Aras si Gondong
Jika di Ibu kota ada hantu cantik bernama si Manis Jembatan Ancol, maka masyarakat Sulawesi juga mengenal setan Sumiati. Konon kabarnya tak kalah cantik dengan hantu Ibu kota itu.

Anehnya, kisah mereka ini sama. Dibunuh setelah diperkosa. Kejam dan biadab. Sebenarnya aku tak begitu mempercayai hal mistis seperti ini, tapi aku rela kalau Si Manis dan Sumiati menghantui para lelaki biadab yang memperkosanya. Lelaki murahan yang rela berbuat keji demi memuaskan selangkangan.

Masyarakat Makassar percaya dengan cerita bahwa saat bertemu Sumiati berbaju putih, maka ia tak akan menganggu. Namun, jika melihatnya dengan baju berwarna merah, maka berhati-hatilah karena saat itu ia sedang murka. Cerita tentang setan Sumiati sangat ngetop di tahun 90-an. Dia satu angkatan dengan Dillan 1990.

Kadang aku merasa heran dengan urban legend. Mereka banyak samanya. Contohnya Sumiati dan Si Manis tadi.

Lalu, ada lagi kuyang, leak, dan palasik. Mereka sama-sama suka makan ari-ari sekaligus orok bayi. Mereka gak pernah ngertiin Ibu hamil. Bumil di seluruh Nusantara sangat takut sekaligus benci dengan keberadaan mereka.

Bentuk mereka sama. Hanya kepala dengan isi perut terburai dan dapat terbang. Matanya merah dan memiliki lidah yang menjulur panjang. Konon kabarnya, mereka meninggalkan badan di suatu tempat, sebelum terbang dengan hanya kepala yang membawa jeroan.

Kuyang populer di Kalimantan, Leak di Bali, dan masyarakat Minang di Sumatera menyebutnya Palasik. Sedangkan di Sulawesi?

Jawabannya kudapat pagi ini saat sedang mencari kutu di rambut Nenek.

Nenek duduk di anak tangga nomor sepuluh, sedangkan aku satu tingkat di atasnya, di anak tangga nomor sebelas.

Aku sedang mencari kutu di rambut putih Nenek. Tradisi ini memang marak di kampung-kampung. Biasanya sih gadis-gadis Bugis-Makassar dengan rambut hitam menjuntai panjang. Mereka akan duduk di anak tangga paling bawah sampe ke anak tangga paling atas.

Gadis yang duduk di anak tangga teratas akan mencarikan kutu gadis yang duduk pada anak tangga di bawahnya. Terus ... terus ... terus seperti itu, sampai akhirnya gadis yang duduk di anak tangga terbawah hanya duduk saja dan tak bekerja apa-apa.

Meskipun aku bukan gadis, karena namaku jelas-jelas Kahar, tapi tak masalah kalau memanjakan Nenek. Toh, sejak kecil kehangatan kasihnya kurasa, bahkan hingga kini.

Aku tak lama lagi tinggal di kampung Nenek. Mungkin, besok atau lusa sudah balik ke kota Makassar. So, aku ingin quality time dengan beliau. Kutu belum juga kutemukan di rambut Nenek yang memutih, hanya beberapa 'alissa makapa' saja (Anak kutu/sarang kutu yang menempel di rambut).

"Banyak, kah, kutuku, Baco?" tanya Nenek dengan logat khasnya.
(Banyak kutu di rambut Nenek, Nak?)

"Tidak ada, Nek. Cuma alissa makapa (telur kutu yang gak ada isinya) saja," jawabku.

"Oh! Jelas mi ada induk kutunya itu. Cari teruski, Baco!" perintah Nenek.
(Oh! Kalau gitu sudah pasti ada induk kutunya. Cari terus, Nak!)

"Ahsiap ...."

Di tengah pencarian induk kutu, aku kembali mewawancarai Nenek.

"Nenek ... tahu hantu kepala terbang? Apa itu sama dengan parakang?"

"Beda ki, Baco," jawab perempuan tua yang memakai baju kebaya itu.
(Beda, Nak.)

Nenek memang tak pernah mau memakai daster atau baju kaos, beliau selalu menggunakan kebaya yang bagian depannya direkatkan dengan peniti. Lalu untuk bawahannya bukan rok, atau bukan pula celana botol, tapi sarung.

"Terus apa namanya kalau di sini, Nek?" tanyaku di sela-sela pencarian induk kutu.

"Poppo namanya di sini."

"Bentuknya, Nek?"

"Kepala ji saja sama organ dalam na yang bergelantungan. Terus panjang ki lidahnya sama merah matanya. Poppo itu kalau terbang ki di malam hari ada suaranya."
(Cuma kepala dengan organ dalam yang bergelantungan. Lidahnya panjang dan matanya merah. Poppo itu saat terbang di malam hari mengeluarkan suara.)

"Bagaimana suaranya, Nek?" tanyaku penasaran.

"Pok-pok-pok ...." Nenek menirukan hantu poppo itu dengan suara bergetar. Menyeramkan.

Ternyata selain kuyang, leak, dan palasik, ternyata di Sulawesi ada juga yang seperti itu. Yah, menurut Nenek namanya hantu poppo.

Selang beberapa saat akhirnya aku menemukan induk kutu di rambut putih wanita kesayanganku itu. Aku menangkapnya hidup-hidup, lalu menyerahkan kepada Nenek.

"Nek ... ini ...."

Induk kutu berpindah tangan ke Nenek. Hanya tingga tinggal menunggu waktu beberapa saat sebelum makhluk kecil pemakan darah itu menemui ajalnya.

***

Malam kesekian di kampung Nenek.

Aku duduk bersila untuk bersantap malam bersama Uwa dan Nenek. Uwa juga duduk bersila. Hanya Nenek yang tidak, karena beliau perempuan. Menu malam ini sederhana saja, ada sayur daun kelor, sayur rebung, ikan, dan sambel.

Orang-orang di kampung jarang yang memiliki meja makan. Mereka lebih suka lesehan saja dan kalau makan hanya memakai tangan, bukan sendok, garpu, atau sumpit. Katanya lebih nikmat.

Uwa terlihat sangat rapi malam ini. Songkok terpasang di kepala, baju lengan panjang dengan kancing tertutup rapi, dan untuk bawahan memakai sarung. Bukan boxer atau celana botol juga.

Kebiasaan Uwa dan orang-orang dulu memang seperti itu. Saat makan selalu berpakain rapi, katanya untuk menghormati/menghargai makanan. Filosofi yang sangat bagus. Selalu ada hal-hal positif yang kupelajari dari mereka berdua.

Kami bertiga makan dengan tenang, tak ada acara selfie-selfie sebelum makan, tak pula bergosip atau ketawa cekikikan. Masing-masing fokus dan menikmati makanan sederhana ini. Yah, memang terasa lebih lezat saat makan dengan tangan.

Selesai bersantap malam, Uwa dan Nenek kusuruh ke kamar saja beristirahat. Sedangkan aku baru selesai mencuci piring. Sebagai pria, tak masalah bagiku melakukan pekerjaan ini. Wujud pengabdian kepada mereka.

Aku baru saja mengambil gawai. Rencananya mau mengirim pesan ke Nayla. Ingin tahu bagaimana kabarnya dan apakah matanya sudah sembuh, tapi sebelum pesan kuketik ....

Tok! tok! tok!

Siapa pula yang bertandang ke rumah Nenek semalam ini?

Aku bangkit dengan malas, lalu berjalan pelan menuju pintu. Setelah sampai, tanganku memutar anak kunci dua kali.

Saat pintu terbuka, tampak sosok berambut panjang. Sangat panjang. Ia hanya berjarak satu langkah di depanku. Aku tertegun melihatnya, lalu berkata,

"Gondrong ...."

"La Kahare kapan ko datang dari Makassar, nah?" Pria berambut gondrong itu menepuk punggungku.
(Si Kahar, kapan kamu datang dari Makassar?)

Namanya Aras, tapi orang-orang kampung memanggilnya 'Gondrong', 'La Gondrong', atau 'Gondrong Carepa' yang artinya Si Gondrong kotor.

"Astaghfirullah ... aku kira kamu setan," ucapku jujur sambil mengelus dada. "Sudah hampir seminggu aku di sini. Ayo duduk dulu!" Aku mengajak Aras duduk di lego-lego.

Pemuda pengangguran ini usianya jauh di atasku. Tiga puluh tahun lebih dan belum menikah juga. Dia, sih, mengaku karena tingginya uang panaik.

"Dari ka' rumahnya pacarku ini, jadi sekalian saya singgah di rumah Nenekmu, karena Ibunya Maryam kasih tau ke saya kalau ada Kahar dari Makassar."
(Saya dari rumah pacar, jadi sekalian singgah di rumah Nenekmu. Ibunya Maryam memberitahu bahwa kamu datang dari Makassar.)

Aras berbicara panjang lebar dengan logat Sulawesi-nya tanpa kutanya. Ia dan Maryam sudah berpacaran cukup lama, tapi belum menikah karena keluarga dari pihak wanita meminta uang panaik yang cukup tinggi.

Aku ke dapur sebentar meninggalkan pemuda gondrong yang malam ini tampak sangat rapi dengan baju kemeja motif bunga-bunga dan bawahan celana model pistol. Bukan bawahan sarung.

Kopi hitam pekat kusajikan di depannya, tak lupa dengan alas piring kecil.

"Mantap, Sappo," ujarnya.
(Mantap, Saudara.)

Sappo adalah panggilan keakraban bagi anak-anak Bugis. Anak Belitong memakai istilah 'Boy', kalau di Pontianak istilahnya 'Budak-budak', dan masih banyak sebutan lainnya di seantero negeri.

"Kamu ngga takut jalan malam-malam sendiri?" tanyaku.

Pemuda berambut gondrong itu hanya tertawa. Sambil menikmati kopi hitam, Aras menceritakan pengalamannya yang membuat bulu kudukku merinding.

Menurut cerita Aras, dia pernah bertemu parakang.

"Ini rahasia, Kahar. Jangan ko sebarkan karena ini siri' dan takutnya terjadi fitnah. Kau tahu, toh, bagaimana di kampung?" Nada suara Aras terdengar serius.
(Ini rahasia, Kahar. Jangan kamu sebar karena ini aib, takutnya terjadi fitnah. Kamu tahu, kan, bagaimana keadaan di kampung?)

Aku hanya mengangguk-angguk seperti burung perkutut sambil mendengarkan cerita pemuda berambut gondrong itu.

Aras melanjutkan ceritanya. Ia bertemu dengan parakang itu saat tengah malam. Waktu itu baru pulang menonton electon (acara musik dangdut di pernikahan, biasanya biduan berjoged seksi dan bisa disawer). Saat pulang itulah dia melihat Nenek-nenek berkonde di tengah jalan.

"Siapa Nenek berkonde itu?" Aku bertanya. Sangat penasaran.

"Pasti ko kenal jie juga, Sappo."
(Pasti kamu juga kenal, Saudara.)

"Siapa?" tanyaku lagi.

"Nek ... Isa ...." jawab Aras dengan setengah berbisik. Entah takut kedengaran siapa sedangkan jarak dari rumah satu ke rumah lain di kampung Nenek lumayan jauh, jadi tak ada istilah tetangga menguping.

"Beneran Nek Isa?"

"Hei ... hei ... kasi kecil ki suaramu!" Aras tampak panik.
(Hei ... hei ... pelankan suaramu!)

"Kenapa?" Aku ikut kaget dengan ekspresinya. Biasanya anak ini santuy.

"Katanya ... kalau kita sebut ki namanya Parakang itu bisa dengar dan bisa ki na datangi." Suara Aras bergetar.
(Katanya ... jika kita menyebut namanya, maka parakang itu bisa mendatangi kita.)

Ada kengerian yang kutangkap dari melodi suaranya dan kini ... aku juga sukses merinding. Nenek juga sering memberitahuku agar tak menyebut-nyebut nama parakang itu.

"Pas kamu lihat bagaimana bentuknya?"

Pria berambut gondrong itu menyeruput kopi hitamnya, lalu mendeskripsikan sosok Nek Isa yang ia duga parakang saat malam itu.

Aras melihat Nenek-nenek di jalan yang sepi saat hendak pulang ke rumahnya. Awalnya cukup heran, apa yang dilakukan seorang Nenek tua saat tengah malam di tempat seperti itu. Aras mendekati dan bermaksud menanyakan. Namun, saat melihat wajahnya, pemuda gondrong itu tak jadi bertanya dan langsung berlari ketakutan. Ia melihat Nek Isa, tapi wajahnya pucat dan matanya merah seperti darah dan ... wanita tua itu menyeringai.

Mendengar cerita Aras sukses membuatku sangat ketakutan. Ini fakta! Ini nyata! Parakang itu benar adanya dan masih ada hingga kini. Tak bisa kubayangkan, dalam bermasyarakat kita hidup rukun dan tentram tanpa tahu bahwa ada seorang parakang yang hidup di antara kita.

Nek Isa adalah orang tua Bu Baya. Nenekku juga percaya bahwa Nek Isa adalah parakang yang dulu membunuh saudara kandungnya.

Sebagian masyarakat di kampung juga percaya bahwa Bu Baya kini mewarisi darah parakang dari Ibunya, tepatnya sejak ada peristiwa anjing yang masuk ke dalam masjid beberapa tahun silam.

Saat jantungku masih berdebar tak beraturan, dari kejauhan tampak iring-iringan obor. Beberapa warga kampung berlari membawa obor dan pentungan dibunyikan. Mereka berteriak diiringi suara pentungan yang dipukul keras ....

"Parakang!"

Tung! tung! tung!

"Ada parakang!"

Tung! tung! tung!

"Ada orang dimakan parakang ...."

Tung! tung! tung!

NEXTAR

BAB 8, 9, 10 TERKUNCI OTOMATIS DARI SISTEM. BISA KELEN BUKA PAKAI KOIN SILVER.