Waktu itu bulan Ramadhan. Jamaah yang akan melaksanakan shalat isya dan terawih secara berjamaah memenuhi setiap sudut masjid. Sudah hal lumrah, saat di awal pasti masih antusias. Pertengahan ramadhan sisa setengah pula, lalu di akhir hanya Sepuh-sepuh (Orang-orang tua) yang mengisi masjid. Kembali ke formasi awal.
Tirai pembatas saf antara jamaah pria dan wanita dibuka saat shalat Isya telah usai dilaksanakan. Sebelum masuk terawih, ada ceramah singkat dari Pak Ustaz.
Jamaah khidmat mendengar ceramah di dalam masjid, sedangkan beberapa jamaah pria keluar dan duduk-duduk di teras.
Seekor anjing yang entah muncul dari mana, berjalan sopan melewati barisan jamaah wanita yang berada di saf terdepan sambil menunduk. Sangat mirip manusia yang berjalan sambil membungkuk. Terus berjalan pelan menuju pintu keluar.
"Engka asu!" pekik seorang Ibu dalam bahasa Bugis.
(Ada anjing!)
"Awas! Engka asu," timpal Ibu yang lain.
(Awas! Ada anjing.)
Suasana di dalam masjid seketika gaduh, beberapa jamaah pria--saf paling belakang--yang lagi khusyu mendengar ceramah berbalik karena mendengar teriakan.
"Polei tega yarodo asue?" tanya seorang Ibu.
(Anjing itu muncul dari mana?)
"Dari ujung situ!" tunjuk jamaah wanita yang lain ke arah paling sudut. Dari ujung ke ujung, saf terdepan penuh kecuali tempat yang ditunjuk Ibu tersebut. Kosong tak ada orangnya.
"Siapa?"
"Magai nulle de' gaga taunna kurodo?"
(Kenapa bisa tidak ada orangnya di situ?)
"Siapa yang tadi duduk di situ?"
Suasana semakin gaduh, baik bahasa Indonesia ataupun bahasa Bugis bercampur jadi satu. Jamaah pria dan wanita yang tadi duduk, sudah bangkit dari posisinya. Pak Ustaz juga sudah menghentikan ceramah dan hanya berdiri di atas mimbar, tertegun melihat keadaan yang kacau.
Kegaduhan di masjid memancing jamaah yang tadi duduk di teras untuk bangkit dan melihat ke dalam.
Seorang anak kecil berusia lima tahun, yang duduk di belakang tempat kosong tadi--tempat munculnya anjing--kemudian berucap polos,
"Tadi yang duduk di situ Bu Baya!"
Semua mata tertuju padanya, hening beberapa saat, lalu beberapa detik kemudian suasana menjadi semakin gaduh.
"Parakang!!!" teriak jamaah wanita, disertai suara histeris dari Ibu-ibu yang lain.
"Iyaaa ... mannessani yarodo parakang!" teriakan dari jamaah wanita lainnya menambah gaduh suasana.
(Iya, sudah jelas itu parakang!)
Ibu dari bocah lima tahun tadi segera memeluk dan menutup mulut anaknya agar tak berbicara lagi. Takut terjadi fitnah yang semakin besar.
"Tutup i tangenna masigie!" teriak jamaah pria yang berada di dalam masjid.
(Tutup pintu masjid!)
Jamaah pria yang berada di luar segera menutup pintu masjid saat si anjing sudah hampir sampai.
BUUUKKK!
Pintu keluar tertutup sehingga si anjing terkurung di dalam masjid. Anjing itu bak maling yang ketakutan sehingga berlari tak tentu arah karena sudah tak bisa keluar lagi.
Anjing tersebut tak menggonggong, tapi mengeluarkan suara aneh yang terdengar memilukan, mirip orang menangis.
"Bunuh!"
"Alenngi bagena!)
(Kasi bagiannya!)
"Tangkap!"
"Hajar!"
Hampir seluruh jamaah pria memburu anjing jadi-jadian itu dan menyudutkannya. Sebagian memegang kayu besar dan panjang. Saat itu masjid masih dalam tahap renovasi, sehingga beberapa kayu masih tertinggal di dalam. Meskipun begitu, seluruh jendela sudah terpasang kaca dan tertutup sehingga tak ada jalan untuk kabur.
Saat anjing itu tersudut, Pak Amir lebih dulu menghantamkan kayu berukuran besar ke arah si anjing. Telak mengena ke bagian kaki kanannya.
"Kaing ... kainggg ... Uuu ...."
Anjing itu terpincang-pincang dan mengeluarkan suara yang sangat memilukan.
"Aja' munoi!" teriakan dari Pak Ustadz tedengar samar-samar, lalu tenggelam oleh suara kegaduhan.
"Bunuh!"
"Bunuh!"
"Unoi!"
(Bunuh!)
Saat jamaah lain hendak ikut menghajar anjing jadi-jadian itu, pukulannya luput sehingga kayu menghantam dan memecahkan jendela masjid.
Dengan terpincang-pincang, anjing tersebut melompat melalui lubang jendela yang pecah, lalu hilang dalam gelap.
***
"Besoknya, toh, Baco, setelah kejadian di masjid itu, Bu Baya jadi pincang. Bahkan sampai sekarang."
(Keesokan harinya, Nak. Bu Baya jadi pincang, bahkan hingga sekarang.)
Aku memerhatikan Nenek berusia delapan puluh tahun di depanku. Baju kebaya cokelat dengan peniti yang menjadi kancing menjadi penutup badannya. Ia masih tampak kuat di usia senja.
"Apa kejadian itu saling berhubungan, Nenek? Anjing itu pincang dan Bu Baya juga jadi cacat setelah kejadian itu?" tanyaku penasaran.
Nenek mengembuskan napas perlahan sebelum menjawab pertanyaanku.
"Sebagian warga menjadi semakin percaya dan yakin kalau Bu Baya jelmaan parakang setelah kejadian itu. Ibunya Bu Baya kau tahu, toh, Baco?" tanya Nenek dengan logatnya yang khas.
Aku hanya mengangguk. Seingatku sejak kecil saat masih tinggal di kampung Nenek, aku selalu ditakut-takuti agar tak dekat-dekat dengan Nek Isa. Nek Isa adalah wanita tua seusia Nenek dan merupakan Ibu dari Bu Baya.
"Banyak ki yang percaya kalau Bu Baya itu mewarisi darah parakang dari Mamak na." Nenek tampak serius.
(Banyak yang memercayai bahwa Bu Baya mewarisi darah parakang Ibunya.)
"Terus, Nek. Siapa bocah lima tahun di dalam masjid yang melihat sosok Bu Baya sebelum berubah menjadi anjing."
"Pasti kau kenal jie, Baco." Nenek tersenyum, lalu melirikku.
(Pasti kamu tahu, Nak.)
Nenek selalu memanggilku Baco, padahal itu bukan nama asliku. Baco atau Aco adalah panggilan yang berarti anak laki-laki dalam bahasa Bugis.
"Siapa, Nenek?" tanyaku penasaran.
"Nayla," jawab Nenek.
Deg ....
Nayla adalah gadis Bugis yang manis. Ia memakai hijab dan sifatnya, ya ... agak cuek dan jutek, sih. Mungkin saja karena belum cinta.
Jarak usiaku dengan Nayla hanya dua tahun. Tujuh belas tahun lalu saat kejadian di masjid itu usia Nayla baru lima tahun, jadi ... saat itu umurku sudah tujuh tahun dan sudah tak tinggal di kampung Nenek.
Sejak memasuki bangku Sekolah Dasar, aku sekeluarga ikut Bapak merantau di kota. Nenek hanya tinggal bersama Uwa di kampung, tapi setiap libur, kami sesekali akan mengunjungi Nenek.
Aku sangat penasaran dengan cerita parakang ini. Mungkin nanti aku akan ke rumah Nayla untuk mendengar langsung ceritanya tentang kejadian tujuh belas tahun silam. Semoga saja ia mau karena gadis berhijab itu sering jutek padaku.
Saat ini usiaku dua puluh empat tahun, sedangkan Nyala dua puluh dua tahun. Yah, mungkin ia hanya malu-malu saja karena sekarang kami adalah sepasang orang dewasa dengan umur yang siap menikah.
Saat mengunjungi Nenek, aku sering berpapasan dengan Bu Baya. Seperti tadi pagi saat sedang berjalan-jalan keliling kampung, aku berpapasan dengan Bu Baya. Wanita berusia sekitar setengah abad itu, jalan terpincang-pincang sambil memegang kaki kanannya.
Usia lima puluh tahun masih terlalu cepat untuk menjadi bungkuk. Namun, seperti itulah kondisi Bu Baya. Badannya bungkuk dan jalannya terpincang-pincang. Menurut cerita Nenek, karena sosok anjing yang dipukul oleh Pak Amir di masjid adalah jelmaan Bu Baya, sehingga kondisinya bisa seperti itu.
Sebagian warga juga banyak yang percaya, lalu menjauhi Bu Baya dan Nek Isa sejak kejadian di masjid itu. Beberapa warga menjadi sungkan, bahkan takut dengan mereka.
Secara tak langsung, mereka dikucilkan oleh warga. Apakah aku percaya dengan cerita itu? Aku masih mencari tahu sampai sekarang.
***
NEXTAR
Jangan lupa subscribe biar dapet notif tiap kali aku up part terbaru!
Beberapa novel-ku lagi open PO, ya, Temans. Yang mau order bisa hubungi WA 0877 5661 6713
Semoga rejeki teman-teman lancar, agar bisa peluk novelku. 😇