Sewaktu kecil Nenek akan sangat marah, kalau aku belum berada di rumah saat waktu Maghrib tiba.
"Awasko nanti dimakan sama Nenek Pakande! Besok-besok kalau keluarko lagi maghrib-maghrib, nenek pukul betulko itu nah!" omel Nenek dengan logatnya yang khas.
(Awas nanti dimakan sama Nenek Pakande (nama hantu)! Besok nenek pukul kamu kalau keluar pas maghrib!)
Seingatku, Nenek jarang sekali memarahiku saat kecil. Namun, beliau akan sangat murka kalau aku belum pulang saat masuk waktu maghrib.
"Siapa itu Nenek Pakande? Suka mande apa?" tanyaku dengan polos waktu itu.
Dalam bahasa bugis, 'mande' atau 'mandre' artinya adalah makan. Sedangkan arti 'pakande' adalah pemakan. Saat mengucapkan itu, aku nyengir kuda membayangkan siapakah nenek-nenek yang mau makan bocah kumal sepertiku.
"Mwehehehe ...." Tawaku akhirnya pecah di depan seorang Nenek yang sedang murka.
Sama sekali tak ada takut-takutnya dengan Nenek, karena yakin soal ancaman pukulan tadi pasti cuma main-main. Bapak sama Ibu, sih, biasa memukulku, tapi Nenek tak pernah.
"Itu Nenek Pakande suka sekali makan ki anak kecil, Baco!" Nenek menakut-nakutiku. Ia melotot dan menyeringai. Malah terlihat lucu bagiku. Aku menutup mulut kecilku waktu itu. Takut kelepasan lagi.
(Nenek Pakande itu suka memakan anak kecil, Nak!)
Saat menutup mulut itulah, dengan terpaksa tawa tertahan, tapi malah keluar lewat pantat.
Prut ....
Aku kentut di depan Nenek yang sedang marah. Saat itu aku memang belum sekolah, jadi pantat juga belum belajar tata krama.
Nenek yang tadi marah, malah terpingkal-pingkal, lalu membelai kepalaku dengan kehangatan kasih. Aku ikut tertawa lembut, belaian Nenek beberapa tahun lalu masih kurasa hingga kini.
Namaku Kahar, tapi nenek lebih suka memanggil Baco atau La Baco. Baco atau Aco adalah panggilan untuk laki-laki atau anak laki-laki bagi suku Bugis-Makassar. Sedangkan untuk panggilan perempuan yaitu Becce.
Sebelum masuk Sekolah Dasar, aku, Ibu dan Kakak perempuanku memang tinggal bersama Nenek. Sedangkan Bapak merantau di Ibukota. Barulah saat akan masuk SD, Bapak memboyong kami sekeluarga untuk tinggal di kota juga.
Mau tak mau Nenek dan Uwa (panggilanku kepada kakek) tinggal berdua saja di kampung ketika kami sekeluarga berangkat ke Ibukota, karena anak-anaknya yang lain--termasuk Ibuku--sudah berkeluarga.
"Janganko pulang maghrib-maghrib lagi nah, Baco! Sama ndak usah ko keluar-keluar kalau sudah malam!" Seperti itu pesan Nenek waktu itu sebelum akhirnya ia menggendongku ke dalam rumah.
(Jangan keluyuran sampai maghrib lagi, yah, Nak! Jangan pula keluar rumah saat malam!)
***
Kini, aku sudah duduk di bangku kuliah. Lebih dari cukup untuk dibilang dewasa. Namun, larangan untuk keluar malam saat berada di kampung Nenek tetap berlaku hingga kini.
[Iya, tunggu sebentar Nayla! Aku akan segera ke sana ....]
Aku dilanda dilema. Nenek pasti tak akan mengijinkanku keluar malam-malam seperti ini. Ponsel menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Pintu kamar Nenek yang terbuat dari kayu kudorong dengan pelan.
Krieeettt ....
Tetap menimbulkan suara, tapi Nenek tak mungkin menyadari karena pendengarannya sudah tak sejernih mata air pegunungan lagi.
Pun dengan lelaki yang berbaring di samping Nenek? Mata sepasang kekasih itu terpejam dan tampak damai. Aku kembali menutup pintu kamar Nenek dengan sangat perlahan.
Krieeettt ....
Di dalam tadi ada seorang lelaki yang berbaring di samping Nenek. Ia pernah kujadikan saingan saat kecil. Aku sangat marah saat ia dekat-dekat dengan Nenekku.
Lelaki itu adalah suami Nenek, aku memanggilnya ... Uwa.
Kakiku melangkah pelan, meskipun kadang menimbulkan bunyi saat menginjak lantai papan yang sudah tua.
Pun saat menuruni sebelas tangga rumah panggung ini. Bak pasukan paskibraka pembawa baki yang turun dengan perlahan sesaat setelah Presiden menyerahkan bendera. Bedanya, aku tak berjalan mundur.
Terasa lega saat akhirnya kakiku menginjak tanah. Kupandangi sebelas tangga yang tadi kuturuni dengan perlahan.
Sampai saat ini masyarakat Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa masih menggunakan rumah panggung sebagai tempat tinggal.
Rumah panggung terbuat dari kayu dengan balok-balok tinggi yang menyanggah sekaligus sebagai tiang. Persis seperti panggung.
Untuk naik ke atas rumah ada tangga yang orang dulu percaya harus berjumlah ganjil. Sembilan atau sebelas anak tangga, mengingat rumah yang cukup tinggi.
Jarak ke rumah Nayla dekat saja. Tak memakan waktu sampai lima menit. Aku melangkah dengan hati-hati saat mulai menyusuri jalan kampung yang kondisinya rusak.
Malam ini hawanya terasa beda. Hening. Angin yang berembus perlahan menggoyangkan ranting dan juga daun pohon yang kulewati di sepanjang jalan. Membuat suasana makin mencekam.
Sebagai manusia biasa ada takut yang kurasa sehingga membuat jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. Namun, aku terus melangkah menuju rumah Nayla sambil memberi sugesti-sugesti positif di otak.
Perjalanan yang seharusnya tak memakan waktu lima menit, terasa sangat lama. Aku ngos-ngosan saat sampai di depan rumah Nayla. Entah karena capek atau ketakutan.
Aku bergedik mengingat pesan dari Nayla tadi. Dia berkata bahwa ada yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya Entah setinggi apa orang itu? sehingga bisa mengetuk jendela yang tingginya enam meter. Kecuali jika ia dapat terbang, tapi itu mustahil.
Nayla juga tinggal di rumah panggung dengan sebelas anak tangga yang harus didaki saat hendak naik ke atas.
Hmm ... saat ini Nayla pasti sedang meringkuk ketakutan di dalam kamarnya. Aku melangkahkan kaki menginjak anak tangga yang pertama.
Saat menginjakkan kaki di anak tangga yang kedua, aku membayangkan Nanti akan mengobrol dengan Nayla di mana? Apa di lego-lego (teras rumah panggung) atau akan mengobrol di kamar wanita berbadan mungil itu. Leave it! Pikiranku kenapa sebusuk ini?
Saat hendak melangkah lagi.
Krieeettt ....
Terdengar suara pintu yang terbuka. Bukan pintu rumah panggung Nayla, tapi suara itu berasal dari toilet yang letaknya di bawah rumah.
Rata-rata orang di kampung, wc-nya terpisah. Letaknya di bawah atau samping rumah, jadi saat ada yang mau buang hajat malam-malam ya ... harus turun dulu ke tanah, lalu menuju toilet. Menuruni sebelas anak tangga sambil menahan perut yang melilit. Tak dapat kubayangkan.
Mataku tertuju pada seorang wanita yang keluar dari toilet. Meskipun samar karena penerangan yang ada hanya dari lampu di dalam toilet, bisa kupastikan bahwa ia adalah Nayla.
Berani juga ia turun sendiri, padahal kupikir sedang meringkuk ketakutan di kamar.
"Hei, sini!"
Aku yang masih berdiri di tangga memanggilnya supaya kami segera naik ke atas rumah saja.
Bukannya mejawab. Ia hanya melangkah perlahan ke arahku. Seingatku Nayla jarang sekali membuka hijabnya saat bertemu denganku, tapi wanita yang kini berjalan ke arahku tak memakai hijab dan rambutnya kelihatan beratakan.
Ia hanya berjarak sekitar 5 langkah lagi ke arahku. Ya wajahnya terlihat jelas. Ia Nayla.
4 langkah ....
Aku mulai berpikir mungkin saja ia tadi buru-buru ke toilet jadi tak sempat memakai hijabnya.
3 langkah ....
Wajahnya terlihat makin jelas. Apa Nayla sakit? Wajahnya pucat sekali.
2 langkah ....
Aku mulai merasa ngeri saat melihat Nayla dengan mata merah yang menyala. Seperti darah.
1 langkah ....
Nayla tepat di depanku. Matanya merah dengan rambut panjang yang berantakan, lalu ia menyeringai.
Kriiieeettt ....
Pintu rumah panggung terbuka.
Aku memalingkan wajah dari sosok seram di depanku, lalu menoleh ke atas.
"Kahar ... ngapain di situ? Ayo naik!" panggil wanita berjilab di atas rumah panggung.