Bab 5

BUKAN INGINKU

BAB 5


Rencana Om Hasan Ok juga. Dan aku suka. Mas Dika, Sisil, siap-siaplah menerima persembahan manis dariku. Persembahan manis yang akan kalian kenang selamanya.

Aku sekarang menuju ke bisnis laundry. Yang mana Papa dulu memberi nama Laundry ini Laundy Namiroh. Dan sekarang, aku sudah menggunakan pakaian ala Bu Hilda Namiroh.

Aku anak tunggal. Jadi Papa memberikan nama bisnisnya dengan menggunakan namaku semuanya. Namiroh itu nama ujung Mama. Yang akhirnya di berikannya padaku.

"Bu, makin cantik saja!" puji salah satu karyawan laundry ini. Fufah namanya. Ia yang bekerja khusus untuk menyetrika.

Dia sudah menikah, dan sudah memiliki satu orang anak, yang sudah sekolah dasar. Badannya gemuk dan kulitnya agak hitam. Tapi, kerjaan menyetrikanya sangatlah rapi.

"Masa', sih, Fah?" tanyaku untuk memastikan.

"Iya, Bu. Makin cantik dan makin terlihat fresh," puji Fufah semakin membuatku senyum-senyum.

"Ah, kamu bisa aja, Fah. Kamu juga makin cantik!" balasku.

"Alhamdulillah ... akhirnya ada yang muji Fufah cantik juga selain Emak dan Bang Herman!" balas Fufah, membuatku mengaga karena tingkahnya yang absurd menurutku.

Bang Herman adalah nama suaminya. Ia bekerja sebagai security di mall. Mereka memang pasangan serasi, sama-sama somplak dan melar badannya.

Pokoknya menggemuk bersama. Karena sebelum menikah, dulu mereka langsing semuanya. Sekarang gemuk semua. Sungguh serasi sekali.

Ini anak lucu amat, ya? Cukup membuatku terhibur. Karena sedari tadi, hati ini berkemelut hebat.

"Fah, Fah, ada-ada saja kamu! Yaudah saya mau ke ruangan kerja saya dulu, ya!" pamitku.

"Siapa, Bu!" balas Fufah. Kalau di Butik tadi, mau masuk ruang kerja di cegah sama Airin. Eh, ternyata ada para pengkhianat itu di dalam ruangan kerja.

Ah, mengingatnya bikin sesak hati saja.

Tapi, yang membuatku heran, kenapa Airin menutupi? Harusnya dia tahu, kalau Sisil Nabila itu musuh bisnisku selama ini. Jelas makin tak beres ini. Dan tentunya semakin membuatku penasaran.

Mas Dika juga, padahal ia tempatku berbagi semua uneg-uneg hati. Dan aku sering ngomong, kalau Sisil Nabila itu musuh Bisnis Namiroh. Tapi, kenapa ia justru bermain api, hingga menimbulkan adanya anak di antara mereka?

Aku masuk ke ruang kerja laundry. Terakhir ke sini satu Minggu yang lalu. Karena yang sering aku kunjungi adalah Butik.

Aku segera memeriksa laporan keuangan. Karena ada aku atau tidak, laporan keuangan harus setiap hari di buat, dan di letakan di atas mejaku.

Jadi sewaktu-waktu aku memeriksa sudah ada. Yang bertugas memegang keuangan Laundry adalah Naya.

Kuperiksa satu persatu keuangan yang di laporkan oleh Naya. Tak ada yang mencurigakan, semua baik-baik saja.

Aku mengulas senyum, kinerja Naya memang bagus. Tapi tumben Minggu ini dia belum setor uang. Hemm, tak ada salahnya aku hubungi dia, untuk menanyakan. Karena setor uang tiap Minggu adalah permintaanku.

Segera aku raih ganggang telpon yang menghubungkan antara ruangan satu dan ruangan lainnya.

"Nay, ke ruangan saya sebentar!" titahku.

"Owh, Bu Hilda, ok Bu," balas Naya sopan.

"Ok, saya tunggu, ya!" ucapku.

"Siap, Bu!" balas Naya. Gadis cantik yang masih single di umur dua puluh lima tahun. Semoga dia segera mendapatkan jodohnya.

Seraya menunggu kedatangan Naya, aku pemeriksa lagi. Tetap tak ada yang mencurigakan, karena kinerja Naya memang tak di ragukan lagi.

Naya ini juga sangat jujur anaknya. Itu yang aku suka darinya.

Selain jujur dia juga sangat ramah. Sehingga membuat nyaman para pelanggan yang datang ke sini.

"Assalamualaikum," telinga ini mendengar suara salam. Suara dari Naya. Karena suaranya sangat khas sekali.

"Waalaikum salam," balasku. "Masuk, Nay!"

Naya terlihat mengangguk, kemudian dia masuk ke ruang kerjaku.

"Bu, cantik sekali," puji Naya. Membuatku mengangkat alis sejenak. Karena kenapa semuanya memujiku cantik?

Segera aku mengeluarkan bedak yang ada kaca kecilnya dari dalam tas. Aku ingin melihat parasku.

"Nggak kamu, nggak Fufah, hari ini memujiku cantik. Emang secantik itukah aku hari ini?" tanyaku dengan nada sedikit bercanda. Naya terlihat mengulas senyum.

"Memang cantik, Bu! Serius!" ucap Naya. Aku semakin melipat kening melihat parasku di kaca.

"Ah, perasaan biasa-biasa saja. Iyakah aku cantik hari ini? Bukankah aku memang cantik setiap hari?" ucapku seraya tetap memandangi wajah di kaca bedak.

"Serius, Bu. Bawaannya beda sekali. Ibu terlihat fresh," jelas Naya.

"Fresh? Hemm, tadi Fufah juga ngomong seperti itu," balasku.

"Emm, ada apa Ibu memanggil saya?" tanya Naya akhirnya. Mungkin sudah tak mau bercanda lagi.

"Emm, keuangan udah aku cek, dan semuanya seperti biasa, rapi. Lalu uangnya memang belum di transfer atau gimana? Belum ada laporan uang masuk di banking saya," tanyaku.

"Loo, uangnya sudah saya kasih ke Bapak. Waktu itu saya mau transfer, kata bapak nggak usah. Karena bapak lagi butuh uang cash, jadi tak perlu di transfer," balas Naya. Cukup membuatku menganga.

Astaga ... kenapa uang itu tak nyampai padaku? Kemana uang Laundry ini di pakai Mas Dika? Apa Mas Dika kasih ke Sisil?

Aku harus segera cari tahu. Harus!

"Owh, sudah di minta Bapak, ya?!" tanyaku berlaga biasa saja. Karena aku yakin, Naya belum tahu kalau rumah tanggaku dalam ujung tanduk.

"Iya, Bu!" balas Naya.

Ok, aku tak boleh emosi, anggap saja memang Naya tak tahu apa-apa tentang kisruhnya rumah tanggaku. Jadi maklum saja.

"Baiklah! lain kali jangan mau, ya? uang bisnis ya yang bisnis. Jadi tak bisa di jadikan satukan, dengan uang peribadi," jelasku. Juga tak ada nada memarahi, karena aku memang masih sangat membutuhkannya di sini.

"Ok, Maaf!" ucap Naya, dari nada suaranya terdengar berat.

"Tak masalah! karena kamu belum tahu, pokok jangan di ulang lagi saja," balasku.

"Siap, Bu! Nggak akan di ulang lagi!" balasnya. Aku tanggapi dengan mengulas senyum.

"Bagus! Dan ada satu pekerjaan untukmu," ucapku. Naya terlihat mengulas senyum.

"Apa?"

Kuceritakan detail, apa perintah dari Om Hasan tadi. Naya terlihat mengerutkan kening, saat aku ceritakan semuanya, dengan nada santai. Agar Naya tak curiga dengan masksudku.

"Gimana kamu siap?" tanyaku. Setelah semuanya aku ceritakan.

"Tapi, Bu! Bukannya itu ...."

*************


Komentar

Login untuk melihat komentar!