Kematian Adik Nenek
"I biran aseng tongeng-tongenmu ri langi'e, linrako mabela lettu ri pere tiwi."
(Rapalan mantra berbahasa Bugis)

Aku ingat betul bunyi rapalan 'baca-baca' yang pernah Nenek beritahu padaku. Bahkan terekam kuat di memory otak hingga kini.

"Itu baca-baca apa, Nek?" tanyaku waktu itu.

"Baca-baca pengusir parakang. Kalau dibaca, bakal pergi pergi ki parakangnya, " jawab Nenek dengan logatnya yang khas.
(Mantar pengusir parakang. Kalau dibaca, parakangnya akan pergi.)

Saat itu aku hanya manggut-manggut untuk menghargai penjelasan Nenek. Namun, di dalam hati lebih memilih untuk membaca doa dan mohon perlindungan kepada Allah jika terjadi apa-apa.

Membaca doa ketika akan bepergian, memulai segala sesuatu dengan bismillah dan senantiasa mengingat Allah setiap saat. Hanya itu yang biasa kulakukan.

Mungkin karena tak besar di kampung, sehingga aku tak begitu percaya dengan hal-hal mistis semacam ini.

Orang tua memang besar di kampung, tapi saat aku akan menginjak bangku sekolah dasar, Bapak membawa kami sekeluarga merantau ke Ibu kota. Setelah SMA, aku baru kembali lagi ke kampung Nenek.

Lagi-lagi saat SMA sampai kini menginjak bangku kuliah, aku tak di kampung bersama Nenek, tapi lebih memilih tinggal dan mengenyam pendidikan di kota Makassar. Alasannya simpel, di kampung Nenek tak ada Universitas. Namun, setiap liburan aku akan mengunjungi perempuan tua itu.

Orang Bugis-Makassar banyak yang meyakini dan memiliki bacaan atau lafal yang mengandung kekuatan ghaib. Itulah yang mereka sebut baca-baca.

Baca-baca semacam mantra yang digunakan dukun-dukun di kampung untuk mengobati pasien atau orang sakit. Ada yang dipakai untuk perlindungan, bahkan ada pula yang bisa dipakai untuk mencelakai orang lain.

Sedangkan untuk mantra pelet/pengasihan, orang Bugis-Makassar menyebutnya 'Cenning rara'. Dan percayalah! Aku tak memiliki mantra semacam itu dan memang tak memercayainya.

***

Keesokan hari setelah kejadian anjing yang menggemparkan masjid tujuh belas tahun silam, Bu Baya menjadi pincang. Menurut Nenek seperti itu. Apa ini berhubungan? Untuk lebih jelasnya aku menanyakan pada beliau.

"Mengaku jatuh ki Baya waktunya mau pi buang air besar di sungai." Seperti itu jawaban Nenek ketika kutanya. Soal Bu Baya berbohong atau tidak, Nenek juga tak bisa memastikannya.
(Bu Baya mengaku jatuh saat hendak buang air besar di sungai)

Orang dulu memang tak memiliki kakus, sehingga ketika akan buang besar harus ke sungai. Mencuci di sungai, bahkan mandipun di sungai. Aku bergedik membayangkan ketika nenek berkata,

"Dulu belum pi ada PDAM, Baco. Di sungai jie orang ambil air buat minum."
(Dulu belum ada PDAM, Nak. Orang mengambil air di sungai untuk diminum.)

Meskipun airnya dimasak, tapi membayangkan Bu Baya dan masyarakat lain yang pastinya juga cebok di sungai setelah buang air besar membuatku agak mual. Aku hanya bersyukur, kini sumber air sudah dekat.

Kejadian di masjid belum berhenti sampai di situ. Nenek bercerita panjang lebar soal ini sampai napasnya ngos-ngosan.

...

Beberapa warga kampung mulai curiga bahwa Bu Baya mewarisi ilmu parakang dari ibunya yang bernama Nek Isa.

Desas-desus yang mengatakan bahwa Nek Isa adalah parakang memang santer terdengar. Bahkan Nenek haqqul yakin bahwa yang memakan organ dalam saudaranya adalah Nek Isa. Penyebab kematian adik Nenek adalah parakang terkutuk itu.

Nek Isa dan Nenekku bisa dibilang sengkatan dan dulu berteman cukup baik. Namun, sejak warga kampung mencurigai Nek Isa sebagai parakang dan Nenekku juga yakin bahwa yang membunuh saudaranya adalah Nek Isa, maka sejak saat itu terjadi perang dingin sampai akhirnya mereka tak saling bertegur sapa bahkan hingga kini.

Menjelang ajalnya, adik nenek membisikkan sesuatu ke telinga beliau,

"Hati-hati dengan Isa dan keturunannya! Yang membuatku seperti ini adalah Isa. Garis keturunan mereka tak akan putus, akan terus diwariskan ke anak cucunya."

Saat mendengar ucapan adiknya, Nenek hanya mengusap-usap kepala sang adik. Tak sanggup harus berkata apa saat melihat kondisi adiknya yang sudah sangat mengenaskan.

Adik nenek kembali mencengkram tangan sebagai isyarat agar Nenek mendekatkan telinganya.

"Iya, Dik, Kenapa kau bisa seyakin itu bahwa Isa pelakunya? Kenapa?"

"A-anak cu-cucu kita ... ja-ja-jauhkan da-dari Isa da-dan ke-keturunannya." Dengan terbata, adik nenek mencoba berbisik.

Nenek hanya bisa menangis saat melihat kondisi adiknya yang seperti itu.

Berkali-kali ia muntah darah dan saat buang air besar yang keluar juga cairan darah. Adik nenek yang notabenya saat itu masih muda dan masih gadis, terlihat bak tengkorak hidup. Hanya kulit tanpa daging yang membungkus.

"Organ dalam tubuh adikmu sudah hancur. Dia dimakan parakang!" Dukun kampung yang saat itu dipanggil untuk mengobati adik Nenek juga merasa yakin bahwa itu perbuatan parakang.

Nenek dan beberapa keluarga yang ada di sana hanya bisa pasrah dan larut dalam kesedihan saat adik Nenek akan meregang nyawa.

"Aku tak tahu mengapa kau begitu yakinnya bahwa itu adalah perbuatan Isa." Nenek membisikkan kata-kata tersebut ke telinga adiknya di sela-sela kondisi yang makin kritis.

"Ta-ta-tadi di-dia datang ke-ke sini! Isa da-datang le-lewat je-jendela sa-saat ka-kalian ma-masih se-sembahyang di-di luar. I-isa me-memakai sa-sa-sanngul da-dan ma-matanya me-menyala, wa-warnanya me-merah da-darah."

Cengkraman tangannya makin kuat kepada Nenek. Melihat kondisi adiknya yang seperti itu, Nenek hanya mengusap-usap kepala adik tersayangnya untuk menenangkan. Hati Nenek teriris dan berjanji akan menjauhkan keturunannya kelak dari keluarga Isa.

Menjelang tengah malam adik nenek mengembuskan napas terakhirnya diiringi suara tangis dari keluarga yang menyayat hati. Terdengar bak simfoni yang sangat menyedihkan.

....

Setitik air terjatuh dari mata Nenek saat selesai bercerita. Bulu kudukku meremang dan entah kenapa malam ini hawanya terasa lain.

Suara 'uhu' burung hantu dan gemerisik binatang malam membuat nuansa horor yang makin mencekam. Di kampung Nenek, jika sudah jam sembilan malam seperti ini maka tak ada lagi kendaraan yang berlalu lalang.

"Nek ... masuk aja istirahat sudah malam," ucapku. Aku kasihan melihat Nenek yang keletihan sehabis bercerita.

"Iya, Baco. Nenek juga sudah mengantuk."

Perempuan tua itu bangkit, lalu berjalan pelan menuju kamar untuk beristirahat.

Tit ....

Terdengar bunyi notifikasi pesan dari ponsel pintarku. Siapa juga yang mengirim pesan malam-malam begini?

Tit ....

Notifikasi-nya berbunyi lagi sebelum ponsel kubuka.

Saat membuka handphone, ternyata ada dua pesan dan itu dari Nayla.

Tumben pikirku lagi. Tak biasanya Nayla mengirim pesan malam-malam. Bahkan, chat yang biasa kukirim sekadar say hallo, sering ia acuhkan meskipun sudah centang dua berwarna biru.

Agar tak penasaran, aku membuka chat yang Nayla kirim.

[Kahar ... kamu ke rumahku sekarang! Cepat! Mamak sama Bapak tadi pergi ke rumah sakit buat lihat keluarga yang kecelakaan. Sampai sekarang belum pulang-pulang. Aku takut banget, dari tadi bulu kudukku merinding.]

[Jendela kamarku dari tadi ada yang ketuk-ketuk, tapi pas kuintip gak ada orang. Kahar ... aku takut banget!]

NEXT