Kegaduhan terjadi sepagi ini. Tidurku tak nyenyak tadi malam. Pikiran melayang ke mana-mana, merangkai satu demi satu peristiwa ganjil yang terjadi. Tentang siapa sosok wanita berjilbab kuning menyerupai Nayla di atas rumah panggung? Lalu, berbagai macam kejadian mistis yang terjadi di kampung ini.
Kupaksakan bangun saat suara ribut itu makin menjadi, meskipun kepala terasa sangat pening akibat kurang tidur.
Aku mendapatkan pemandangan yang cukup mecengangkan di lego-lego (Teras pada rumah panggung). Dua sosok berdiri saling berhadapan dan mengeluarkan suara keras.
"Iga pettui sandalek Swallow-ku, nah? De' gaga ... pokokna de' gaga harapang," ucap sosok yang satu dengan suara cukup keras.
(Siapa yang kasi putus sandal Swallow punyaku? Uh ... gak ada harapan lagi.)
Sosok yang satu lagi berkacak pinggang dan mengeluarkan suara yang tak kalah keras, "Kandek na ... iga muloreng pettui sandalekmu, hah? Nappaki' je' moto'e."
(Booabo' ... siapa yang putusin sendalmu? Orang baru aja bangun, kok.)
Dua sosok itu adalah Uwa dan Nenek, mereka sedang terlibat perdebatan dalam bahasa daerah. Uwa kaget bukan kepalang saat bangun dan melihat sandal Swallow-nya putus.
Uwa dan Nenek memang menggunakan bahasa Bugis saat saling berinteraksi. Nenek pintar berbahasa Indonesia, jadi saat mengobrol denganku menggunakan bahasa tersebut, meskipun dengan logat yang kental. Sedangkan Uwa cuma tahu atau paham artinya, tapi tak bisa melafalkan bahasa nasional ini.
Aku berdiri di tengah-tengah mereka, bermaksud menjadi penengah.
"Uwa ... Nenek ... kenapa? Masih pagi, loh, ini."
"Itu Uwamu na kira nenek kasi putuski sandal Swallow-nya." Nenek tampak kesal, logatnya tersendat-sendat.
(Itu Kakekmu, masa nuduh Nenek kasi putus sendal jepitnya.)
Uwa cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil berucap, "De' gaga ... de' gaga ... pokokna de' gaga harapang. Baru-baru kasi' welli sandalekku."
(Gak ada ... gak ada ... pokoknya gak ada harapan. Padahal sendalnya baru kubeli.)
"Sudah, Nek, Uwa ... duduk dulu!" Aku memegang tangan Uwa dan Nenek, lalu sepasang kekasih itu duduk dengan tenang di lego-lego.
Angin pagi berembus perlahan. Udara pedesaan memang terasa sangat menyegarkan. Setelah menenangkan sepasang sejoli itu, aku masuk ke dalam, menuju dapur, lalu menyeduh kopi untuk mereka.
Bak barista kampung, aku meracik kopi hitam dengan lincah. Kutambahkan sedikit susu 'tuk aroma kopi yang baru.
"Silakan diminum kopinya!"
Aku meletakkan kopi hitam campur susu tadi di depan mereka. Tak lupa memberi alas piring kecil di bawah masing-masing cangkir. Adat kami seperti itu saat menyuguhkan minuman, jika tanpa alas maka kesannya jadi tak sopan.
Nenek menuangkan sedikit kopi panas di atas piring kecil tadi, lalu bibir keriputnya meniup-niup cairan hitam itu, selang beberapa detik kemudian menyeruputnya. Cara minum kopi yang keren.
Uwa yang pagi ini memakai songkok hitam, belum menyentuh kopi. Sepertinya masih tampak shock.
"Oh, Iyo, Co." Uwa ikut tersenyum dan tampak gigi putihnya yang berbaris rapi. Gigi palsu yang dipesankan oleh Omku---adiknya Ibu--beberapa tahun lalu.
(Oh, Iya, Nak.)
Uwa pasti sangat bangga padaku. Cucu tersayangnya ini akan membelikan sandal Swallow baru nanti.
Namun, Uwa tak tahu saja bahwa sebenarnya aku yang membuat sandalnya putus. Tadi malam saat pulang dari rumah Nayla, aku berlari bak sprinter kesetanan saking takutnya.
***
Tadi siang aku sudah ke warung untuk membelikan Uwa sandal Swallow baru. Letaknya cukup jauh dari rumah. Aku berjalan kaki saja, menikmati panorama pedesaan yang masih asri.
Beberapa kembang desa kutemui di sepanjang jalan. Mereka tampak elok dan masih segar-segar. Bak buah delima ranum yang siap dipetik.
Namun, nyaliku menjadi ciut mengingat tingginya uang panaik (Uang belanja yang diserahkan pihak laki-laki kepada pihak mempelai wanita jika hendak melamar).
Masyarakat Bugis-Makassar menyebutnya uang panaik, sinamot sebutan bagi suku Batak, jujuran di suku Banjar, dan seserahan bagi suku Jawa.
Malam ini aku duduk di lego-lego bersama Uwa, sambil makan pisang goreng yang dibuat Nenek.
Uwa tampak sumringah. Songkok terpasang rapi di kepala, menutup rambutnya yang memutih.
Malam ini Uwa yang jadi narasumberku. Aku mulai menggali informasi mengenai sosok parakang ini.
Uwa membetulakan songkoknya setelah itu mulai bercerita.
"Yaro yaseng parakang tau tuo ma, tania jing atau setang. Tau magguru ilmu salah untuk runtu kebbeng sibawa asogireng. Riyolo rodo mega tau massappa paddisenggeng salah, salah i magguru."
(Parakang itu orang hidup (manusia biasa), bukan jin atau setan. Orang yang belajar ilmu sesat untuk mendapat kebal dan kekayaan. Orang dulu banyak yang belajar ilmu sesat. Salah belajar ilmu.)
Aku mendengarkan cerita Uwa dengan seksama. Uwa juga tampak serius kalau bercerita soal parakang ini.
"Akku deppa nancaji parakang, tau biasa pappada idi. Lao maggalung, makkampi sapi, lau to aga massempajang. Kadang sibawa manekki sikumpulu tanpa irisseng akku sebenernya engka akkuang rodo."
(Saat belum berubah menjadi sosok parakang, mereka orang biasa seperti kita. Pergi ke sawah, pergi menggembala sapi, dan juga shalat. Kita hidup bermasyarakat tanpa tahu sebebarnya ada sosok parakang itu di tengah-tengah kita.)
Aku bergedik membayangkan. Parakang ini masih ada hingga kini bahkan hidup di tengah-tengah masyarakat tanpa kita tahu siapa orangnya.
Pengertian dari Uwa kusimpulkan seperti ini ... Parakang awalnya manusia biasa yang akhirnya menjadi manusia jadi-jadian karena belajar ilmu sesat untuk mendapatkan kebal serta kekayaan.
Aku mengambil satu pisang goreng lagi sambil menunggu Uwa yang sekarang juga sementara berusaha mengunyah pisang yang alot.
"Pappada sedding sandale jepang'e rasa na," ucap Uwa, lalu tertawa.
(Rasanya seperti sandal jepit.)
Aku hampir tersedak pisang goreng mendengar guyonan Uwa. Gokil juga.
Setelah aku meneguk air mineral dan Uwa juga telah menelan pisangnya. Maksud menelan pisang goreng, aku melanjutkan obrolan.
"Jadi parakang itu berubahnya kapan, Uwa?"
"Ele kele, esso, aroweng, enni. Nule maneng, tapi biasana enni pi."
(Pagi, siang, sore malam. Paling sering kalau malam.)
"Mereka berubah sesuai kemauan atau gimana, Uwa?"
"De' nappakkurodo," kata Uwa sambil membetulkan sarungnya
(Tidak seperti itu.)
"Terus, Uwa?"
"Upodako, nah, Baco. Yarodo sempurnae ilmunna nulle berubah semauna, tapi yarodo de nasempurnae ilmu parakang na de nullei kotrol i perubahanna. Kadang berubah i ki tengga tau egae. Yanarodo biasa engka parakang itikkeng."
(Saya kasih tau, ya, Nak. Yang sempurna ilmunya bisa mengontrol kapan ia mau berubah menjadi parakang. Sedangkan yang salah belajar atau ilmu parakangnya tak sempurna tidak bisa mengontrol perubahan. Kadang bahkan ia berubah di tengah orang banyak. Makanya biasa ada parakang yang ditangkap warga.)
Cerita Uwa mengingatkanku dengan anjing masuk masjid yang orang-orang kampung percaya jelmaan Bu Baya.
Seperti yang pernah kudengar dari Nenek. Uwa juga berpendapat sama. Tak semua parakang itu salah karena ada yang menjadi parakang karena faktor keturunan. Bahkan mereka sendiri tak tahu bahwa dirinya adalah parakang.
Darah parakang yang diwariskan dari leluhur mereka dan tak akan putus kecuali keturunan terakhir mereka mati.
Jadi, jika salah satu orangmu misalnya parakang dan kamu anak tunggal, maka sudah jelas kamu yang selanjutnya akan mewarisi darah parakang itu. Sungguh mengenaskan kutukannya.
Uwa mulai menguap, tapi aku masih penasaran. Masih banyak pertanyaan di benakku.
"Uwa ... bagaimana sosok parakang itu?"
Uwa tampak tegang. Mantan guru silat mengembuskan napasnya berat.
"Memangnya Uwa pernah ketemu?" selidikku.
Uwa mengangguk.
"Yaro parakang'e macella matanna papada darah. Timunna maddara to, malampe to lilana mabbea. Malampe kanukunna, olinna matedde de' nanrei kawali."
(Sosok parakang itu matanya merah seperti darah. Mulut yang juga penuh darah dengan lidah yang menjulur panjang. Kukunya panjang-panjang dan badannya keras sehingga tidak bisa dilukai benda tajam.)
Aku tak dapat membayangkan bagaimana jika tadi malam saat pulang dari rumah Nayla, lalu bertemu dengan sosok yang digambarkan oleh Uwa. Pasti aku sudah terkencing-kencing dibuatnya.
"Nulle to mancaji olokolo pappada meong, asu, sibawa bekku. Nulle to mancaji pokok loka atau kambodi/baka-baka," lanjut Uwa lagi.
(Bisa juga berubah menjadi binatang, seperti kucing, anjing, dan burung. Serta bisa menjadi benda seperti pohon pisang atau kambodi/baka-baka (Keranjang dari anyaman daun kelapa untuk tempat ayam bertelur))
Uwa berdiri, lalu merapikan sarung yang dikenakannya agar tak melorot. Setelah itu beliau melangkah untuk masuk ke dalam rumah. Kasihan beliau sudah mengantuk.
Aku masih duduk di lego-lego berteman angin malam. Mencerna cerita Uwa sambil mengunyah pisang goreng.
"Baco!"
Uwa yang sudah di depan pintu dan selangkah lagi masuk ke rumah, tiba-tiba saja berbalik.
"Iyek, Uwa," jawabku sambil melihatnya.
"Yarodo parakangnge nulle to mancaji papada tau laingge."
(Parakang itu juga bisa berubah menyerupai sosok orang lain.)
"Akku wenni wi napojji mappake ridi. Wajunna ka, sulara'na, atau bowonna," lanjut Uwa lagi.
(Kalau malam, parakang itu suka memakai pakain berwarna kuning saat berubah menyerupai orang lain. Baju, celana, atau jilbab kuning.)
Deg!
Jilbab kuning?
Aku membereskan piring dengan pisang goreng yang sisa sepotong, serta gelas dengan sisa ampas kopi, lalu menyimpannya di atas nampan.