Bab 2

BUKAN INGINKU

BAB 2


"Ibu malu denganmu, Hilda! Ibu malu!" ucap Ibu sesenggukan. Hujan masih turun dengan derasnya.

Sedangkan Mas Dika, tetap dengan pendiriannya. Pergi dari rumah ini, tanpa membawa apapun, kecuali yang menempel di badannya.

Ya Allah ... kemarin aku masih merasakan, kalau rumah tanggaku masih baik-baik saja. Kemarin aku merasakan, aku wanita yang paling beruntung memiliki suami seperti Mas Dika. Karena selama ini ia tak pernah membahas anak.

Ya, selama ini ia selalu menjaga hati dan perasaanku.

Tapi hari ini? Sekali dia membahas keturunan, ia juga mengumumkan, kalau sudah ada janin dalam rahim wanita lain. Sejak kapan ia menyelingkuhiku? Sejak kapan dia bermain api di belakangku? Hingga ia rusak begitu saja, cinta suci ikatan pernikahan ini.

Astagfirullah ... sakit ... sakiiit sekali ... dan kini aku harus mengobati luka ini seorang diri.

"Hilda, ibu malu denganmu, ibu malu dengan ke dua orang tuamu. Apa yang harus ibu katakan jika ibu berjumpa dengan ke dua orang tuamu kelak? Karena Ibu juga merasa, umur ibu sudah tak lama lagi, apa yang akan Ibu sampaikan ke mereka? Sungguh Ibu malu! Ibu malu!" ucap Ibu masih sesenggukan.

Kupejamkan mata ini sejenak, untuk menata hati yang bergemuruh hebat di dalam sini.

Tangan yang sedari aku gunakan untuk meremas baju dada ini, akhirnya aku lepaskan.

Dengan tangan yang masih terasa gemetar, aku raih tangan Ibu mertuaku. Meremasnya pelan. Untuk sedikit saja menenangkan hatinya. Walau hati ini, juga butuh untuk ditenangkan.

"Ibu nggak perlu malu! Ibu masih sayang dengan Hilda, sudah sangat cukup bagi Hilda. Karena hanya Ibu yang Hilda punya sekarang," ucapku dengan nada gemetar.

"Allahu Akbar!" teriak Ibu seraya memelukku. Badannya bergoyang, tanda Ibu semakin menangis sesenggukan.

"Sungguh tak akan Ibu temukan, Anak menantu sebaik kamu Hilda! terimakasih masih menerima Ibu, walau Dika telah menjatuhkan talak untukmu!" ucap Ibu. Cukup membuat hati ini terenyuh.

"Sama, Bu. Juga tak akan Hilda temukan, mertua sebaik Ibu. Sekarang hanya Ibu yang Hilda punya, jadi biarlah Mas Dika menjatuhkan talak untuk Hilda, yang Hilda tahu, sampai kapanpun, Ibu tetap orang tua Hilda," balasku, hingga kami saling membalas erat pelukan ini.

"Terimakasih, Bu! Telah menyayangi Hilda hingga seperti ini," ucapku, setelah melepas pelukan kami.

Ibu terlihat manggut-manggut seraya menyeka air matanya.

"Kamu sabar, ya! Dika lagi tersesat! Biarkan dia memilih jalannya, karena memang itu maunya," ucap Ibu. Aku sedikit mengulas senyum.

"Ibu juga sabar, ya! Kita lihat saja, sejauh mana, Mas Dika bertahan di luar sana tanpa kita!" balasku. Ibu terlihat manggut-manggut.

"Iya, kamu benar, Hilda. Kita lihat saja, sejauh mana Dika bertahan tanpa kita. Apakah lebih bahagia, atau sebaliknya?" ucap Ibu.

Kutarik napas ini kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Kuremas lagi tangan Ibu mertuaku itu. Hingga kami saling memeluk lagi.

***********

Pagi ini, masih merasa canggung saat tak kudapat kan Mas Dika di sisiku. Biasanya pagi subuh, aku membangunkan dia, untuk sholat subuh berjamaah.

Ya, Mas Dika sangat rajin sholatnya. Tapi, kenapa dia mau berzina? Mau tidur dengan perempuan yang bukan halalnya? Bahkan sampai terjadinya kehamilan? Astagfirullah, sungguh tak ku sangka.

Setelah selesai sholat subuh, aku segera keluar dari kamar. Melangkah ke arah dapur.

Saat melewatinya kamar Ibu, pintu kamarnya sudah terbuka.

Aku melongok ke kamar itu, tak kutemukan Ibu di dalam. Di mana Ibu?

Karena tak kutemukan Ibu, akhirnya aku tetap berjalan menuju ke dapur.

"Eh, Cah Ayu, sudah bangun!" ucap Ibu. Ternyata Ibu sudah masak di dapur. Nada suaranya sudah terdengar biasa saja.

"Sudah, Bu!" ucapku seraya mengedarkan pandang.

Aku lihat sudah tersedia tempe goreng. Makanan yang sangat tak di sukai Mas Dika.

"Tempe goreng," ucapku.

"Iya, selama ini kita tak pernah masak tempe goreng, karena Dika nggak suka. Karena Dika sudah pergi, ya, kita makan tempe goreng saja!" ucap Ibu. Aku sedikit mengulas senyum. Kemudian meraih tempe goreng itu. Masih terasa panas.

"Bu."

"Ya?"

"Hari ini Hilda ke butik, ya?!" pamitku. Ibu mengerutkan kening.

"Ke Butik?"

"Iya, karena Hilda mau mengambil alih. Bukan hanya butik saja, tapi juga yang lainnya, seperti laundry, Mega printing, dan rumah makan di ujung gang rumah kita, Hilda takutnya nanti di kuasai sama calon istri baru Mas Dika," ucapku.

"Astagfirullah ... iya kamu benar! Kamu harus segera ambil alih! Ibu nggak mau, mereka menguasai hartamu Hilda!" ucap Ibu. Aku mengangguk pelan.

Hartaku? Ya, selama ini memang warisan orang tuaku cukup banyak. Bahkan bisnis-bisnis orang tuaku, Mas Dika yang menjalankan.

Dari bisnis-bisnis peninggalan Papa itu lah, kami bertahan. Bahkan lebih dari cukup kalau hanya untuk sekedar makan.

Tapi, walau Mas Dika penuh yang menjalankan bisnis-bisnis almarhum Papa, bukan berarti aku tak tahu apa-apa. Justru aku yang memantau semuanya.

"Iya, Bu. Maafkan Hilda, jika Hilda harus mengambil alih semuanya. Karena Mas Dika sudah bukan suami Hilda lagi," pamitku.

Ibu terlihat meneguk ludah sejenak, kemudian mengangguk pelan.

"Tak perlu minta maaf. Di sini Dika yang salah. Seandainya Ibu ada di Posisi mu, pasti Ibu akan melakukan hal yang sama, Hilda!" ucap Ibu. Cukup membuatku terenyuh.

Alhamdulillah, Ibu mertuaku ini memang sangat bijaksana.

"Terimakasih, Bu!" lirihku.

"Lakukan apapun yang menjadi milikmu, Hilda! Itu hakmu! Doa Ibu selalu menyertaimu!" ucap Ibu. Semakin membuat hati ini terenyuh.

Aku tanggapi ucapan Ibu dengan anggukan.

Mas Dika! Mulai hari ini, siap-siap akan kehilangan semuanya! Aku akan ambil alih semuanya! Hingga tak ada satu rupiah pun, yang akan kamu terima, untuk menafkahi calon istri dan anakmu!

Nafkahilah mereka, dengan hasil murni jerih payah dan keringatmu. Bukan warisan bisnis dari almarhum orang tuaku.

********


Komentar

Login untuk melihat komentar!