Part 7
Setelah memikirkannya matang-matang, kuputuskan untuk kembali ikut ke Jakarta. Bukan tidak mungkin Ningsih masih akan mengganggu Mas Doni.

Mengambil kesempatan jika aku tidak ikut bersamanya. Meski Mas Doni sudah memblokir semua nomor dan media sosial, Ningsih pasti tidak akan menyerah.

Sejak awal, aku sudah yakin kalau Ningsih ada niat tidak baik. Ia sengaja ingin menngambil kembali hati Mas Doni dengan berpura-pura curhat.

Aku jadi penasaran dengan suaminya. Apa dia tidak pernah tahu kalau Ningsih sering menghubungi Mas Doni?

"Dek?"

Panggilan Mas Doni membuyarkan lamunan. Ia menyusulku yang masih duduk termenung di tepi ranjang.

"Kok malah bengong? Aku tungguin di depan rumah dari tadi." Mas Doni berjalan mendekat dan duduk di samping. "Kenapa, hm?" Ia merangkul bahuku.

"Aku lebih betah tinggal di sini sebenernya, Mas. Tapi mau gimana lagi," desahku.

"Jangan sedih, ya. Nanti aku pikirin soal ajakan kamu buat pindah ke sini." Ia mencoba menghiburku.

"Paling-paling jawabannya tetep nggak mau," gumamku.

"Kata siapa?"

Aku langsung menoleh dan mengulum senyum. "Jadi Mas Doni mau pindah?" tanyaku antusias.

"Belum tentu juga."

"Ish." Aku mengerucutkan bibir.

"Jangan manyun begitu, dong, Sayang!" Ia tertawa sembari menarik gemas hidungku. "Ayo!" Ia menarik tangan dan menuntunku keluar rumah.

Semoga saja tidak akan ada masalah yang berhubungan dengan mantannya lagi. Jujur, aku tidak mau pernikahan kami berakhir.

Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, jika sudah berkaitan dengan perselingkuhan, rasanya hati ini tidak kuat untuk bersabar.

"Kamu udah pastiin semua jendela sama pintu belakang dikunci 'kan, Dek?"

"Sudah, Mas."

"Ya udah. Ayo naik!" Mas Doni membukakan pintu mobil untukku.

Baru saja kaki hendak melangkah naik, teriakan agus membuatku batal masuk ke dalam mobil. Agus berdiri di dekat pagar rumah dengan napas terengah. Ia melangkah perlahan menghampiri kami berdua.

"Agus ... kamu habis lari-lari?" tanyaku saat melihat keringat membasahi kening dan wajahnya.

Ia terkekeh pelan. "Iya, Del. Aku lari dari rumah ke sini. Kata ibu teh, kamu mau kembali ke Jakarta hari ini." Agus masih belum bisa mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

"Iya, Gus. Tadi aku pamit sekalian pas ketemu ibu kamu waktu beli nasi kuning."

"Kamu nggak betah ya, Del, tinggal di sini?" tanyanya dengan raut wajah sendu.

"Bukan begitu, Gus. Aku betah, kok, tinggal di sini. Cuma besok itu Mas Doni udah harus masuk kerja. Jadi, mau nggak mau kami harus kembali ke Jakarta," jelasku.

"Oh ... kitu." Agus mengangguk dan tertunduk. (Oh ... begitu.)

"Rencananya aku sama Mas Doni mau mampir ke rumah kamu sekalian lewat, Gus. Mau pamitan sama kamu dan Pak Maman."

"Bapak mah udah ke sawah dari pagi, Del."

"Oh, gitu, ya. Ya udah, sampein aja atuh salamnya, ya," pintaku. "Maaf kalau aku udah ngerepotin kalian."

"Iya, Del. Nanti teh salamnya aku sampein sama bapak." Agus tersenyum.

"Udah belum ngobrolnya? Keburu siang ini," timpal Mas Doni.

"Udah, Mas. Silakan." Agus terlihat tidak enak dengan Mas Doni.

"Maaf, ya, Gus. InsyaAllah kapan-kapan aku main ke sini lagi."

"Iya, Del." Agus mengangguk dan mundur beberapa langkah.

"Ayo naik!" Mas Doni memintaku untuk segera naik dengan tidak sabar.

"Iya, Mas. Sabar," protesku saat ia sedikit mendorong paksa.

Mas Doni berlari kecil mengitari mobil dan naik ke kursi kemudi. Kami sama-sama memasang sabuk pengaman. Jendela mobil kubuka separuhnya untuk melihat Agus.

"Agus, kami berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum," pamitku.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Del!" serunya. Ia melambaikan tangan saat mobil Mas Doni mulai melaju meninggalkan halaman rumah.

Aku melirik ke kaca spion. Agus masih berdiri di sana. Di dekat pagar rumah seraya memandang ke arah mobil kami yang semakin menjauh.

"Kenapa diliatin mulu? Naksir?"

"Apaan, sih, Mas? Nggaklah," sahutku seraya memandang kembali ke depan.

"Kamu kenapa, sih, Mas? Kayaknya benci banget sama Agus. Emangnya dia punya salah apa sama kamu? Tiap ketemu sama dia, kamu nggak pernah bisa bersikap ramah sedikit pun," cecarku.

"Nggak apa-apa. Nggak suka aja," jawabnya santai.

"Nggak boleh begitu, Mas. Jangan benci sama orang tanpa tahu dia salah apa. Bersihin hati kamu dari dengki." Aku mencoba menasihatinya.

"Kamu aja benci sama Ningsih 'kan?"

Aku spontan menoleh. Mengernyitkan dahi dan menatapnya tak suka. Menyadari raut wajahku berubah, Mas Doni langsung salah tingkah.

"Maaf, Dek. Maksudku ...."

"Kenapa Mas Doni jadi nyebut-nyebut nama Ningsih lagi?" Aku memotong perkataannya. "Jelas bedalah Ningsih sama Agus," kataku kesal. Mulai terpancing emosi.

"Agus itu pria baik! Sedangkan Ningsih ... dia wanita gatal perayu suami orang!" tukasku dengan dada bergemuruh.

"Dek, jangan marah, dong!" Ia mencoba meraih tangan, tapi aku menolak.

Aku Memalingkan wajah dari Mas Doni. Memilih memandang sawah-sawah yang dilewati daripada menatapnya.

"Aku nggak bermaksud buat kamu tersinggung, Dek," ucapnya.

"Kalau Mas nyesel ninggalin Ningsih, ya udah sana! Ngapain pake nyusulin aku ke kampung? Aku nggak keberatan kalau pernikahan kita berakhir, daripada harus berurusan dengan wanita itu lagi!"

"Dek!" tukas Mas Doni. Ia langsung menepikan mobilnya ke bahu jalan dan berhenti. "Jangan  bicara sembarangan begitu. Nggak baik. Jangan ngomong soal pisah-pisah terus. Aku nggak suka."

Aku memejamkan mata dan enggan menoleh ke arahnya. Setiap mengingat atau mendengar Mas Doni menyebut nama wanita itu, hati ini selalu panas. Emosi jadi susah untuk dikendalikan.

Seolah membuka kembali luka hati yang sedang berusaha kukubur dalam-dalam. Sakit hati karena diabaikan dan dibohongi itu membuatku sesak.

"Mumpung masih deket, Mas. Aku bisa kembali ke rumah kalau Mas Doni nyesel–"

"Dek!" sentaknya. Aku mulai terisak. Ia meraih tanganku yang saling meremas kuat di pangkuan. "Maaf, Dek. Aku cuma keceplosan. Nggak bermaksud mengingat soal Ningsih lagi. Tadi karena saking keselnya sama Si Agus aja."

"Memangnya Agus salah apa, sih, Mas? Kalau benci sama orang itu harus ada alasannya." Aku menoleh menatapnya.

"Iya. Maafin aku. Aku salah. Maaf, ya." Ia menghapus lembut air mataku dengan ibu jarinya.

"Mas udah janji nggak bakal sebut nama wanita itu atau ngebahas dia lagi. Mas tahu 'kan, hatiku masih sakit tiap kali inget masalah itu," keluhku.

"Iya, Sayang. Maaf. Tadi aku nggak sengaja kelepasan." Ia mengecup tanganku. "Maaf, ya. Please ...," mohonnya dengan wajah memelas.

Aku membuang napas kasar kemudian mengangguk pelan. Mencoba mengendalikan emosi meski rasa kesal itu masih ada.

"Alhamdulillah." Ia kembali mengecup tangan kemudian keningku. "Maafkan suamimu yang bodoh ini, ya. Tolong ingetin lagi kalau aku khilaf." Ia membelai wajahku lembut.

"Iya," jawabku pelan, masih tertunduk.

Mas Doni mengangkat wajahku dan mendaratkan kecupan singkat di bibir.

"Terima kasih." Ia tersenyum. Aku mengangguk, mencoba membalas tersenyum juga meski sedikit dipaksakan.

"Kita lanjut lagi, ya." Ia kembali duduk menghadap  lurus ke depan. Memasukkan gigi dan menginjak gas. "Bismillah."

???

Waktu terus bergulir. Kehidupan kami berjalan normal seperti sebelumnya. Sudah genap seminggu aku kembali tinggal di Jakarta. Hubunganku dengan Mas Doni pun semakin baik.

Setelas sempat retak karena kehadiran Ningsih, hubungan kami malah semakin mesra. Seolah masalah kemarin adalah perekat yang memperkuat ikatan hati di antara kami berdua.

Mas Doni tak pernah begadang lagi atau pun pergi keluar kecuali bersamaku. Bahkan, ia sering menyempatkan diri untuk makan siang di rumah. Banyak quality time yang kami habiskan berdua. Entah itu untuk sekedar mengobrol dan bercanda atau pun menonton siaran televisi bersama.

Tak jarang ada telepon dari nomor tak dikenal menghubunginya. Namun, Mas Doni tak pernah mau mengangkatnya. Ia selalu memintaku yang melakukan itu. Anehnya, telepon selalu diputus setiap kali aku mengangkatnya.

Aku sangat yakin kalau yang menghubungi itu pasti Ningsih. Ternyata, ia memang belum menyerah untuk menggoda Mas Doni.

Apa dia tidak punya harga diri? Sudah bersuami, tapi masih menggoda pria lain.

"Wangi banget, Dek." Mas Doni turun dan menghampiriku yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. Penampilannya sudah rapi dan siap berangkat ke kantor.

"Ayo Mas! Kita sarapan." Aku menyendokkan nasi kuning bersama lauknya.

"Makasih, Sayang."

Aku tersenyum dan ikut duduk di sampingnya. Banyak hal yang kami bicarakan di sela makan. Begitu juga dengan rencana bulan madu kedua.

Mas Doni berkata kalau ia ingin mengajakku ke Turki. Hanya tinggal mencari jadwal yang pas karena Mas Doni masih banyak pekerjaan yang menumpuk di kantor.

"Dek?"

"Hm," sahutku tanpa menoleh.

"Aa." Ia menyodorkan sendok berisi nasi dan lauk kepadaku.

Aku menoleh dan mengulum senyum. Mendekatkan mulut untuk menerima suapan darinya.

Namun, Mas Doni malah menarik sendok itu mundur sedikit demi sedikit. Bukannya menyuapi, Mas Doni malah mengecup singkat bibir ini.

"Mas." Aku terkekeh karena ulahnya. Begitu juga dengannya.

"I love you." Ia malah mengedipkan  mata genit.

Aku menggeleng dan tersipu malu. Menundukkan wajah dan kembali menikmati makanan di piring.

Usai sarapan bersama, aku mengantar Mas Doni sampai mobil seraya membawakan tas kerjanya.

"Aku berangkat kerja dulu, ya, Dek."

"Iya, Mas." Aku mencium punggung tangannya takzim. Mas Doni balas mengecup singkat kening dan bibir.

"Assalamu'alaikum."

"wa'alaikumsalam."

Mas Doni tersenyum kemudian berjalan ke arah pintu kemudi dan melambaikan tangan.

"Hati-hati, Mas!" seruku. Balas melambaikan tangan sebelum mobilnya melaju meninggalkan rumah.

Usai Keberangkatan Mas Doni ke kantor, aku kembali melakukan semua pekerjaan rumah. Bel rumah dibunyikan berulang-ulang ketika aku tengah menjemur pakaian di halaman belakang.

Aku bergegas melangkah ke pintu depan untuk membukakan gerbang. Sosok yang sama sekali tak ingin kulihat, kini sedang berdiri dan tersenyum di hadapanku.

"Halo, Della," sapanya.

"Ada apa?" tanyaku dingin.

Aku memang tidak suka berbasa-basi atau berpura-pura ramah. Kalau memang tak suka, akan kutunjukan lewat sikap.

"Mas Doninya ada?"

"Kenapa emangnya? Mas Doni punya utang sama kamu, sampe dicari-cari ke rumah, hm?" sindirku.

Senyum ramahnya hilang seketika mendapat sambutan tak baik dariku. Bodo amat!

"Kamu salah paham, Della. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Mas Doni. Aku cuma butuh temen curhat."

"Yang nanya siapa?" Aku menaikkan satu alis.

Kening Ningsih berkerut dalam. Raut kekesalan mulai terlihat jelas di wajahnya.

"Kamu itu terlalu posesif, Del. Terlalu mengekang suami kamu. Biarkan dia bebas berteman sama siapa pun termasuk aku. Kami memang mantan, tapi nggak ada salahnya 'kan, berteman lagi? Jangan jadi wanita pencemburu. Kenapa? Karena cemburu yang berlebihan itulah yang bisa merusak rumah tangga kamu sendiri," jelasnya panjang lebar.

"Well, well, well. Pintar banget kamu berceramah!" Aku bertepuk tangan. "Bersikap sok bijak untuk menutupi niat busukmu. Jelas saja aku berhak cemburu. Mas Doni itu suamiku! Nggak cuma sama kamu, tapi siapa pun wanita yang nggak tahu malu dan berusaha menggoda Mas Doni, akan berurusan denganku!"

"Aku datang ke sini baik-baik, ya, Del! Tapi kenapa begini sambutan kamu? Nggak ada ramah-ramahnya sama sekali. Di mana etikamu sama tamu?" protesnya. Menatap berani kepadaku.

"Maaf, ya. Tapi aku nggak tertarik buat bersikap ramah sama wanita penggoda suami orang," ejekku. Hendak menutup gerbang, tapi ia menahannya.

"Maksud kamu apa?" Ia mulai terpancing emosi.

"Kamu pikir aku nggak tahu? Mas Doni udah cerita semuanya, Ningsih. Di mana harga dirimu sebagai seorang wanita dan istri, hah? Nggak punya malu banget kamu godain suami orang! Kenapa, hm? Kurang belaian? Kasihan banget." Aku melampiaskan semua kekesalan dan uneg-uneg di hati.

"Jangan sembarangan bicara kamu!" Ia menunjuk tepat di depan wajahku.

Aku menangkap jari tangannya dan mendorongnya kuat hingga ia terhuyung beberapa langkah ke belakang.

"Apa, hah?!" Aku mengangkat dagu seraya melangkah mendekatinya dengan tatapan tajam. "Kamu pikir aku takut? Denger, ya, Agustinia Ningsih!" Giliran aku yang menunjuk tepat di hadapan wajahnya.

"Jangan pernah bangunin singa yang lagi tidur. Aku memang terlihat lembut, tapi bukan berarti nggak bisa main kasar," desisku.

"Nggak akan aku biarin siapa pun mengganggu rumah tanggaku! Ingat itu!" Aku mendorong keningnya kuat kemudian berbalik meninggalkannya.

"Kamu pikir Mas Doni masih cinta sama kamu apa?" Ucapan Ningsih kembali membuat langkahku terhenti. "Mas Doni itu udah bosen sama kamu, Della! Dia sendiri yang bilang mau memulai semuanya dari awal bersamaku! Mas Doni itu cuma nggak tega menceraikan kamu karena kamu yatim piatu!"

Aku mengepalkan kedua tanganku dengan kuat. Rahang mengeras menahan amarah. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.

Melangkah cepat meninggalkannya dan kembali ke dalam gerbang. Tidak menggubris semua kata-kata Ningsih yang sedang menjelek-jelekkan Mas Doni.

Aku tidak ingin terpancing. Sudah pasti Ningsih hanya ingin menghancurkan kepercayaanku terhadap Mas Doni. Kehancuran rumah tanggakulah yang ia harapkan.

Maaf, Ningsih! Tidak akan kubiarkan kamu dengan mudah menghancurkan ikatan suci pernikahan kami.

Awalnya aku hendak pergi ke dalam rumah setelah mengunci kembali gerbang. Namun, mulut Ningsih yang masih melantur tak karuan membuatku terpaksa mengurungkan niat.

Aku berjalan cepat ke arah keran air yang ada di dekat gerbang. Tanpa ba-bi-bu lagi langsung menyiramnya dengan selang air.

"Della!" pekik Ningsih.

"Mulut kotormu itu harus dibersihin biar nggak bau busuk!" seruku sambil terus menyiramnya.

"Della! Berhenti!" Ningsih mencoba menghindari seranganku.

"Mandi dulu, Sayang! Biar nggak gatel lagi sama suami orang!" ledekku dengan sedikit berteriak.

Sengaja aku berkata kencang supaya orang lain yang lewat bisa mendengarnya.  Dan benar saja. Kini Ningsih menjadi pusat perhatian para warga yang berlalu lalang.

"Awas kamu Della! Akan kubalas kamu nanti! Aku bakal aduin kelakuan kamu itu sama Mas Doni!" teriaknya sembari berlari menjauh.

Aku tersenyum mengejek melihatnya berlari menjauh dengan baju dan rambut yang basah.

Masih untung hanya kusiram air bersih! Mulut kotornya itu lebih cocok disiram air comberan!

★★★


Komentar

Login untuk melihat komentar!