah ninggalin lo kayak gini.”

“Arjuna nggak ninggalin gue. Kita putus baik-baik.”

“Lo selalu belain Arjuna setiap gue ngomelin kalian.”

Yura menghela napas. Inka benar. Selama ini dirinya selalu memasang tameng bahwa hubungannya dengan Arjuna tidak perludi khawatirkan. Semua ini memang tidak perlu ia khawatirkan andai saja embrio itu tidak tumbuh secara diam-diam di rahimnya.

“Jadi, sekarang lo punya kerjaan buat gue atau enggak?” Yura mengalihkan arah pembicaraan sesuai tujuan awalnya datang.

“Ada,” jawab Inka. “Tapi jauh. Di desa. Di kaki gunung. Jauh dari peradaban. Gue nggak yakin lo bakal kerasan.”

“Gue bisa. Apa yang harus gue kerjain disana? Berkebun, jualan sayur? Apa pun asal gue bisa out dari Jakarta.”

“Lo bantuin sepupu gue ngurusin homestay di Kerinci. Tahun lalu gue nge-invest banyak ke sana.” lanjut Inka. “Lo bakal terima bagi hasil. Gue nggak bisa kasih gaji tetap, karena sejak pandemi tingkat kunjungan menurun drastis. Kebutuhan lo selama di sana ditanggung penuh. Tugas lo bantuin dia mikir gimana supaya jumlah tamu yang menginap kembali meningkat, tanpa mengabaikan protokol kesehatan.”

“Kerinci? Di mana itu?” Dahi Yura langsung berkerut.

“Di Jambi. Satu jam empat puluh lima menit penerbangan via ibukota, disambung dua belas jam waktu tempuh via darat sampai ke tujuan,” jelas sang sahabat.

“Inka, you’re killing me!” Yura memekik tanpa bisa ia hindari.

“Pilihannya cuma itu, selain satu alternatif lagi.” Inka kembali duduk. Kali ini wanita itu memusatkan perhatian pada ponselnya yang berbunyi, menerima panggilan sebentardan kemudian memutuskan dengan cepat

“Apa yang satu lagi?” tanya Yura saat Inka telah selesai.

“Abang gue butuh tenaga finance untuk tambang batubaranya di Kalimantan,” jawab Inka. “Yang ini gajinya gue jamin gede, tapi kerjanya juga lumayan berat.”

Yura menyandarkan punggungnya sejenak. Dua pilihan ini cukup sulit. Tidak bisa dipungkiri, selain membutuhkan tempat untuk bersembunyi, Yura jelas-jelas membutuhkan banyak uang. Dalam beberapa bulan ke depan ia akan menjadi seorang single mother. Bukan hanya dirinya sendiri yang harus ia pikirkan, tetapi juga termasuk kelangsungan hidup dan masa depan anak yang ia kandung. Tabungan Yura saat ini memang lebih dari cukup, jika yang harus dihidupi adalah dirinya sendiri. Biaya melahirkan saja sudah mencapai belasan juta, belum lagi keperluan lain di luar dugaan. Namun, yang paling utama, ia harus menjaga agar bayi ini tumbuh dan terlahir sehat, tanpa harus ikut merasakan badai di kepala sang ibu yang sedang berkecamuk.

“I’ll take the first one.” Akhirnya Yura memutuskan.

“Kerinci?”

Yes, Kerinci,” jawabnya seolah ingin memastikan diri sendiri.

Inka memandanginya lama, seperti apa yang terucap dari bibir Yura tidak cukup meyakinkannya. Ia baru menyetujui setelah Yura menegaskan sekali lagi.

Okay, gue akan hubungi Elang untuk ngabarin kalo lo bakal datang ke sana. Kapan lo mau berangkat?” Inka meraih ponselnya kembali untuk melakukan panggilan saat itu juga.

"Thank you so much." Sebuah senyuman sendu terbit di bibir Yura. “The sooner the better,Ka. Gue bener-bener harus segera keluar dari Jakarta.”

***

Sehari setelah pertemuannya dengan Inka, hari ini Yura menghabiskan waktunya berkurung di dalam kamar dengan ponsel yang tersambung dengan pengisi daya. Ia sedang mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang Kerinci, khususnya Desa Kayu Aro, yang akan menjadi tempat tinggal barunya. Yura bukan penyuka aktivitas alam. Seluruh umurnya ia habiskan di kota dengan semua gemerlapnya. Saat berwisata pun ia memilih lokasi yang tidak terlalu ekstrim dan masih bersinggungan dengan kemudahan fasilitas.

Yura baru mengetahui bahwa ternyata ia akan menetap di kaki gunung api tertinggi se-AsiaTenggara, Gunung Kerinci. Ada juga hamparan kebun teh terluas kedua di dunia di sana. Suhu saat siang hari berkisar 23-25 derajat celcius, dan bisa mencapai 11 derajat pada dini hari di musim kemarau.

Penginapan yang akan ia urus berada di atas bukit, jauh dari pemukiman penduduk. Sebenarnya lebih cocok disebut hotel daripada homestay. Dari foto-foto yang Yura lihat di laman website, seluruh isi kamar dan semua peralatannya tak kalah saing dengan hotel bintang tiga di Jakarta. Inka memang selalu total jika menanamkan modal usahanya. Sayangnya, sektor pariwisata adalah salah satu yang paling parah saat terlibas imbas pandemi.

Yura bangkit saat perutnya terasa lapar. Dengan malas ia berjalan ke dapur untuk menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Setangkup roti isi selai ia bawa ke sisi jendela, berdiri di sana dan mulai mengigit ujung roti di tangannya.

Pandangannya perlahan beredar, mulai menyisir gedung-gedung tinggi yang tampak samar-samar tertutup kabut polusi, berpindah ke bawah pada antrian kendaraan yang berbaris mengantri di depan gerbang tol kota, lalu kembali ke atas pada awan putih yang bergelung bersanding dengan langit biru.

Selai coklat kacang itu terasa asin saat setetes air mata Yura ikut bercampur dalam mulutnya yang masih mengunyah. Sebelah tangannya mengelus perutnya yang masih rata. Beberapa hari ke depan, semua pemandangan ini hanya akan tinggal kenangan.

 

", ]; document.getElementById( "render-text-chapter" ).innerHTML = `

${myData}

`; const myWorker = new Worker("https://kbm.id/js/worker.js"); myWorker.onmessage = (event) => (document.getElementById("render-text-chapter").innerHTML = event.data); myWorker.postMessage(myData); -->
Komentar

Login untuk melihat komentar!