Part 1

"Mas belum ngantuk?" Aku menghampiri Mas Doni yang masih duduk di ruang tengah meski waktu sudah menunjukan pukul satu malam.

"Belum, Dek. Bentar lagi." Ia meletakkan ponselnya di samping.

"Ya sudah. Aku tidur duluan, ya, Mas."

"Iya, Dek." Ia mengangguk dan tersenyum.

Alasan pergi tidur duluan itu hanyalah bohong. Setelah berpura-pura masuk ke kamar di lantai dua, aku kembali mengendap-endap turun ke bawah. Posisi Mas Doni yang duduk di sofa single membelakangi, sangat menguntungkan bagiku.

Aku bisa bersembunyi di balik sofa itu tanpa sepengetahuannya. Ia berkata belum mengantuk karena masih ingin menonton televisi.

Bullshit! Kenyataannya ia sibuk berbincang dengan mantan kekasihnya. Meskipun Mas Doni hanya mendengarkan curhatan wanita itu, bagiku itu tidak pantas. Apalagi Mas Doni melakukannya diam-diam.

Aku berdiri dan langsung merebut ponsel dari tangannya. Jelas Mas Doni langsung terperanjat kaget.

"Dek?" Ia menatapku takut.

"Begini, ya, Mas, kelakuanmu. Nggak pernah berubah! Udah berapa kali aku bilang kalau aku nggak suka kamu berhubungan terus dengan mantanmu itu, Mas! Kenapa kamu nggak pernah ngerti?" Aku menatapnya tajam. "Atau jangan-jangan ... kalian memang menjalin hubungan di belakangku?"

"Nggak, Dek. Aku sama sekali nggak ada hubungan apa-apa sama dia." Mas Doni menghampiriku. "Dia cuma masa laluku. Tadi itu dia cuma curhat masalah suaminya."

"Tetep aja itu salah, Mas! Apa pantes, wanita yang sudah menikah berkeluh kesah tentang suaminya pada suami orang lain, hah?" geramku.

"Aku nggak ada maksud apa-apa, Dek. Aku cuma bantu jadi pendengar yang baik aja," bantahnya.

"Mas jadi pendengar yang baik buat istri orang lain, tapi nggak buat aku. Mas lebih memilih menghabiskan waktu berbincang dengan istri orang lain daripada dengan istri sendiri!" hardikkku menatapnya penuh emosi.

"Nggak pantes kalian saling bernostalgia masa lalu, Mas! Kalian sudah punya keluarga masing-masing! Nggak menutup kemungkinan rasa itu akan kembali kalau kalian terus seperti ini! Mantan bisa menjadi duri dalam rumah tangga, Mas. Bisa menghancurkan ikatan pernikahan tanpa disadari! Atau ... Mas memang ingin mengakhiri pernikahan kita. Iya?" cecarku.

"Astaghfirullah. Nggak, Dek. Aku nggak pernah kepikiran jauh ke situ." Mas Doni menraih tangan, tapi langsung kutepis kasar.

"Ambil ini!" Aku melemparkan ponselnya ke sofa. "Lakukan semau kamu, Mas. Aku nggak peduli lagi. Aku capek!" desisku kemudian melangkah cepat ke kamar dengan membanting pintu.

Beberapa hari setelah pertengkaran itu, hubungan kami dingin. Aku memang masih melayani semua kebutuhannya, tapi tak ada lagi obrolan atau sekedar saling menyapa. Aku tetap diam seribu bahasa meski Mas Doni selalu berusaha mencairkan suasana.

Kami sudah lima tahun menikah, tapi belum dikaruniai keturunan. Selama ini Mas Doni tidak pernah mengeluhkan masalah itu. Kami pasrahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Namun, beberapa bulan belakangan ini aku baru tahu kalau Mas Doni sering berkomunikasi dengan mantan kekasihnya dulu.

Berawal dari pertemuan tak sengaja di sebuah mall hingga akhirnya mereka saling bertukar nomor. Bahkan, mereka pernah beberapa kali membuat janji bertemu tanpa sepengetahuanku. Itu pun aku mengetahuinya secara tak sengaja. Ini bukan pertama kalinya aku memergoki Mas Doni berbalas pesan dan berbincang di telepon diam-diam. Sudah sering.

Aku pun pernah memergoki keduanya di cafe ketika aku dan Erni-tetanggaku, mampir ke kafe tersebut setelah mengantarkan pesanan catering.

Lima hari kemudian Mas Doni menangis. Ia meminta maaf. Menolak makan atau pun berangkat kerja sebelum aku memaafkannya. Ia juga berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Mas Doni pun langsung memblokir nomor ponsel mantannya itu.

Aku percaya. Kuberi dia kesempatan terakhir. Hubungan kami kembali menghangat dan membaik selama dua bulan ini. Namun, lagi-lagi aku harus mengetahui fakta kalau Mas Doni mempermainkan kepercayaanku.

Semalam, aku berniat bangun untuk ke kamar mandi. Namun, Baru saja mata ini terbuka sedikit, aku melihat Mas Doni tengah duduk di tepi ranjang seraya sibuk mengutak-atik ponselnya. Insting seorang istri jarang meleset. Aku yakin ia sedang berbalas pesan lagi dengan mantannya.

Aku kembali berpura-pura tertidur. Setengah jam kemudian, Mas Doni sudah terlelap. Ponsel miliknya tergeletak di nakas. Aku bergerak perlahan dan hati-hati supaya tidak membangunkannya.

Aku mengambil ponselnya dan lengsung mengecek semua panggilan masuk dan keluar. Banyak panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Pesan Wa tak ketinggalan dari pemeriksaan. Tak ada nomor Ningsih. Namun, perhatianku tertuju pada nomor yang dinamai Agus tanpa foto profil.

Kubuka riwayat chatnya. Tak ada apa-apa. Sepertinya Mas Doni sengaja menghapusnya karena hanya riwayat chat dari Aguslah yang kosong. Nama Agus pun banyak dalam daftar panggilan masuk Wa.

Entah bagaimana, tapi perasaanku mengatakan kalau ini Ningsih. Dengan modal nekat kuberanikan diri mengetik pesan.

[Udah tidur, Ningsih?] Pesan terkirim. Jantungku berdebar menunggu balasan darinya. Lima menit kemudian, ia membalas.

[Belum, Mas. Aku nggak bisa tidur. Mas Hendri nggak pulang lagi.]

[Mas Doni katanya tadi mau tidur. Nanti ketahuan istri Mas lagi, lho,] imbuhnya lagi.

Napasku memburu. Kepala terasa mau meledak. Tega-teganya Mas Doni memperlakukanku seperti ini.

[Ini juga mau tidur. Besok siang kita ketemuan bisa?] Aku mengirimkannya pesan lagi.

[Serius, Mas? Bisa. Di mana?]

[Di Kafe Lestari jam satu siang,] balasku.

[Baiklah, Mas. Aku akan datang ke sana tepat waktu,] balasnya disisipi emot tersenyum.

[Ningsih. Tolong jangan menghubungiku sebelum kita bertemu di sana, ya.]

[Siap, Mas. Ningsih ngerti, kok. Selamat tidur.]

Semua riwayat pesan itu kuhapus. Aku berusaha memejamkan mata untuk tidur, tapi tidak bisa. Rasanya tak sabar ingin segera berganti hari esok.

Keesokan siangnya, aku dan Mas Doni sudah bersiap untuk pergi ke kafe tersebut. Mas Doni tidak banyak bertanya dan curiga tentang rencanaku. Sengaja kami tiba di kafe tersebut lebih awal. Aku memilih tempat duduk di dekat pintu lorong menuju toilet. Keadaan di kafe siang ini cukup ramai bahkan hampir penuh.

"Mas, aku ke toilet dulu, ya," pamitku setelah dua jus mangga pesananku tiba.

"Iya." Mas Doni tersenyum dan mengangguk.

Aku bersembunyi di sekat tembok pembatas. Menunggu kemunculan Ningsih ke kafe ini. Mas Doni celingukan. Sepertinya ia bingung karena beberapa menit sudah berlalu, tapi aku belum kembali ke meja.

Detik berikutnya Ningsih datang dan langsung menuju meja Mas Doni. Terlihat jelas ekspresi keterkejutan di wajah suamiku itu. Ningsih mengambil posisi duduk di depan Mas Doni. Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung menghampiri mereka.

"Dek? Kamu ... kamu yang udah buat janji dengan Ningsih?" tanyanya gelagapan.

"Iya. Akulah yang memintanya bertemu dan berpura-pura sebagai dirimu, Mas." Aku menatap dingin Mas Doni.

Mas Doni menelan ludah susah payah. Jakunnya bergerak naik turun. Sedangkan Ningsih, ia menundukkan wajah seraya meremas jari jemarinya di atas meja.

"Aku nggak nyangka, Mas. Setelah berulang kali kamu berjanji, nyatanya kamu tetap ingkar. Sepenting itukah dia buatmu, Mas? Sampai-sampai kamu begitu enggan melepasnya," tanyaku. Berusaha terlihat tenang dan santai meski hati sakit dan perih.

Mas Doni terdiam membisu. Ia tidak menyangkal satu kata pun ucapanku.

"Apa Mas Doni ingin kembali bersamanya lagi?"

Mas Doni menggeleng cepat dengan wajah tertunduk.

"Jawab, Mas!" Aku menggebrak meja sekuat tenaga. Membuatnya keduanya terlonjak kaget dan langsung menatapku. Tak hanya mereka, bahkan mata semua pengunjung kafe ini tertuju pada kami.

"Maaf semuanya." Aku berbalik dan memandang ke sekeliling kafe. "Saya tidak bermaksud mengganggu kenyamanan kalian. Hanya ingin memberi sedikit nasihat dan peringatan kepada dua orang di meja ini. Yang tak lain dan tak bukan adalah suami saya sendiri dengan mantan kekasihnya."

"Dek." Mas Doni mencekal lenganku. Memandangku dengan tatapan memohon supaya aku berhenti.

"Kenapa, Mas?" Aku menepis tangannya kasar. "Bukankah ini yang Mas Doni mau? Mas nggak pernah bisa lepas dari bayangan masa lalu, kan? Sekarang, aku sudah berbaik hati mempertemukan kalian," ucapku dengan mata berembun.

"Silakan kalian bernostalgia sepuasnya! Nggak perlu melakukannya secara diam-diam di belakangku. Aku nggak akan melarang. Tapi ingat satu hal! Status kalian masih istri dan suami sah orang lain. Jika ingin kembali bersama, lepaskan ikatan itu," desisku kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Mas Doni yang duduk terpaku tak bergerak. Ia pasti terkejut sekaligus malu dengan semua orang yang ada di sini.

Belum jauh kaki melangkah, aku kembali berbalik menghampiri keduanya.

"Aku lupa memberi hadiah pada kalian berdua." Mas Doni dan Ningsih serempak mengangkat wajah memandangku.

Detik berikutnya, keduanya melongo terkejut saat aku menyiramkan dua gelas jus mangga ke wajah masing-masing.

"Itu tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit dan kecewaku." Aku tersenyum sinis kemudian pergi berlalu dari hadapan mereka.

Terdengar riuh pengunjung yang ikut menyoraki mereka. Bahkan, ada beberapa pengunjung wanita yang ikut mencela keduanya.

"Dasar pelakor nggak tahu diri! Udah punya laki masih aja mau embat suami orang!"

"Betul! Ulat bulu memang harus dibasmi dari muka bumi!" timpal yang lainnya.

"Yang lakinya juga sama aja. Nggak punya otak! Punya istri cantik, masih aja nyari yang lain!"

Itulah kata-kata mereka yang sempat kudengar sebelum akhirnya benar-benar pergi dari kafe ini. Air mataku luruh. Seberapa keras pun usahaku, tetap saja air mata ini tak bisa ditahan.

"Dek! Tunggu, Dek!"

Ternyata Mas Doni berlari menyusulku, tapi terlambat. Aku sudah lebih dulu naik taksi. Sesampainya di rumah, aku segera berkemas. Memasukkan semua pakaian dan berkas-berkas penting ke dalam sebuah koper besar.

Bertepatan dengan aku yang berjalan menggeret koper menuruni tangga, Mas Doni pulang.

"Dek, kamu mau ke mana, Dek?" Ia menahan lenganku.

"Lepas," desisku seraya menepis tangannya kasar.

"Dek, kita bisa bicarain masalah ini baik-baik. Aku tahu aku salah. Aku sudah berulang kali membohongimu. Maafkan aku. Beri aku kesempatan sekali lagi." Ia memeluk tubuhku erat dari belakang.

"Sudah cukup kesempatan yang aku berikan, Mas. Aku nggak mau menyiksa diriku sendiri." Aku melepas paksa kedua tangannya yang melingkari pinggangku.

"Dek?"

"Diam!" sentakku dengan beruraian air mata. "Jangan katakan apa pun lagi, Mas. Aku muak." Aku mendorong tubuhnya kasar hingga ia mundur beberapa langkah ke belakang.

"Aku akan kembali ke kampung, Mas." Aku menghapus kasar air mataku. "Aku akan mengajukan gugatan cerai. Mungkin jodoh kita cukup sampai di sini. Selamat tinggal."

"Dek! Tunggu, Dek! Aku nggak mau kita cerai!" Ia mengejarku yang berjalan cepat keluar rumah. Menghalangi langkahku di ambang pintu.

"Aku nggak peduli. Aku bukan wanita sabar, Mas. Aku menyerah denganmu dan pernikahan ini. Silakan Mas nikmati kebersamaan bersama Ningsih tanpa gangguan dariku." Aku mendorong tubuhnya supaya tidak menghalangi jalan.

"Dek! Maafin aku, Dek. Aku janji nggak akan begitu lagi!"

Aku tak acuh dan bergegas masuk ke dalam taksi yang sudah ku pesan dari tadi.

"Dek! Tunggu, Dek! Jangan tinggalin aku seperti ini!" Ia menggedor-gedor kaca mobil dan berusaha membuka pintu, tapi tak berhasil. Pintu taksi sudah terkunci.

"Jalan, pak," perintahku tanpa mengindahkan Mas Doni yang berteriak-teriak dan mengejar mobil taksi.

Selamat tinggal, Mas. Aku tidak bisa lagi berdamai dengan rasa kecewa dan sakit hati ini. Sudah berkali-kali aku mencobanya, tapi kali ini aku tidak bisa.

Aku tidak peduli dengan harta gono-gini. Bagiku itu tidak penting. Aku hanya ingin bahagia dan lepas dari beban yang menghimpit dada. Hidup sederhana dan tenang di kampung menjadi pilihanku. Tinggal di rumah peninggalan almarhum orangtua dan mengelola sawah di sana.

Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, Mas.


★★★




Komentar

Login untuk melihat komentar!