Astaghfirullah ... jika perempuan yang memakai jilbab kuning di atas rumah adalah Nayla, maka siapa sosok yang berjarak satu langkah di sampingku ini?
Aku tersentak saat bahu sebelah kiri merasakan tepukan.
"Hai, Kahar! Kenapa kamu gak naik ke rumah?"
Aku berbalik melihat wanita di sampingku. Rambutnya berantakan, mukanya pucat, dan matanya ... ah, ternyata tak semerah darah. Seperti sakit mata akibat iritasi saja.
"Hei, kok, gak dijawab, sih? Perasaan tadi pintu rumah sudah kututup, deh," ucapnya lagi sambil memandang ke atas, ke arah pintu.
Pandangan ikut kualihkan ke atas. Terlihat pintu rumah yang terbuka dan wanita berhijab kuning tadi ... sudah tak ada di sana.
Astaghfirullah .... jantung berdetak tak karuan dan tengkuk terasa dingin.
"Ah, kamu pasti kaget lihat rambutku yang berantakan kayak hantu ini, kan? Hehe ... tadi buru-buru ke toilet, gak sempat nyisir dan hijaban dulu. Ya, sudah sini naik! Aku gak enak, nih, gak pakai jilbab depan kamu."
Nayla berjalan menaiki satu demi satu anak tangga, sedangkan aku terpaku dan menatap tajam ke bagian punggungnya. Jika saja netraku menangkap punggung itu bolong atau mengeluarkan darah, maka saat ini juga aku akan berlari ke rumah Nenek.
Namun, punggungnya tak bolong. Tak ada darah. Ia jelas Nayla. Sial! Sundel Bolong, kan, tak ada di Sulawesi. Sepertinya aku kebanyakan nonton film horor.
Lalu, siapa perempuan berhijab kuning tadi? Mataku belum rabun dan yang kulihat jelas-jelas Nayla.
Kakiku melangkah menaiki satu demi satu anak tangga. Dingin di tengkuk masih terasa, bulu kuduk juga merinding tak karuan. Sedangkan bulu yang lain adem ayem saja tak memberi respon. Maksudku bulu ketiak. Ia telah kupangkas tiga hari yang lalu.
***
Jika rumah minimalis di daerah perkotaan memiliki teras, maka rumah panggung di kampung memiliki lego-lego.
Ketika menaiki tangga, maka kita akan langsung sampai di lego-lego sebelum masuk ke dalam rumah panggung melalui pintu kayu. Di lego-lego ada tempat duduk yang juga terbuat dari kayu.
Saat ini aku dengan Nayla duduk di lego-lego. Aku masih memikirkan kejadian tadi. Apa aku mengkhayal? Ahhh membingungkan.
"Hei, tumben, sih, kamu pendiam banget? Lagi mikirin apa? Dari tadi cuma melamun aja."
Aku tak menjawab pertanyaan wanita berparas manis yang duduknya agak jauh dariku itu. Aku masih memikirkan kejadian tadi.
"Kahar ... tadi kamu takut ngelihat mataku yang merah, yah? Aku udah dua hari sakit mata. Pasti ngirain parakang?"
Deg ....
Parakang? Apa benar sosok berjilbab kuning yang tadi menyerupai Nayla adalah parakang? Bulu kuduk kembali meremang.
"Nayla ... kamu di rumah beneran lagi sendiri aja?" tanyaku penasaran untuk memastikan. Siapa tahu saja wanita berjilbab kuning yang tadi kulihat adalah sepupu atau mamaknya. Hmm ... meskipun mamaknya gak mungkin juga muda kayak tadi.
Nayla merapikan jilbab hitam dengan motif polkadot yang ia pakai malam ini, lalu mendengus. Tampaknya ia kesal karena dari tadi pertanyaannya kuabaikan.
"Ih ... kamu. Kalau aku ada temen mah gak mungkin aku manggil kamu ke sini. Sendiri, lah."
Yes. Aku sukses membuatnya marah. Abaikan wanita sedikit saja, maka ia akan marah semarah-marahnya. Sedangkan kalau wanita yang cuek, lelaki tak boleh marah. Begitu hukumnya.
"Iya ... iya ... terus siapa yang kecelakaan?"
Aku mengalihkan pembicaraan. Jurus terjitu menghadapi kaum Hawa jika sedang marah atau merajuk.
"Om."
Nayla menjawab singkat, padat, dan jelas. Ibu Nayla adalah anak tunggal. Sedangkan ayahnya hanya memiliki seorang daeng (panggilan kakak atau abang dalam bahasa Bugis/Makassar)
"Pak Amir?"
"Iya. Om Amir," jawab Nayla seraya mengangguk.
Dalam cerita Nenek, Pak Amir adalah orang yang memukul anjing ketika peristiwa menggemparkan terjadi di masjid beberapa puluh tahun silam.
Sejak saat itu terjadi perang dingin antara kedua keluarga. Mereka tak bertegur sapa tanpa sebab. Sama seperti Nenekku dengan Nek Isa.
"Kok mukamu pucat, sih, Nayla?"
Bukan sok perhatian, tapi aku memang khawatir aja dengannya.
"Mungkin karena ketakutan aja di rumah sendirian dan dari tadi aku mendengarkan suara-suara aneh."
Nayla bergeser sedikit mendekat denganku. Ia tampak takut. Pucuk dicinta, gayung bersambut. Kesempatan tak kusia-siakan. Pantat kugeser sedikit juga agar tambah dekat.
Akhirnya ... kini kami dekat-dekatan, tapi belum bersentuhan.
"Tapi, kok, kamu tadi berani turun ke toilet?"
"Iya ... aku kebelet, itu aja buru-buru. Toilet kan di bawah rumah, gak mungkin dia yang naik pas aku mau buang air, kan? makanya aku yang turun."
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Rupanya bisa juga gadis manis ini bercanda.
Aku dan Nayla bercerita banyak banyak tentang kuliah kami di Makassar. Tentang kapan mau balik ke Makassar lagi.
Dilanjutkan dengan membahas Pak Amir yang menurut cerita Nayla, menabrak anjing ketika maghrib tadi hingga beliau jatuh dan kakinya patah.
"Hahaha ...." Aku tak dapat menahan tawa. Ada satu hal yang meggelitik di pikiranku.
"Bukan ... bukan gitu, Nayla." Aku berusaha menahan tawa.
"Iya ... kenapa, sih?"
"Inget kejadian Pak Amir beberapa tahun silam? Nenekku pernah bercerita dan katanya waktu itu kamu juga ada di sana."
"Kejadian apa, Kahar?"
"Anjing masuk mesjid yang dikira parakang itu. Waktu itu kan Om kamu yang mukul si anjing sampai pincang dan keesokan harinya, tahu kan? Bu Baya ikut-ikutan pincang bahkan sampai sekarang."
Gadis berbadan mungil itu menyimak ceritaku. Tampak serius seperti mahasiswi saat berhadapan dengan dosen killer.
"Nayla."
"Ya."
"Aku gak bisa bayangin, kalau ternyata anjing yang tadi ditabrak Pak Amir adalah anjing yang dulu dipukulnya sampai pincang. Waktu dipukul aja, besoknya Bu Baya jadi pincang. Kalau sampai ditabrak motor kayak tadi, aku yakin besok Bu Baya pasti lumpuh total."
Gadis di depanku terpingkal-pingkal.
"Nayla ... sebenarnya kejadian di masjid waktu itu seperti apa?"
Aku memang sudah lama ingin menanyakan soal ini padanya. Nayla adalah saksi kunci kejadian tersebut.
"Waktu itu aku masih lima tahun. Gak ingat jelas, sih, bagaimana kronologi ceritanya."
"Tentang Bu Baya? Kamu jelas melihatnya?"
Ekspresi Nayla berubah. Tampak sangat ketakutan.
"Kalau soal itu masih aku ingat. Bahkan sampai sekarang." Nayla menjawab dingin.
"Bagaimana ceritanya Nayla?"
Aku benar-benar penasaran. Sebenarnya dari dulu aku tak pernah mau percaya kalau Bu Baya adalah parakang.
Setelah menghela napas, akhirnya Nayla bercerita.
"Aku di shaft kedua waktu itu. Paling pojok di samping Ibu. Saat itu sementara shalat Isya, sedangkan aku tidur-tiduran saja di atas sajadahku bahkan di atas sajadah Ibu yang sementara shalat.
Di depanku ada jamaah wanita yang saat sementara shalat tampak gelisah, tak seperti jamaah lain. Akhirnya perhatianku fokus ke Ibu yang di depan. Saat itu aku belum tahu siapa. Karena kondisinya masih membelakangiku.
Kan aku tidur, tuh, di atas sajadah. Pas rukuk itulah aku melihat jelas wajah Bu Baya. Jadi aku yakin banget kalau di depanku itu Bu Baya.
Singkat cerita setelah selesai shalat Isya itu ada ceramah dari Pak Ustadz. Aku lumayan mengantuk saat itu jadi baring di atas paha Ibu.
Lalu tirai pembatas shaf antara jamaah pria dan wanita dibuka. Saat itulah aku melihat Bu Baya berdiri dan berjalan menuju pintu sambil menunduk.
Tak lama setelah itu suasana mulai gaduh, lalu sebagian jamaah berteriak dan panik.
'Anjing!'
'Awas ... ada anjing lewat.'
Aku yang tadi tidur di paha Ibu, lalu duduk karena mendengar kegaduhan. Saat itu aku masih lima tahun dan belum bisa mencerna apa yang terjadi.
Suara Ibu-ibu yang panik saling bersahut-sahutan.
'Anjing dari mana?'
'Dari mana munculnya?'
'Dari ujung situ.'
Seorang Ibu menunjuk ke tempat kosong yang tepat berada di depanku.
'Kok bisa kosong di situ?'
'Iya, kok bisa?'
'Perasan belum ada yang keluar'
'Memangnya siapa yang tadi di situ?'
Mereka kembali gaduh dan saat itulah aku menimpali.
'Yang tadi duduk di situ Ibu Baya, kok.'
Aku ingat betul, setelah mengucapkan itu, Ibu menutup mulutku dengan tangannya. Maksudnya agar aku tak bicara sembarangan.
Setelah itu kegaduhan itu terjadi. Terdengar teriakan,
'Parakang!'
'Bunuh parakang itu!'
'Anjing itu jelmaan parakang.'
Suaran anjing itu terdengar memilukan saat hendak dimassa oleh jamaah.
Seingatku seperti itu ceritanya, Kahar."
Nayla menyelesaikan ceritanya.
***
Beberapa jam kemudian Bapak dan Mamak Nayla pulang. Aku pun bersiap-siap pulang dan meminta ijin kepada calon mertuaku kelak. Aamiin.
Aku mencium punggung tangan calon Mamak mertua. Berbau terasi. Mungkin saja tadi habis nyambel, pikirku.
Setelah itu aku mencium punggung tangan calon Bapak Mertua.
"Kamu ndak takut toh pulang sendiri, Co'?" tanya Bapak Nayla seakan-akan meremehkan kejantananku.
(Kamu tidak takut kan pulang sendiri, Nak?)
"Iya dende ... malam mi ini, Baco. Gelap mi juga di jalan." Calon Mamak mertua ikut menimpali.
(Dug ... ini sudah malam, Nak. Di jalan juga gelap.)
"Insya Allah tidak takut, Bu, Pak." Aku menjawab mantap dan lantang. Aku gak boleh terlihat lemah di depan Nayla.
"Makasih, yah, Kahar sudah nemenin aku."
" Sip."
Nayla sekeluarga masuk ke dalam rumah dan menutup pintu sedangkan aku berjalan santai menuruni satu demi satu anak tangga.
Saat sampai di bawah, aku memasang sandal swallow. Lampu di lego-lego dimatikan disusul lampu lain di dalam rumah.
Sepertinya Nayla dan orang tuanya sudah langsung beristirahat.