Part 6
~Doni~

???

Apakah seperti ini rasanya saat Della cemburu pada Ningsih?

Melihat Della dan Agus saling menatap dan melempar senyum, rasanya hati ini panas. Ada perasaan sesak dan kesal, marah. Semua rasa bercampur menjadi satu mengungkung hati.

Lihatlah! Bagaimana cara Agus memandang Della. Itu bukan tatapan biasa. Jelas sekali kalau ia menyimpan rasa pada istriku itu. Aku tidak bodoh. Tatapan itu sama persis saat aku menatap Della penuh cinta.

Untungnya saja Della tidak menyadari itu. Aku juga tahu kalau Agus sudah mencintai Della sejak lama. Untuk itulah aku bergerak cepat melamarnya. Agus kalah satu langkah dariku.

Aku pun sengaja bersikap romantis di depan Pak Maman dan Agus. Biar Agus sadar dan tahu diri kalau ia tidak boleh kembali berharap akan cintanya. Della sudah menjadi milikku dan akan selamanya akan tetap seperti itu.

Puas sekali rasanya melihat raut wajah Agus yang menahan cemburu melihat kemesraan kami. Haha. Biar tahu rasa dia!

Sungguh memuakkan melihat Agus tersenyum malu-malu saat Della bertanya tentang wanita yang dicintainya.

"Ayo, Dek, pulang! Aku mau tidur siang," ajakku. Eneg rasanya lama-lama melihat keduanya terus berbincang. Apalagi nostalgia masa lalu.

"Makanannya belum habis, Mas."

"Tar aja. Di rumah bisa makan lagi," sahutku seraya langsung membereskan rantang bekal.

"Tapi Mas–"

"Nggak apa-apa, Neng. Mungkin teh Mas Doni masih capek," imbuh Pak Maman.

Della menatapku penuh selidik. Aku langsung Berpura-pura memasang mimik lelah seraya menggerakkan leher ke kanan dan ke kiri.

"Ayo, Mas!"

Aku mengangguk dan langsung turun lebih dulu dari saung membawa rantang bekal.

"Saya pulang dulu, ya, Pak," pamit Della.

"Mangga, Neng, mangga. Hatur nuhun nya. Meni raos pisan masakanna." (Silakan, Neng, silakan. Terima kasih, ya. Masakannya enak sekali.)

"Sama-sama, Pak. Hayu, Gus!" Della mengangguk pada Agus yang dibalas Agus dengan anggukan dan senyuman juga.

"Jalan, Mas," tegurnya saat melihatku masih berdiri memandang Agus.

"Iya." Aku berjalan perlahan di depan Della.

"Della!"

Kami berdua serempak menoleh saat Agus kembali memanggil.

"Nanti rantangnya teh aku anterin, ya, ke rumah!"

"Iya, Gus!" sahut Della kemudian kembali berbalik. "Ayo, Mas. Jalan!"

"Hm," sahutku singkat.

Dia pikir aku bodoh apa?! Alasan saja mau mengantarkan rantang bekal. Padahal mau cari-cari kesempatan menemui Della. Awas saja kamu, Gus! Akan kuberi kamu pelajaran!

Usai berhasil melewati pematang sawah, Della berjalan cepat mendahului. Meninggalkanku begitu saja di belakang.

"Dek? Dek!" Aku berlari kecil, menyejajarkan langkahku dengannya.

"Kamu kok ninggalin, sih?" Aku merangkul bahunya. Della masih diam dan cemberut.

"Kamu kenapa, Dek? Aku ada salah?" tanyaku keheranan.

"Menurut Mas Doni?" tanyanya.

"Nggak ada," sahutku. Memangnya aku salah apa?

"Ya udah kalau nggak merasa salah," ketusnya. Melepas rangkulan dan berjalan cepat mendahului lagi.

Ada apa dengan Della? Apa ini udah mendekati waktu datang bulannya? Biasanya Della memang suka uring-uringan tidak jelas.

"Eneng cantik," godaku. "Godain abang dong, Neng!" Aku terkekeh sendiri mendengar perkataanku. Rasanya geli.

Della masih diam dan terus berjalan.

"Neng Della, Sayang. Tungguin abang, dong, Neng! Abang kesepian di belakang sini."

"Bodo," sahutnya.

"Duileee ... Si Eneng galak amat! Tar abang digondol perempuan lain, lho."

Berhasil! Langkahnya langsung terhenti dan menoleh ke belakang. Menatapku tajam.

Salah ngomong kayaknya!

"Maksud Mas Doni, Ningsih? Ya udah sana! Pergi aja sama Ningsih!" Ia kembali melangkah dengan mengentak-entakkan kakinya ke tanah.

Kan, salah ngomong tadi. Jadinya malah diungkit lagi.

"Dek." Aku meraih tangan. Menyelipkan jariku di sela jari-jarinya. Menggenggam erat. "Maaf, Sayang. Aku cuma bercanda tadi."

Della melengos menghindari tatapanku.

"Jangan marah dong, Sayang! Nanti aku cium, lho, di sini," gertakku.

Ia langsung menoleh. Melotot tajam ke arahku. Aku terkekeh melihat ekspresi marahnya.

"Makanya jangan ngambek terus, dong! Hm? Maaf, ya." Aku mengecup punggung tangannya.

Della menunduk. Menyembunyikan senyum tipis di wajahnya.

"Tapi jangan begitu lagi, Mas. Bercandanya nggak lucu. Mas tahu, kan, aku masih kesal kalau inget masalah itu," keluhnya.

"Iya, Sayang. Maaf, ya."

Della kembali mendongakkan wajah. Tersenyum manis dan mengangguk.

Ah, andai saja ini di rumah. Sudah habis kamu aku terkam, Dek. Haha.

???

Malam ini kami berdua tengah duduk santai menyaksikan siaran televisi. Della menyandarkan kepalanya di bahu. Tangan kananku merangkul bahunya, sedangkan tangan kiri menggenggam jemarinya lembut.

Sesekali kecupan hangat mendarat di rambutnya yang wangi. Rasanya seperti sedang berbulan madu kembali. Dunia seakan milik kami berdua.

Kenapa dulu aku bisa sampai berpikir ingin kembali ke masa laluku bersama Ningsih, ya? Benar-benar bodoh! Aku sudah memiliki istri yang baik seperti Della. Bahkan, kecantikannya pun melebihi Ningsih.

Banyak pemuda desa ini yang mengincar bahkan melamarnya, tapi pilihan Della jatuh padaku. Harusnya aku bersyukur.

"Dek."

"Hm," sahutnya.

"Maaf, ya." Aku semakin mengeratkan rangkulan. Ada rasa sesak dan penyesalan yang teramat dalam pernah menyakitinya.

"Maaf kenapa, Mas?" Della mendongakkan wajah menatapku.

Kecupan lembut mendarat di keningnya.

"Maaf untuk semuanya. Aku banyak salah sama kamu, Dek. Sering bikin kamu marah dan nangis." Aku tersenyum. Hatiku seperti diremas-remas jika mengingat kesalahan yang kulakukan padanya dulu.

Aku sering mengabaikan Della dan memilih menghabiskan waktu berbincang bersama Ningsih. Tak pernah peduli dan peka dengan perasaannya. Bahkan, diam-diam sering bertemu dengan Ningsih di luar kantor.

Della tidak tahu ini. Dia hanya memergokiku sekali. Aku tidak berani jujur karena takut Della akan semakin kecewa. Yang terpenting aku sudah berjanji pada diri sendiri. Tidak akan pernah melakukan kesalahan yang sama lagi.

Tanpa sadar air mata sudah menggenang di pelupuk mata.

"Mas ...." Della terkejut melihatku hampir menitikkan air mata. Ia menegakkan posisi duduknya. Menatapku cemas.

"Kamu kenapa, Mas?" Ia menangkup kedua pipiku lembut.

Aku meraih tangannya dari pipi dan menciuminya lembut.

"Aku bener-bener nyesel, Dek. Aku nyesel pernah nyakitin kamu."

"Mas ... aku udah maafin Mas Doni, kok. Aku seneng Mas Doni sudah menyadari kesalahan. Mas juga udah janji nggak akan pernah mengulanginya," ucapnya lembut.

Aku langsung meraih tubuhnya ke dalam pelukan.

"Aku mencintaimu, Dek. Aku janji nggak akan pernah menyakitimu lagi." Aku semakin mengeratkan pelukan.

Della membalas pelukan seraya mengusap-usap lembut punggungku.

"Aku percaya, Mas. Aku percaya Mas Doni nggak akan bohong lagi."

Aku tersenyum lega. Sangat bahagia karena bisa kembali mendapatkan kepercayaan darinya.

Aku merenggangkan pelukan. Menatap lekat matanya. Della tersenyum. Sangat manis. Madu saja kalah.

Aku tak bisa lagi menahan diri. Perlahan wajahku semakin mendekat. Pipi Della merona. Ia memejamkan matanya. Paham dengan apa yang akan kulakukan.

Sedikit lagi bibir kami bertemu, suara ketukan di pintu mengagetkan kami berdua. Della langsung membuka kembali matanya dan menjauhkan wajah.

"Ada tamu, Mas." Ia menyambar khimar instant yang tersampir di punggung sofa dan memakainya. "Aku bukain pintu dulu, ya, Mas." Ia berdiri dari sofa.

Aku mengangguk dan mencoba tersenyum meski hati sedikit kesal.

Siapa, sih, yang bertamu malam-malam begini? Ganggu orang mau mesra-mesraan aja! Ambyaar sudah moodku. Padahal sedikit lagi tadi. Aarrghh!

"Agus."

Aku langsung menoleh saat mendengar Della menyebut nama itu.

Oh ... jadi Si Agus rupanya yang sudah mengganggu momen romantisku bersama Della. Dasar! Pasti dia sengaja itu!

"Assalamu'alaikum, Del."

"Wa'alaikumsalam. Ada apa, Gus?"

"Aku ganggu kamu, nggak?"

"Nggak, Gus. Kenapa?"

Aku beranjak dari sofa dan berjalan cepat menghampiri keduanya.

"Ini. Aku teh mau kembaliin rantang ini. Tadi sore lupa. Baru sempat sekarang. Maaf, nya?"

"Oh ... iya, Gus. Nggak apa-apa."

"Ini. Ibu juga nitipin ini buat kamu, Del. Pisang dari kebun."

Aku berdiri di samping Della dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Makasih, Gus. Nggak usah repot-repot padahal." Della tersenyum seraya menerima kantong plastik berisi pisang.

"Mas." Agus mengangguk dan tersenyum.

"Hm," sahutku tanpa senyum.

"Mau masuk dulu, Gus?" tawar Della.

Enak saja masuk! Pulang sana!

"Nggak usah atuh, Del. Aku nya langsung pulang aja."

Bagus! Itu artinya kamu sadar diri, Gus!

"Ya udah atuh. Bilangin makasih sama ibu kamu, ya," kata Della.

"Iya. Nanti saya sampein, Del. Maaf atuh udah ganggu. Assalamu'alaikum." Agus mengangguk dan berbalik meninggalkan kami.

Meski ia selalu tersenyum ramah, bagiku tetap terlihat menyebalkan.

"Wa'alaikumsalam," jawab kami serempak.

"Makasih pisangnya, Gus!" seru Della.

Agus kembali menoleh dan tersenyum. Setelah itu ia bergegas pergi meninggalkan halaman rumah Della.

"Ayo, Mas!" Della masuk lebih dulu dan berjalan menuju dapur.

Aku mengunci pintu dan berjalan menghampirinya yang tengah memindahkan pisang dari kantong plastik.

"Mas." Ia terkejut saat aku tiba-tiba memeluknya dari belakang. Menciumi pipinya.

"Kita lanjutin yang tadi," bisikku mesra.

"Mas nggak mau ini?" Ia menunjuk pisang pemberian Agus.

"Aku maunya yang lain."

Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menggendong Della. Membawanya ke tempat peraduan kami.

Apa? Yang jomlo jangan ngiri, ya? Tak doain semoga cepet ketemu jodoh dan nikah. Haha.

★★★



Komentar

Login untuk melihat komentar!