AKU HANYA MENDAPATKAN SISA GAJI
"Mah, ini uang lima ratus ribu, cukup-cukupin ya sebulan!" Dengan dagu mendongak aku terima uang dari Mas Azzam.
"Ya, Mas. Aku akan cukupkan uang ini sebulan, tapi aku pinta padamu, jangan mengeluh saat hidangan makan hanya sayur bayam dan tempe!" ujarku sambil menghitung jumlah uang receh yang Mas Azzam berikan.
Setiap bulannya, Mas Azzam hanya memberikan uang kisaran 300.000 - 500.000 rupiah. Tidak pernah lebih dari itu. Uang segitu harus cukup sampai akhir bulan tiba. Terkadang aku harus mensiasatinya dengan cara berdagang dari rumah ke rumah.
Bukan hanya itu, uang segitu terkadang dipintanya untuk membeli token listrik yang terkadang mati. Entahlah, uang gaji yang ia terima dikemanakan? Aku pun tidak pernah tahu jumlah gaji yang ia terima selama ini.
*****
Pagi ini, waktunya family gathering di tempat perusahaan suamiku bekerja. Aku bersiap untuk berlibur bersama rekan kerja suami beserta keluarga.
Pakaian sudah aku kemasi, sudah rapi semuanya, kami pun meluncur menuju PT tempat para pekerja berkumpul.
"Kenalkan, ini istriku Via!" Mas Azzam mengenalkan aku kepada rekannya yang juga membawa istrinya.
"Saya, Via!" Aku mengulurkan tangan pada keduanya.
"Saya Indra, dan ini istri saya Atifa!" sahut temannya. Lalu aku ditinggalkan berdua dengan Atifa.
"Mbak, aku panggil nya Mbak Atifa saja ya!" ucapku sambil mengarahkan jalan dan mengajak ia melipir ke tepi jalan.
"Iya, Mbak, kita saling sebut Mbak saja!" ujarnya. Mumpung Mas Azzam tidak berada di sini, sebaiknya aku tanya saja pada Mbak Atifa. Siapa tahu ia mengetahui gaji suaminya.
"Mbak, boleh tanya sesuatu?"
"Iya, boleh!"
"Mbak sudah menikah berapa lama?" tanyaku basa-basi.
"Emm, sekitar empat tahun!"
"Oh, sudah lama juga ya! Aku baru dua tahun! Boleh tanya satu lagi?" Mbak Atifa mengangguk. "Mbak sudah punya anak?"
"Sudah, Mbak. Ikut Mbahnya di kampung!"
"Oh, kangen dong Mbak?"
"Ya mau gimana lagi, aku juga kerja Mbak! Gaji suamiku hanya lima juta rupiah, cicilan juga banyak!" sahut Mbak Atifa. Akhirnya, jawaban yang belum aku tanyakan sudah aku temukan. Gaji suamiku lima juta rupiah, sama dengan suaminya Mbak Atifa, Indra.
"Aku juga ingin kerja, ada lowongan gak Mbak?"
"Ada, nanti aku informasi ya! Minta nomer whatsAppmu sini!" Lalu aku bertukar nomer whatsApp kepadanya. Padahal aku hanya basa basi saja meminta pekerjaan padanya.
"Nanti aku chat Mbak ya!"
"Oke, memang harus punya tambahan, kalau tidak, ya tidak bisa untuk beli apa-apa gaji segitu!" ungkapnya membuatku tersenyum tipis.
Gaji lima juta, aku hanya diberikan lima ratus ribu. 'Astaga, rasanya ingin aku lempar uangnya ke hadapan Mas Azzam, lalu ia gunakan selama sebulan untuk makan dan ngopinya. Aku ingin pulang saja ke rumah orang tuaku,' gumamku dalam hati.
*****
Liburan hanya sehari, dan sore hari sudah pulang, tidak memakan waktu lama, karena tujuannya hanya kumpul dan berkenalan dengan keluarga sesama rekan kerja.
"Kamu happy liburan hari ini?" tanya Mas Azzam.
"Enggak, Mas. Aku sengsara, tadi mau beli apa-apa di sana harus pikir-pikir dulu. Khawatir besok gak makan kalau dibeli!"
"Ya, memang kita harus irit, Vi!" pesannya.
"Untuk apa? Harta tidak dibawa mati!" sahutku.
"Memang tidak. Namun, kalau tidak punya apa-apa, kita dibilang percuma merantau jauh-jauh!" ucap Mas Azzam dengan nada tinggi.
"Memang, sekarang kita punya apa? Kita tidak punya apa-apa, Mas! Rumah saja masih ngontrak!" sahutku dengan emosi.
Lalu Mas Azzam meninggalkanku sendirian. Entah ia mau ke mana! Saat ia kembali, dilemparkan secarik kertas di hadapanku.
"Nih, aku beli rumah, masih nyicil. Sebulan aku harus setor tiga juta rupiah! Lalu untuk ibuku 500.000 rupiah, kamu 500.000 rupiah, dan untuk bayar kontrakan 700.000. Sisanya aku pegang 300.000 untuk bensin!" Aku terperangah mendengar rincian yang Mas Azzam berikan. Benar jumlahnya genap 5 juta rupiah, sesuai dengan ucapan Atifa tadi. Namun, yang tidak aku habis pikir, ia sampai mengorbankan tidak makan, hanya untuk membeli rumah. Bukankah rumah tidak dibawa mati? Kalau ia tidak makan tiba-tiba mati, rumahnya untuk siapa?
______
Lanjut, jangan?