Harum lavender yang Yura hidu sesaat setelah kesadarannya terkumpul menegaskan tangkapan matanya yang masih separuh samar, bahwa ia tidak terbangun di atas ranjangnya sendiri seperti biasa. Seprai kusut di sisi sebelah kirinya juga menjelaskan bahwa ia tidak hanya tidur sendirian tadi malam. Ada seseorang bersamanya. Seseorang yang aroma tubuhnya bahkan masih melekat jelas di kulit Yura.
Lalu, satu per satu keping ingatan itu perlahan hadir di pelupuk matanya. Keping ingatan yang awalnya memancing segaris senyum dan rona merah di pipi, tetapi secara perlahan menerbitkan sesal di hatinya. Yura yakin bahwa ia telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Tidak untuk dirinya, juga untuk seorang perempuan di luar sana yang telah terkhianati cintanya.
Semalam, sudah lewat dini hari saat Arjuna bersikeras untuk mengantarkannya pulang. Ide Yura untuk menumpang taksi online, ditolak mentah-mentah oleh lelaki itu. Dengan dalih merasa bersalah telah menahan Yura untuk menemaninya berbincang hingga menjelang pagi, Arjuna berhasil membuat Yura menerima tawarannya. Arjuna juga berhasil membuat Yura setuju untuk singgah sebentar di apartemen lelaki itu. Arjuna beralasan perlu mengambil pakaian ganti untuk kembali ke kantor. Ada jadwal pertemuan yang harus ia hadiri esok pagi-pagi sekali. Menurut Arjuna, ia sudah terbiasa menginap di ruang kerjanya agar tidak terlambat hadir.
Kesan yang pertama Yura ingat saat mereka tiba, unit Arjuna bukanlah seperti rumah yang biasa ditempati oleh pasangan menikah. Yura sudah sering singgah di beberapa apartemen teman lelakinya. Milik Arjuna tidak jauh berbeda dengan mereka. Terlalu minimalis. Terlalu praktis. Nyaris tanpa sentuhan perempuan.
Tak ada indentitas apa pun yang menunjukkan Arjuna telah menikah. Tak ada foto pernikahan terpajang di dinding. Sebagian hanya tertutupi wallpaper nuansa kelabu bergaris datar dan beberapa lukisan abstrak. Ada sebuah jaket denim yang tersampir di sisi sofa, juga beberapa tumpukan buku di meja yang berbeda.
“Ini unit pribadi saya,” jelas Arjuna sebelum Yura sempat bertanya. “Istri saya tidak tinggal di sini.”
Kalimat itu membuat langkah Yura yang berjalan di belakang Arjuna, terhenti begitu saja.
“Maksud kamu, kalian hidup terpisah?” Yura bertanya heran.
“Tidak selalu, hanya di saat-saat tertentu saja.” Arjuna mempersilahkannya duduk. “Hanya saat saya butuh privasi.”
Yura ingin bertanya lebih jauh, tetapi sesuatu dalam dirinya mengingatkan, agar tidak perlu ikut campur pada kehidupan lelaki yang bahkan baru ia kenal kurang dari dua puluh empat jam. Rasanya salah jika ia terlalu ingin tahu.
Setuju untuk singgah pada perkenalan pertama pun sudah terasa salah. Salah jika lelaki yang bersamanya saat ini adalah Arjuna Wisesa.
“Mau minum apa?” Suara Arjuna yang menegur membuat Yura berhenti berdebat dengan isi kepalanya. “Saya cuma punya stok minuman isotonik dan jus buah instan.”
“Jus buah,” jawab Yura singkat. “Apa kita masih lama?”
“Jeruk atau apel?” Arjuna lanjut bertanya. “Ya, kita masih lama.”
Arjuna datang dengan sekotak jus buah yang ia jepit di samping lengan, sebuah gelas kosong di tangan kiri, serta sebuah cangkir dengan asap mengepul di tangan kanannya. Lelaki itu kemudian meletakkan isi tangannya di atas meja, menuangkan cairan dalam kotak pada gelas kosong, lalu duduk disamping Yura.
“Sudah hampir dua minggu ini saya tidak sempat restock. Cuma ada jeruk yang tersisa.” Arjuna menyerahkan gelas tersebut pada Yura dan menyesap minuman beraroma kopi dari cangkirnya sendiri.
Untuk sesaat tidak ada perbincangan di antara keduanya. Yura masih mengikuti keinginan matanya memandang sekeliling. Arjuna hanya duduk diam memandangi Yura, terlalu kentara hingga memancing jengah.
“Atas alasan apa kita masih harus berada lama di sini?” Yura meminta sedikit penjelasan dari Arjuna. “Kamu bisa segera berkemas dan mengantar saya pulang.”
Lelaki di sampingnya menatap Yura sekilas sebelum menyesap kopinya untuk kedua kali. “Itu alasannya. Entah mengapa saya tidak ingin melihat kamu pulang.”
Yura meletakkan kembali gelas jusnya tanpa diminum. Firasatnya sejak tadi satu per satu mulai terlihat nyata. Arjuna tidak secara kebetulan menyapanya di meja hidangan, juga bukan dengan sukarela menawarkan diri untuk mengantarnya. Lelaki ini telah mengincarnya, secara sengaja membuatnya nyaman dengan semua obrolan mereka. Tiba-tiba rasa takut merasuki pikiran Yura. Ia menggeser posisi duduknya sedikit menjauh, dan itu membuat Arjuna spontan tertawa.
“Easy, Yura.Saya cuma butuh ditemani mengobrol. Beberapa hari terakhir sedikit berat untuk saya.” Arjuna berkeluh kesah. “Satu jam lagi, setelah itu saya akan mengantarmu.”
Satu jam yang disebutkan Arjuna berusaha mereka lakoni sebagai teman. Arjuna berbincang sekilas tentang urusan di kantornya yang sedikit menyita perhatian. Juga sedikit tentang sang istri yang ternyata sedang bertugas ke luar negeri untuk beberapa hari. Selebihnya Arjuna yang meminta Yura bercerita. Lelaki itu mendengarkan dengan baik, tanpa menyela jika Yura tidak meminta pendapatnya.
Satu jam berlalu saat Yura tahu Arjuna sedang mengulur waktu. Lelaki itu mengajak Yura untuk memasak pancake di dapurnya yang seperti tak pernah terpakai, hanya karena ia tiba-tiba mengeluh lapar dan ingat masih ada sekotak es krim cokelat di lemari pendinginnya. Lelaki itu ikut membantu Yura membilas piring dan mangkuk setelah selesai mereka gunakan bersama. Lelaki itu mencium Yura saat tangannya masih basah di bawah guyuran air keran yang tetap menyala.
Lelaki itu mencium Yura, dan Yura tidak menolak.
Yura merasakan tetesan air lolos terjatuh melalui kerah kemeja satinnya, saat jemari Arjuna berpindah tepat di bawah telinga, membuat anak-anak rambutnya pun terasa basah. Ia tak berani membalas tatapan Arjuna saat bibir mereka terpisah, pun tak berani melawan saat lengan lelaki itu menuntunnya berjalan ke dalam kamar dan membaringkannya di sebuah ranjang berseprai harum.
Yura justru berani membantah logikanya yang terus-terusan berkata salah, saat Yura menuruti hasratnya berbisik bahwa yang ia rasakan untuk Arjuna adalah benar.
***
Yura tidak sedang mabuk. Segelas jus jeruk tidak akan bisa membuat mabuk. Tingkat kesadarannya penuh. Yura sadar ia mengangguk saat Arjuna meminta persetujuannya pada semua tahapan. Lelaki itu tidak memaksa. Arjuna membujuk, meminta, bahkan menghiba agar Yura menyerah dalam cumbunya.
Yura sadar ia menyukai rasa nyaman yang dihadirkan embusan napas lelaki itu saat menyapu permukaan kulitnya. Ia menyukai rasa unik saat telapak tangannya bersentuhan dengan sisi wajah lelaki itu yang separuh kasar. Ia menyukai lelucon-lelucon Arjuna yang entah bagaimana bisa diucapkan dengan ringan bahkan dalam situasi begitu intim.
Yura sadar ada sakit yang datang saat ia mengizinkan Arjuna menyentuhnya lebih dalam. Ia bisa saja meminta lelaki itu berhenti. Ia yakin Arjuna akan berhenti. Namun, yang Yura lakukan adalah menutup mata saat Arjuna berkali-kali bertanya kesediaannya.
Yura sadar, ia baru saja menjelma menjadi wanita pengganggu dalam rumah tangga Arjuna Wisesa.
Harum lavender yang Yura hidu sesaat setelah kesadarannya terkumpul menegaskan tangkapan matanya yang masih separuh samar, bahwa ia tidak terbangun di atas ranjangnya sendiri seperti biasa. Seprai kusut di sisi sebelah kirinya juga menjelaskan bahwa ia tidak hanya tidur sendirian tadi malam. Ada seseorang bersamanya. Seseorang yang aroma tubuhnya bahkan masih melekat jelas di kulit Yura.
Lalu, satu per satu keping ingatan itu perlahan hadir di pelupuk matanya. Keping ingatan yang awalnya memancing segaris senyum dan rona merah di pipi, tetapi secara perlahan menerbitkan sesal di hatinya. Yura yakin bahwa ia telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Tidak untuk dirinya, juga untuk seorang perempuan di luar sana yang telah terkhianati cintanya.
Semalam, sudah lewat dini hari saat Arjuna bersikeras untuk mengantarkannya pulang. Ide Yura untuk menumpang taksi online, ditolak mentah-mentah oleh lelaki itu. Dengan dalih merasa bersalah telah menahan Yura untuk menemaninya berbincang hingga menjelang pagi, Arjuna berhasil membuat Yura menerima tawarannya. Arjuna juga berhasil membuat Yura setuju untuk singgah sebentar di apartemen lelaki itu. Arjuna beralasan perlu mengambil pakaian ganti untuk kembali ke kantor. Ada jadwal pertemuan yang harus ia hadiri esok pagi-pagi sekali. Menurut Arjuna, ia sudah terbiasa menginap di ruang kerjanya agar tidak terlambat hadir.
Kesan yang pertama Yura ingat saat mereka tiba, unit Arjuna bukanlah seperti rumah yang biasa ditempati oleh pasangan menikah. Yura sudah sering singgah di beberapa apartemen teman lelakinya. Milik Arjuna tidak jauh berbeda dengan mereka. Terlalu minimalis. Terlalu praktis. Nyaris tanpa sentuhan perempuan.
Tak ada indentitas apa pun yang menunjukkan Arjuna telah menikah. Tak ada foto pernikahan terpajang di dinding. Sebagian hanya tertutupi wallpaper nuansa kelabu bergaris datar dan beberapa lukisan abstrak. Ada sebuah jaket denim yang tersampir di sisi sofa, juga beberapa tumpukan buku di meja yang berbeda.
“Ini unit pribadi saya,” jelas Arjuna sebelum Yura sempat bertanya. “Istri saya tidak tinggal di sini.”
Kalimat itu membuat langkah Yura yang berjalan di belakang Arjuna, terhenti begitu saja.
“Maksud kamu, kalian hidup terpisah?” Yura bertanya heran.
“Tidak selalu, hanya di saat-saat tertentu saja.” Arjuna mempersilahkannya duduk. “Hanya saat saya butuh privasi.”
Yura ingin bertanya lebih jauh, tetapi sesuatu dalam dirinya mengingatkan, agar tidak perlu ikut campur pada kehidupan lelaki yang bahkan baru ia kenal kurang dari dua puluh empat jam. Rasanya salah jika ia terlalu ingin tahu.
Setuju untuk singgah pada perkenalan pertama pun sudah terasa salah. Salah jika lelaki yang bersamanya saat ini adalah Arjuna Wisesa.
“Mau minum apa?” Suara Arjuna yang menegur membuat Yura berhenti berdebat dengan isi kepalanya. “Saya cuma punya stok minuman isotonik dan jus buah instan.”
“Jus buah,” jawab Yura singkat. “Apa kita masih lama?”
“Jeruk atau apel?” Arjuna lanjut bertanya. “Ya, kita masih lama.”
Arjuna datang dengan sekotak jus buah yang ia jepit di samping lengan, sebuah gelas kosong di tangan kiri, serta sebuah cangkir dengan asap mengepul di tangan kanannya. Lelaki itu kemudian meletakkan isi tangannya di atas meja, menuangkan cairan dalam kotak pada gelas kosong, lalu duduk disamping Yura.
“Sudah hampir dua minggu ini saya tidak sempat restock. Cuma ada jeruk yang tersisa.” Arjuna menyerahkan gelas tersebut pada Yura dan menyesap minuman beraroma kopi dari cangkirnya sendiri.
Untuk sesaat tidak ada perbincangan di antara keduanya. Yura masih mengikuti keinginan matanya memandang sekeliling. Arjuna hanya duduk diam memandangi Yura, terlalu kentara hingga memancing jengah.
“Atas alasan apa kita masih harus berada lama di sini?” Yura meminta sedikit penjelasan dari Arjuna. “Kamu bisa segera berkemas dan mengantar saya pulang.”
Lelaki di sampingnya menatap Yura sekilas sebelum menyesap kopinya untuk kedua kali. “Itu alasannya. Entah mengapa saya tidak ingin melihat kamu pulang.”
Yura meletakkan kembali gelas jusnya tanpa diminum. Firasatnya sejak tadi satu per satu mulai terlihat nyata. Arjuna tidak secara kebetulan menyapanya di meja hidangan, juga bukan dengan sukarela menawarkan diri untuk mengantarnya. Lelaki ini telah mengincarnya, secara sengaja membuatnya nyaman dengan semua obrolan mereka. Tiba-tiba rasa takut merasuki pikiran Yura. Ia menggeser posisi duduknya sedikit menjauh, dan itu membuat Arjuna spontan tertawa.
“Easy, Yura.Saya cuma butuh ditemani mengobrol. Beberapa hari terakhir sedikit berat untuk saya.” Arjuna berkeluh kesah. “Satu jam lagi, setelah itu saya akan mengantarmu.”
Satu jam yang disebutkan Arjuna berusaha mereka lakoni sebagai teman. Arjuna berbincang sekilas tentang urusan di kantornya yang sedikit menyita perhatian. Juga sedikit tentang sang istri yang ternyata sedang bertugas ke luar negeri untuk beberapa hari. Selebihnya Arjuna yang meminta Yura bercerita. Lelaki itu mendengarkan dengan baik, tanpa menyela jika Yura tidak meminta pendapatnya.
Satu jam berlalu saat Yura tahu Arjuna sedang mengulur waktu. Lelaki itu mengajak Yura untuk memasak pancake di dapurnya yang seperti tak pernah terpakai, hanya karena ia tiba-tiba mengeluh lapar dan ingat masih ada sekotak es krim cokelat di lemari pendinginnya. Lelaki itu ikut membantu Yura membilas piring dan mangkuk setelah selesai mereka gunakan bersama. Lelaki itu mencium Yura saat tangannya masih basah di bawah guyuran air keran yang tetap menyala.
Lelaki itu mencium Yura, dan Yura tidak menolak.
Yura merasakan tetesan air lolos terjatuh melalui kerah kemeja satinnya, saat jemari Arjuna berpindah tepat di bawah telinga, membuat anak-anak rambutnya pun terasa basah. Ia tak berani membalas tatapan Arjuna saat bibir mereka terpisah, pun tak berani melawan saat lengan lelaki itu menuntunnya berjalan ke dalam kamar dan membaringkannya di sebuah ranjang berseprai harum.
Yura justru berani membantah logikanya yang terus-terusan berkata salah, saat Yura menuruti hasratnya berbisik bahwa yang ia rasakan untuk Arjuna adalah benar.
***
Yura tidak sedang mabuk. Segelas jus jeruk tidak akan bisa membuat mabuk. Tingkat kesadarannya penuh. Yura sadar ia mengangguk saat Arjuna meminta persetujuannya pada semua tahapan. Lelaki itu tidak memaksa. Arjuna membujuk, meminta, bahkan menghiba agar Yura menyerah dalam cumbunya.
Yura sadar ia menyukai rasa nyaman yang dihadirkan embusan napas lelaki itu saat menyapu permukaan kulitnya. Ia menyukai rasa unik saat telapak tangannya bersentuhan dengan sisi wajah lelaki itu yang separuh kasar. Ia menyukai lelucon-lelucon Arjuna yang entah bagaimana bisa diucapkan dengan ringan bahkan dalam situasi begitu intim.
Yura sadar ada sakit yang datang saat ia mengizinkan Arjuna menyentuhnya lebih dalam. Ia bisa saja meminta lelaki itu berhenti. Ia yakin Arjuna akan berhenti. Namun, yang Yura lakukan adalah menutup mata saat Arjuna berkali-kali bertanya kesediaannya.
Yura sadar, ia baru saja menjelma menjadi wanita pengganggu dalam rumah tangga Arjuna Wisesa.
", ]; document.getElementById( "render-text-chapter" ).innerHTML = `
${myData}
`; const myWorker = new Worker("https://kbm.id/js/worker.js"); myWorker.onmessage = (event) => (document.getElementById("render-text-chapter").innerHTML = event.data); myWorker.postMessage(myData); -->Login untuk melihat komentar!